Hutan Dataran Rendah Terakhir di Sumatra Selatan Kian Terdesak

- Hutan dataran rendah terakhir di Sumatra Selatan, Lanskap Meranti-Harapan, terancam oleh deforestasi, fragmentasi habitat, dan aktivitas manusia yang meningkat.
- Kawasan ini merupakan habitat strategis bagi gajah Sumatra dan harimau Sumatra, tetapi mengalami deforestasi hingga 638,7 hektare selama periode 2018-2025.
- Pengelolaan kolaboratif multipihak yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, akademisi, LSM, dan masyarakat menjadi kunci penyelamatan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem hutan hujan dataran rendah di Sumatra Selatan.
Palembang, IDN Times – Lanskap Meranti–Harapan kini menjadi benteng terakhir hutan hujan dataran rendah di Sumatra Selatan. Kawasan bernilai konservasi tinggi ini menghadapi tekanan serius akibat deforestasi, fragmentasi habitat, dan meningkatnya aktivitas manusia yang mengancam keberlanjutan ekosistem serta satwa kunci Sumatra.
Isu tersebut mengemuka dalam seminar dan Focus Group Discussion (FGD) yang digelar PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) bersama Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Selatan, Selasa, 16 Desember 2025, di Palembang.
Habitat kunci gajah dan harimau sumatra

Lanskap Meranti–Harapan berperan strategis sebagai habitat gajah sumatra dan harimau sumatra, sekaligus koridor ekologis yang menjaga konektivitas hutan yang semakin terfragmentasi. Di dalamnya terdapat kawasan PBPH Restorasi Ekosistem yang dikelola PT REKI, dengan nilai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
Namun, data menunjukkan deforestasi periode 2018–2025 mencapai 638,7 hektare, atau hampir 80 hektare per tahun. Fragmentasi hutan mempersempit ruang jelajah satwa, menurunkan kualitas habitat, serta meningkatkan potensi konflik manusia dan satwa liar.
Ancaman lain datang dari pembangunan jalan tambang yang membuka akses ke dalam kawasan hutan, memicu perambahan, kebun ilegal, hingga aktivitas perburuan.
Tekanan ekologis dan konflik sosial

Site Manager PT REKI, Dewa Gumay, menyebut lebih dari separuh lanskap Meranti–Harapan berada di ekoregion berstatus critically endangered, akibat kehilangan tutupan hutan lebih dari 70 persen sejak 1980.
"Fragmentasi habitat memicu edge effect, perubahan mikroklimat, hingga menurunnya daya dukung ekosistem. Kondisi ini berdampak langsung pada meningkatnya konflik manusia-satwa, terutama pergerakan gajah ke area budidaya dan permukiman," kata Dewa.
Di sisi lain, tekanan ekonomi dan isu tenurial masyarakat sekitar kawasan menuntut pendekatan pengelolaan yang tidak hanya berorientasi perlindungan, tetapi juga berkeadilan sosial.
Kolaborasi jadi kunci penyelamatan

Direktur PT REKI, Adam Aziz, menegaskan pengelolaan Meranti–Harapan tidak bisa dilakukan secara sektoral. Menurutnya, kolaborasi multipihak yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, akademisi, LSM, dan masyarakat menjadi kunci menjaga hutan hujan dataran rendah terakhir di Sumatra Selatan.
“Kami mendorong model pengelolaan yang integratif, adaptif, dan berbasis data, agar manfaat ekologis sejalan dengan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Upaya ini juga diperkuat dengan inisiatif pembentukan Koridor Satwa Meranti Dangku yang diusulkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE), guna menjaga konektivitas habitat gajah dan harimau.
FGD tersebut menghasilkan komitmen bersama untuk memperkuat pengelolaan lanskap Meranti–Harapan secara berkelanjutan. Kawasan ini diharapkan tidak hanya bertahan sebagai benteng terakhir biodiversitas Sumatra Selatan, tetapi juga menjadi model pengelolaan hutan hujan dataran rendah yang kolaboratif di Indonesia.


















