Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Jalan Penyintas Gagal Ginjal di Palembang Bertahan Demi Anak

Dewi Kartika Sari, penyintas gagal ginjal yang bertahan melakukan cuci darah (Dok: Dewi Kartika Sari)
Intinya sih...
  • Dewi Kartika Sari rutin cuci darah selama 10 tahun setelah divonis gagal ginjal pada usia 30 tahun.
  • Dirinya harus bolak-balik ke berbagai rumah sakit untuk meyakinkan diri akan vonis dokter yang dijalaninya.
  • Penyebab gagal ginjal yang dialami Dewi adalah hipertensi yang terjadi saat kehamilan anak pertama dan kedua.

Palembang, IDN Times - Sudah sepuluh tahun Dewi Kartika Sari (40) harus bolak-balik ke fasilitas kesehatan untuk melakukan rutinitas cuci darah. Dirinya divonis mengalami gagal ginjal saat berusia 30 tahun pada 2015 silam.

Kala itu, sebagai anak muda yang menerapkan pola hidup sehat, Dewi kaget harus mendapat cobaan yang begitu berat. Sulit baginya untuk percaya fungsi ginjalnya telah mengalami kerusakan jaringan.

"Saya harus bolak-balik memeriksakan diri ke RS berbeda sebanyak tiga kali karena awalnya saya gak percaya kok bisa saya terkena gagal ginjal," ungkap Dewi kepada IDN Times, Jumat (21/3/2025).

1. Sempat berharap vonis dokter di Indonesia salah

ilustrasi cek tekanan darah dengan tensimeter digital (freepik.com/lev.studio.x)

Dewi mengungkapkan, saat pertama kali divonis gagal ginjal dirinya masih tinggal di Banda Aceh. Dirinya harus berganti-ganti mencari rumah sakit untuk meyakinkan dirinya bahwa vonis dokter tersebut salah. Karena rasa tidak percaya vonis dokter tersebut, dirinya terbang ke Penang Malaysia. Dirinya berharap vonis dokter di Indonesia bukanlah kenyataan yang harus diterimanya seumur hidup.

"Dulu saya berharap dokter salah deteksi di Indonesia. Karena rasa gak percaya itu, saya pun ke Penang. Di sana saya melakukan medical check up, setelah menjalani CT Scan akhirnya dokter memberikan vonis yang sama, memang benar-benar saya gagal ginjal," ungkap dia.

Dirinya pun langsung dioperasi dan melakukan cuci darah. Pikiran Dewi saat itu hanya satu, dirinya harus sehat karena anak-anaknya masih kecil. Mereka masih membutuhkan kasih sayang ibu sehingga dirinya berpikir positif untuk kembali sehat.

"Dulu belum ngerti apa itu penyebabnya (gagal ginjal). Setelah di Penang saya diberi tahu bahwa racunnya sudah banyak, kalau tidak cuci darah bisa fatal," ungkap dia.

2. Divonis gagal ginjal pada 2015 silam

Ilustrasi ginjal (shutterstock.com/Natali_Mis)

Mengetahui dirinya sakit, Dewi mulai berdamai dengan diri sendiri. Dirinya hanya fokus untuk sehat bagi anak-anaknya. Dirinya pun baru mengetahui penyebab gagal ginjal yang dihadapinya karena hipertensi yang terjadi semasa kehamilan.

Pada saat kehamilan anak pertama di tahun 2012 dirinya mengalami Eklamsia tau komplikasi kehamilan yang ditandai dengan tekanan darah tinggi. Kala itu, dirinya berpikir hal tersebut wajar karena dalam posisi mengandung anak dan hal tersebut merupakan hal yang juga terjadi pada beberapa kasus kehamilan.

Saat mengandung anak kedua 2014, dirinya juga mengalami hal yang serupa. Dirinya rutin meminum obat hipertensi agar tak menganggu proses kehamilan anaknya.

"Setelah melahirkan tekanan darah saya normal kembali. Tadinya saya minum obat hipertensi namun karena sudah kembali normal saya sudah tidak meminum obat tersebut," jelas dia.

Sekitar satu tahun setelah melahirkan anak kedua, Dewi mulai merasakan pusing setiap kali beraktivitas. Dirinya sempat berpikir pusing karena kerap membuat susu untuk anak pada malam hari dan kurang tidur karena mengurus anak yang masih kecil,

"Saya heran juga kenapa pusingnya berulang. Lalu kencing pun rada berbusa dan pusing terus. Jadi saya inisiatif untuk medical check up. Kala itu, saya pertama kali divonis gagal ginjal pada 9 Juni 2015," jelas dia.

3. Menguatkan diri dan menerima sebagai penyintas

Ilustrasi cuci darah. (freepik.com/Macrovector)

Setelah sakit, Dewi akhirnya menyadari kalau dia mengalami Hipertensi karena faktor genetik dari keluarganya. Hal itu, baru disadarinya setelah divonis gagal ginjal sehingga telat melakukan pencegahan.

"Saya awalnya tidak menyadari terkena hipertensi karena merasa hipertensi ini dipicu kehamilan. Jadi saya hanya minum obat saat hamil saja ternyata salah, seharusnya minum terus meski sudah sembuh. Di situ saya awalnya kurang edukasi soal hipertensi jadi saya hanya minum obat ketika hamil," jelas dia.

Seiring waktu, Dewi mulai berpikir untuk tetap sehat dan menerima keadaan. Dirinya mencoba menguatkan diri dengan selalu berpikir positif dan menjalin komunikasi dengan dokter dan perawat di rumah sakit. Selain itu, dirinya juga menjalin silahturahmi dengan kawan-kawan di Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPDCI).

"Awal-awalnya dulu iya, ada perasaan tidak terima. Balik-balik lagi ke ajaran agama untuk lebih nerima sebagai ujian. Prinsip saya, kalau meninggal tidak harus sakit, orang yang gak sakit saja bisa mati. Semua sudah suratan takdir dan skenarionya, jadi ikutin saja skenario Tuhan itu," jelas dia.

4. Harus cuci darah delapan kali dalam sebulan

Dewi Kartika Sari, penyintas gagal ginjal yang bertahan melakukan cuci darah (Dok: Dewi Kartika Sari)

Dewi mencatat, dalam satu bulan dirinya harus kontrol ke dokter hingga delapan kali untuk cuci darah. Jadwal rutinnya, Selasa dan Jumat setiap pekan, dirinya mencoba untuk tidak telat melakukan cuci darah untuk tetap menjaga dirinya tetap sehat.

"Selama perawatan saya hanya sekali terlewat untuk cuci darah. Kalau bakal telat, saya biasanya mengurangi minum karena kalau gak cuci darah air seni tidak keluar dan makan pun jangan mengandung racun karena tubuh bisa bengkak-bengkak akibat cuci darah," jelas dia.

Baru-baru ini Dewi kembali melahirkan anak ketiga di tengah kondisi yang rutin melakukan cuci darah. Dirinya beruntung karena menjadi satu diantara 1.000 wanita yang masih bisa diberikan anak oleh Tuhan di tengah kondisi penyakit yang harus dilaluinya.

"Di tengah kehamilan itu juga saya tetap harus cuci darah. Saat usia kandungan memasuki triwulan kedua intensitas cuci darah bisa meningkat menjadi tiga kali dalam seminggu," jelas dia.

5. Saling menguatkan dan ingatkan anak muda

ilustrasi sakit ginjal (istockphoto.com/ArLawKa AungTun)

Kini Dewi tidak lepas dari rutinitas cuci darah dan meminum obat. Pikiran hanya satu, bertahan untuk anak-anaknya yang masih kecil. Dirinya berharap bisa membersamai mereka hingga dewasa dalam keadaan tetap sehat.

"Kalaupun ada obat yang ditanggung dan harus membayar saya juga akan membelinya. Karena saya pikir harus sehat untuk anak-anak," beber Dewi.

Jika sebelumnya Dewi merasa sudah menjalankan pola hidup sehat sebelum sakit, maka kini dirinya lebih meningkatkan pola hidup sehat tersebut. Sebagai pasien gagal ginjal dirinya juga belajar terus mengenai penyakit yang dideritanya dengan konsultasi dengan dokter atau berbagi cerita dengan pasien lain di dalam komunitas.

kalau saya pola makan seperti biasa. setiap pasien tapi gak sama. ada yang akdar kalium tinggi gak bisa minum dan makan buah dan sayur. Kalau saya kadar kaliumnya normal jadi gak papa kalau harus makan sayur dan buah tapi tetap tidak berlebihan. sebenernya sih pasien cuci darah itu wajib belajar juga, mempelajari diri sendiri. setiap orang beda2 terkait pantangannya.

Menurutnya, setiap pasien cuci darah yang ditemuinya memiliki kasus yang berbeda-beda. Sehingga dalam langkah perawatan yang diambil dan makanan yang boleh dan tidak untuk dikonsumsi pun berbeda.

"Kita tetap saling mendukung sesama penyintas di komunitas. kita berbagi pengalaman mengenai penyakit ini," jelas dia.

Dirinya pun mengingatkan anak-anak muda yang masih sehat untuk mengubah pola hidup menjadi lebih baik. Adapun mereka yang sudah sakit diminta untuk menerima setiap keadaan dengan lebih bijak.

"Untuk anak muda perhatikan makannya jangan yang instan, jangan lupa minum air putih. Banyak sekarang kasus yang muda-muda cuci darah karena kurang minum air putih dan minum-minuman manis," jelas dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hafidz Trijatnika
Rangga Erfizal
Hafidz Trijatnika
EditorHafidz Trijatnika
Follow Us