Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Upaya KPCDI Palembang Tingkatkan Kesadaran Anak Muda Soal Sakit Ginjal

Sosialisasi yang dilakukan KPCDI Palembang terkait gagal ginjal dan cuci darah kepada anak muda di Palembang (Dok: KPCDI Palembang)
Intinya sih...
  • Pasien cuci darah akibat gagal ginjal meningkat setiap tahun, termasuk banyak anak muda di bawah 40 tahun.
  • Hipertensi dan gula darah menjadi penyebab utama tingginya kasus gagal ginjal pada anak muda, yang sering kali tidak menyadari risikonya.
  • Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Palembang memberikan edukasi kepada masyarakat, khususnya anak muda, untuk waspada terhadap risiko gagal ginjal.

Palembang, IDN Times - Pasien cuci darah akibat gagal ginjal setiap tahunnya meningkat. Banyak anak muda di bawah 40 tahun yang menjalani perawatan cuci darah akibat kerusakan jaringan ginjal di usia muda.

Hal inilah yang akhirnya membuat Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Palembang turun tangan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat. Banyak anak muda yang tidak aware dengan penyakitnya hingga harus menderita gagal ginjal dan melakukan cuci darah seumur hidup.

"KPDCI Palembang melihat banyak kasus cuci darah kini diakibatkan oleh hipertensi. Kalau kita telusuri lagi hasil wawancara dengan penyintas dan pendampingnya, mereka kebanyakan mengonsumsi minuman dan makanan instan. Tak jarang juga makan makanan beku yang tinggi akan natrium atau garam," ungkap Plt Ketua KPCDI Palembang Novan Wijaya Mahdor kepada IDN Times, Jumat (21/3/2025).

1. Kebanyakan penyintas telat menyadari penyakitnya

Meningkatnya Kasus Gagal Ginjal pada Anak Muda, KPCDI Palembang Galakkan Edukasi Kesehatan

Novan menjelaskan, hipertensi dan gula darah menjadi penyebab utama tingginya kasus gagal ginjal. Kasus hipertensi yang tidak terkontrol membuat banyak orang tidak menyadari bahwa mereka berisiko terkena gagal ginjal.

"Mereka baru menyadari ketika kondisi kesehatan menurun. Ketika drop mereka baru divonis gagal ginjal. Kasus ini banyak terjadi pada anak muda di bawah 40 tahun hingga 20 tahunan," jelas dia.

Melihat banyaknya anak muda yang terkena gagal ginjal, Noval bersama rekan-rekan di KPCDI Palembang menggalakkan untuk datang ke SMK/SMA di Palembang. Mereka berharap ada kesadaran anak muda untuk waspada mengingat gagal ginjal bisa terjadi di semua usia.

"Sosialisasi terkait gagal ginjal dan cuci darah ini bukan untuk melebihi kapasitas dokter tetapi sebagai edukasi dan mengingatkan kepada anak muda untuk waspada. Selain sosialisasi di sekolah, kita juga kerap kopi darat dengan rekan-rekan di KPCDI dengan membawa pamplet dan selebaran terkait edukasi," jelas dia.

2. Manfaatkan platform media sosial untuk berbagi edukasi

Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Palembang (Dok: KPCDI Palembang)

Novan menjelaskan, informasi soal gagal ginjal saat ini sudah merata dapat diakses diberbagai platform media sosial. Seperti saat dirinya bergabung 2018 silam, dirinya memulai mencari informasi terkait gagal ginjal tersebut melalui komunitas di media sosial.

"Informasi terkait gagal ginjal saat ini sudah lebih dari cukup. Kita juga menjalin komunikasi melalui WhatsApp Group (WAG). Di dalamnya kita sharing terkait penanganan gagal ginjal," jelas dia.

Dalam berbagi pengetahuan mengenai permasalahan gagal ginjal tak jarang ada perawat hingga dokter yang kerap membagikan informasi kepada para penyintas dan pendamping. Hal ini dibutuhkan penyintas untuk tetap semangat dalam menjalani hari-harinya usai divonis untuk melakukan cuci darah seumur hidup.

"Kita ada pasien yang sudah jalan 10 hingga 15 tahun menjalani perawatan cuci darah. Semua tercerahkan dengan informasi tambahan dari orang yang kompeten, kalau biasanya kontrol ke RS tidak sampai lima menit dengan dengan adanya WAG ini bisa bertukar pikiran selama 24 jam," jelas dia.

3. Saling memberikan motivasi ke pendamping dan pasien gagal ginjal

ilustrasi nyeri batu ginjal (istockphoto.com/Tharakorn)

Saat pertama berhubungan dengan penyakit gagal ginjal, dirinya mengaku awam dengan penyakit ini. Persinggungan dengan gagal ginjal terjadi saat orang tuanya divonis dokter harus cuci darah. Seperti halnya keluarga pasien lain yang baru divonis gagal ginjal, Novan mengaku sedih dan bingung.

Dirinya pun akhirnya berunding dengan keluarga mengenai tindak lanjut pengobatan orang tuanya. Cuci darah akhirnya menjadi pilihan terakhir yang diambil untuk proses penyembuhan sesuai saran dokter yang dirinya terima.

"Saya sebagai pendamping yang kebetulan ibu saya divonis gagal ginjal. Dengan berbagai pertimbangan, inilah jalan terakhir yang harus diambil. Mau tidak mau itulah saran dari dokter kala itu," jelas dia.

Sebagai orang yang awam dengan gagal ginjal, dirinya mendampingi orang tuanya untuk menyemangati pasien untuk sehat seperti sedia kala. Mau tidak mau, dirinya sebagai pendamping pasien mencari informasi perawatan apa yang harus diambil untuk membantu ibunya dengan pasien lain yang sudah lebih dulu menjalankan perawatan.

"Perlahan kita bisa menerima kenyataan. Saya juga mendalami apa yang bisa dan tidak dilakukan oleh pasien. Dengan bertemu pasien lain dan teman-teman seperjuangan lainnya, kita merasa ada teman untuk sembuh sehingga ada motivasi dari pasien ke pasien," jelas dia.

4. Tetap senang mendampingi pasien gagal ginjal

Ilustrasi ginjal (shutterstock.com/Natali_Mis)

Saat mendampingi pasien gagal ginjal yang harus rutin melakukan cuci darah, tak jarang pasien melanggar pantangan yang dilarang. Sebagai pendamping, tak bosan Novan berusaha mengingatkan mereka agar menjaga pola hidup sehat.

"Sulit menahan pasien untuk tidak melanggar pantangan, karena pasien gagal ginjal itu tingkat dehidrasinya cukup tinggi. Sehingga mereka tidak boleh beraktivitas yang berlebih, terkadang sudah kita larang masih saja dilakukan," jelas dia.

Meski begitu, dirinya tidak pernah bosan mendampingi penyintas gagal ginjal. Dirinya memilih untuk tetap menemani penyintas gagal ginjal agar kondisi kesehatannya tidak menurun terlebih karena stres.

"Kita kalau capek sebisa mungkin itu tidak harus disampaikan ke pasien. Kita menikmati proses dari mendampingi pasien, bisa mendapat keluarga baru. Saya pribadi cukup senang merawat penyintas terlebih saya merawat orang tua sendiri," jelas dia.

5. Pasien gagal ginjal harus tetap mendapat pendampingan

ilustrasi sakit ginjal (istockphoto.com/ArLawKa AungTun)

Novan menjelaskan, meski fungsi ginjalnya sudah tidak berfungsi sepenuhnya, pasien gagal ginjal tetap bisa beraktivitas dengan normal. Mereka tetap diberikan edukasi bagaimana menjalani kehidupan seperti biasa terutama mengenai pantangan makan atau minum yang harus dikurangi untuk dikonsumsi.

"Sebenarnya selama nafsu makan ada dari penyintas tidak ada larangan untuk mengkonsumsi apa saja. Tetapi memang sebagai pendamping harus memperhatikan jangan konsumsi yang dimakan atau diminum berlebihan," jelas dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hafidz Trijatnika
Rangga Erfizal
Hafidz Trijatnika
EditorHafidz Trijatnika
Follow Us