Stigma Buruk Masih Jadi Hambatan Utama Tangani TBC di Sumsel

- Tahun 2024: 23.420 kasus TBC terdeteksi di Sumsel, dengan Palembang sebagai wilayah tertinggi.
- Kemiskinan berpengaruh terhadap penyebaran TBC melalui stres, gizi buruk, dan lingkungan tidak sehat.
- Stigma negatif terhadap penderita TBC masih tinggi, masyarakat diimbau untuk memeriksakan diri ke fasyankes terdekat.
Palembang, IDN Times - Indonesia menjadi negara kedua penyumbang kasus Tuberkulosis (TBC) dan kematian tertinggi ke dua di dunia. Kasus TBC menjadi perhatian untuk ditanggulangi oleh pemerintah pusat dan daerah dalam upaya menuju eliminasi TBC DI 2030 mendatang.
Langkah penanganan TBC dilakukan lewat pencegahan dan pengobatan yang dilakukan secara masif melalui peran aktif fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) dalam pengobatan. Penyakit TBC menyebar melalui udara tak hanya menyerang orang dewasa melainkan juga anak-anak.
"Program pengentasan TBC ini menjadi program nasional. Kita melakukan upaya preventif dan pencegahan untuk meminimalisir agar kasus ini tidak meluas dengan cara mengobati orang yang terpapar TBC dan mereka dapat sembuh secara total," ungkap Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dinkes Sumsel, Marsal Husnan kepada IDN Times, Rabu (11/6/2025).
1. Tahun 2024 ada 23.420 kasus TBC terdeteksi di Sumsel

Dinkes Sumsel mencatat, sepanjang tahun 2024 ada sebanyak 23.420 kasus TBC yang berhasil ditemukan dari perkiraan total 37.946 kasus. Dari 23.420 kasus tersebut, terdapat 23.056 kasus Tuberkulosis Sensitif Obat (TBC SO) dan Tuberkulosis Resistensi Obat (TBC RO) 364 kasus.
TBC SO umumnya merupakan pasien yang mendapat pengobatan selama enam bulan. Sementara TBC RO merupakan jenis TBC yang membutuhkan waktu pengobatan lebih lama. Pihaknya mencatat, kasus TBC tertinggi terjadi di wilayah Palembang dengan 6.798 kasus, disusul Banyuasin 2.055 kasus, dan Ogan Komering Ilir 1.988 kasus.
"Kasus TBC RO sendiri di Sumsel tidak begitu banyak. Umumnya pengobatan TBC memakan waktu hingga enam bulan," ungkap dia.
Marsal menjelaskan, pengobatan TBC memerlukan upaya dan komitmen bersama dengan pasien dengan pendekatan khusus guna memastikan pasien yang terpapar TBC dapat melakukan pengobatan hingga tuntas dan sembuh. Fasyankes yang ada di Sumsel menjadi penggerak dalam memastikan pengobatan tersebut dapat berlangsung secara tuntas, termasuk pelibatan Pendamping Minum Obat (PMO) yang berasal dari keluarga pasien.
"Sebelum dimulai, kita lakukan edukasi terlebih dahulu kepada pasien dan pendampingnya, tentang pentingnya pengobatan yang konsisten dan risiko kambuh jika pengobatan tidak dituntaskan," beber dia.
2. Kemiskinan berpengaruh terhadap penyebaran TBC

Dirinya menilai, TBC merupakan penyakit yang menular lewat udara, terutama saat penderita batuk atau bersin. Namun, berbeda dengan COVID-19, masa inkubasi TBC lebih lama dan tidak langsung menimbulkan gejala. Penyakit ini baru muncul bertahun-tahun kemudian, terutama jika daya tahan tubuh melemah karena malnutrisi atau penyakit penyerta lainnya.
"Kemiskinan juga menjadi faktor besar penyebaran TBC. Stres, gizi buruk, dan lingkungan yang tidak sehat memperbesar risiko penularan," jelas dia.
3. Stigma negatif terhadap penderita TBC masih tinggi

Salah satu tantangan terbesar penanggulangan TBC di Sumsel adalah masih kuatnya stigma di masyarakat. Banyak pasien memilih menyembunyikan penyakitnya karena takut dijauhi atau merasa malu. Bahkan, sebagian masyarakat masih menganggap TBC sebagai penyakit kutukan.
"Masih banyak yang berpikir TBC ini hanya urusan Dinas Kesehatan. Padahal, penanganannya butuh peran lintas sektor," beber dia.
Dinkes Sumsel mengimbau masyarakat yang mengalami batuk lebih dari dua minggu dapat memeriksakan diri ke fasyankes terdekat. Hal tersebut dapat menjadi pertanda awal TBC terlebih jika dibarengi dengan gejala batuk berdahak.
"Jalur utama penyakit TBC ini dapat dilacak dari batuk berdahak," beber dia.
4. Puskesmas dinilai memiliki kemampuan dalam menangani TBC

Saat ini, seluruh puskesmas di Sumsel telah memiliki fasilitas dan kemampuan yang memadai untuk menangani pasien TBC. Menurutnya, angka kematian akibat TBC relatif kecil dibanding jumlah kasus yang tinggi. Program penanganan TBC sendiri dibiayai secara khusus secara langsung dari anggaran Kementerian Kesehatan berbarengan dengan penanganan penyakit menular lainnya.
"Masyarakat tidak perlu langsung ke rumah sakit karena pelayanan dasar, penanganan dan obat-obatan sudah cukup tersedia di fasyankes tingkat pertama (puskesmas)," jelas dia.
5. Rincian kasus TBC di Sumsel

Berikut ini adalah rincian kasus TBC per kabupaten/kota di Sumatera Selatan berdasarkan data tahun 2024 per 17 Maret 2025:
Palembang
Kasus ditemukan: 6.798 (6.374 SO + 424 RO)
Banyuasin
Kasus ditemukan: 2.055 (1.935 SO + 120 RO)
Ogan Komering Ilir (OKI)
Kasus ditemukan: 1.988 (1.883 SO + 105 RO)
Musi Rawas
Kasus ditemukan: 1.654 (1.525 SO + 129 RO)
Ogan Ilir
Kasus ditemukan: 1.515 (1.406 SO + 109 RO)
Muara Enim
Kasus ditemukan: 1.310 (1.294 SO + 16 RO)
Musi Banyuasin (Muba)
Kasus ditemukan: 1.145 (1.095 SO + 50 RO)
Ogan Komering Ulu Timur (OKU Timur)
Kasus ditemukan: 1.223 (1.195 SO + 28 RO)
Lahat
Kasus ditemukan: 1.047 (1.010 SO + 37 RO)
Musi Rawas Utara (Muratara)
Kasus ditemukan: 774 (728 SO + 46 RO)
Lubuk Linggau
Kasus ditemukan: 929 (899 SO + 30 RO)
Ogan Komering Ulu (OKU)
Kasus ditemukan: 857 (823 SO + 34 RO)
Prabumulih
Kasus ditemukan: 777 (764 SO + 13 RO)
Ogan Komering Ulu Selatan (OKU Selatan)
Kasus ditemukan: 649 (607 SO + 42 RO)
Empat Lawang
Kasus ditemukan: 493 (483 SO + 10 RO)
Pagar Alam
Kasus ditemukan: 383 (341 SO + 42 RO)
Penukal Abab Lematang Ilir (PALI)
Kasus ditemukan: 348 (328 SO + 20 RO)