Pembebasan PPh 21: Bukti Pemerintah Tak Mampu Harmonisasi Ekonomi

Palembang, IDN Times - Presiden Prabowo berencana menerapkan pembebasan pajak penghasilan (PPh 21) bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp10 juta per bulan pada 2025 di sektor padat karya.
Program yang semula diajukan pemerintah sebelumnya, yakni pemerintahan Presiden Jokowi dan inisiasi Kementrian Keuangan (Kemenkeu), disebut jadi bukti pemerintah tak mampu kelola harmonisasi ekonomi.
"Pembebasan PPh pasal 21 ini tujuannya untuk membantu (rakyat), tapi bagaimana dengan mereka yang memiliki usaha dan mempekerjakan SDM? Ujung-ujungnya bisa menyebabkan PHK dan menambah pengangguran," kata Pengamat Ekonomi Sumatra Selatan (Sumsel) Yan Sulistyo kepada IDN Times, Jumat (27/12/2024).
1. Pembebasan PPh 21 dan kenaikan PPN 12 persen menunjukkan ekonomi tidak stabil

Menurutnya kebijakan PPh 21 tidak adil, karena potongan PPh 21 ini ditanggung Wajib Pajak pribadi atas pekerjaan dan jasa. Lalu bagaimana nasib dari industri kecil? Sementara aturan berlaku, nanti hanya pekerja yang bekerja di industri besar dan dengan minimal mempekerjakan 200 orang baru bisa mendapatkan potongan tersebut.
Sedangkan perusahaan yang pekerjanya di bawah 200 orang maka mereka tidak bisa mendapatkan pembebasan pajak tersebut. Sementara, mayoritas pengusaha di Indonesia khususnya Sumsel, banyak pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang memiliki pegawai.
"Tujuannya kan (PPh21) untuk menjaga daya beli di tengah kenaikan PPN (pajak pertambahan nilai), tetapi dilihat secara mikro ini tidak seimbang. Menunjukkan bahwa harmonisasi ekonomi kita tidak stabil," jelas dia.
2. Harmonisasi ekonomi yang tak stabil sebabkan investor ragu bekerjasama

Yan menyampaikan, kondisi ekonomi yang tidak stabil berdampak terhadap perkembangan wilayah secara makro. Setelah, kebijakan benar-benar terealisasi dan menunjukkan harmonisasi ekonomi tak stabil, dipastikan investor ragu untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah.
"Kalo PPh tidak diterapkan di industri kecil, tentu ancaman PHK akan terjadi. Investor bisa saja hengkang dan iklim ekonomi tidak kondusif," katanya.
3. Kebijakan ini bukti APBN tak mencukupi kebutuhan pemerintah

Pembebasan PPh 21 bagi pemberi kerja dan pemegang kas pemerintah serta untuk dana pensiun, jelas Yan, jadi bukti jika pemerintah tidak mampu mencukupi kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Negara (APBN). Alasan untuk meningkatkan daya beli dari wacana kenaikan 12 persen dengan penerapan pembebasan PPh 21 hanya menjadi tameng.
"Kebijakannya, intinya tetap mengganggu rakyat. Ini dipicu dari pemerintah tidak mampu menghasilkan dan mengelola APBN. Saat ini APBN kita minus akibat program IKN, kemudian adanya tambahan pensiun untuk anggota dewan, hingga terbaru ini kabinet di Presiden Prabowo gemuk," jelas dia.
4. Wacana kenaikan PPN 12 persen berlaku mulai Januari 2025

Sementara dari aturan pembebasan PPh 21 yang bertujuan meningkatkan daya beli berdasarkan rencana kenaikan PPN 12 persen, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Mayarakat Dirjen Pajak, Dwi Astuti mengatakan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Sesuai kesepakatan Pemerintah dengan DPR, kenaikan tarif dilakukan secara bertahap, dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 dan kemudian dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.
"Kenaikan secara bertahap ini dimaksudkan agar tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi," kata dia.
Dwi menambahkan tidak semua barang dikenakan pajak 12 persen karena tetap ada barang yang bebas PPN, barang dan jasa tersebut berupa kebutuhan pokok yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
Sementara itu sektor jasa yang tidak dikenakan PPN yakni jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum.
"Sedangkan barang lainnya yang tidak dikenakan PPN yakni buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rusunami, listrik, dan air minum dan berbagai insentif PPN lainnya," jelas dia.