Dilema Buruh Perempuan: Upah Rendah, Hak Diabaikan dan Karier Tak Panjang

- Perempuan buruh sawit di Musi Banyuasin mengalami kesenjangan upah dibandingkan laki-laki.
- Perempuan cenderung bekerja di sektor-sektor dengan upah lebih rendah dan mengalami penurunan penghasilan setelah menikah.
- Kaum buruh pria juga mendukung kesetaraan dan kesejahteraan yang adil bagi siapapun bekerja.
Musi Banyuasin, IDN Times - Sri (39) merupakan satu diantara puluhan wanita di desanya yang bergantung pada sawit di Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba). Ibu tiga anak yang juga berstatus sebagai Buruh Harian Lepas (BHL) di perusahaan sawit ini harus rela membagi waktu antara mengurus keluarga dan bekerja dengan upah jauh dibawah minimum yang sudah ditetapkan.
Kendati demikian, menurut Sri, upah yang diterima selama ini dirasakan belum cukup untuk menambal kebutuhan rumah sehari-hari. Sang suami, yang juga buruh sawit sejak awal mereka menikah, diberikan beban pekerjaan lebih berat dibandingkan dirinya yang melakukan pemupukan dan pemeliharaan sawit remaja.
1. Resiko gangguan kesehatan dan minimnya perlindungan dari perusahaan

Sri menyebutkan, selama ini mereka menerima upah yang berbeda dengan pekerja laki-laki yang notabenenya pekerja kasar seperti memanen sawit, mengangkut ke pabrik, sopir, dan sebagainya. Maka itu selisih nominal antara pekerja perempuan dan laki-laki cukup besar.
"Saya tahu, karena kebetulan kami (suami istri) sama-sama buruh sawit. Mirisnya lagi, kalau tidak masuk kerja entah itu izin atau sakit upah ikut terpotong," ujarnya.
Padahal menurutnya, buruh sawit perempuan seperti dirinya cukup rentan dalam bekerja. Resiko terpapar zat kimia saat pemupukan menjadi ancaman kesehatan yang serius. Selama ini banyak menganggap wajar upah buruh perempuan rendah dibanding laki-laki karena beban kerja.
"Biaya pengobatan buruh harian lepas tidak jadi tanggungan perusahaan. Hanya pekerja berstatus tetap yang dapat menikmati fasilitas pembiayaan kesehatan (BPJS). Selama ini kalau ada pemeriksaan luar, hanya tensi biasa. Padahal kita kan nggak tahu seperti apa organ dalam yang terimbas," jelasnya.
2. Penghasilan menurun usai menikah dan melahirkan

Persoalan kesenjangan upah ini juga menjadi pemicu perempuan cenderung bekerja di sektor-sektor yang menawarkan upah lebih rendah, seperti sektor jasa atau pekerjaan informal. Parahnya lagi, perempuan cenderung mengalami penurunan penghasilan setelah menikah dan melahirkan anak.
Hal inilah yang dirasakan Tika (29), mantan karyawan toko waralaba di Palembang ini tak bisa melanjutkan karirnya saat mengajukan cuti untuk melahirkan. Alasannya, perusahaan menghapus cuti lahiran dan akan mencari orang pengganti untuk mengisi kekosongan posisi yang ditinggal Tika.
"Kalau soal gaji, kami tak ada bedanya dengan laki-laki dan menyesuaikan jabatan. Namun bagi pegawai perempuan, karier kami stuck saat mau lahiran. Otomatis harus resign sendiri," ungkapnya.
Padahal Tika sudah bekerja selama 10 tahun di perusahaan tersebut dan tidak ada toleransi bagi cuti melahirkan. Namun menurutnya, sebagai 'orang lama' di perusahaan ia diberi peluang untuk kembali bekerja usai melahirkan.
"Tapi jatuhnya kembali ke nol (awal). Benar-benar diperlakukan sebagai karyawan baru, jika belum setahun bekerja maka THR tidak akan full. Intinya sama saja kembali ke awal," ungkapnya.
3. Perusahaan abai hak cuti perempuan

Terkait ketimpangan upah ini, kaum buruh pria juga menyuarakan kesetaraan dan kesejahteraan yang adil bagi siapapun bekerja dengan tuntutan yang sama. Menurut Aidil (40) salah satu pekerja media lepas di Muba, baik buruh pria maupun buruh perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam lingkungan kerja. Termasuk hak atas upah yang adil, kondisi kerja yang aman, dan perlindungan dari diskriminasi.
"Perempuan diberikan keistimewaan dan fitrah yang harus dihormati. Misalnya cuti haid dan melahirkan yang sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Namun masih banyak perusahaan abai akan hak mereka, dengan tidak memberikan gaji selama cuti," ujarnya.
Ia mencontohkan, salah satunya cuti haid yang memungkinkan pekerja perempuan untuk tidak masuk kerja selama dua hari pertama masa haid jika merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha. Selama ini, banyak yang tidak menggunakan hak cuti tersebut karena perusahaan enggan memberikannya.
"Seharusnya cuti ini tidak mengurangi hak cuti tahunan dan tetap dibayarkan gajinya. Namun jangankan mau cuti haid, untuk cuti lahiran saja dihapuskan bahkan jika absen karena sakit malah gaji dipotong," ungkapnya.
4. Buruh penggerak roda perekonomian

Menurutnya, meskipun perempuan cenderung bekerja di sektor informal namun rentan terhadap eksploitasi dan kesulitan untuk mendapatkan perlindungan sosial. Maka itu sudah selayaknya diupah dengan maksimal tanpa perlu membedakan gender.
"Saat ini yang harus diperjuangkan adalah hak buruh untuk mendapatkan kesejahteraan. Buruh ini penggerak roda perekonomian, jadi jangan disepelekan. Saat ini buruh dihantui PHK dan nasibnya digantung oleh pemerintah," tegasnya.