Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Ahli Hukum: Tapal Batas Muba dan Muratara Bertentangan dengan UU

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Dekan FH UMKT, Prof Aidul Fitriciada Azhari (IDN Times/Feny Maulia Agustin)
Intinya sih...
  • Ahli hukum menilai tapal batas Muba dan Muratara bertentangan dengan UU dan peraturan Kemendagri.
  • Konflik tapal batas dapat berdampak negatif terhadap masyarakat, ekonomi, budaya, dan administrasi kependudukan.
  • Pengembangan wilayah terkendala jika konflik tapal batas tidak segera diselesaikan karena polemik ini bisa memicu masalah baru.

Palembang, IDN Times - Persoalan tapal batas wilayah Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) dan Musi Rawas Utara (Muratara) masih jadi isu kompleks di Sumatra Selatan (Sumsel) dan perlu pehatian serius, terutama soal ketetapan peraturan undang-undangan (UU) atas kewenangan batas wilayah pasti berdasarkan kebijakan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

"Permasalahan wilayah ini muncul dari dua aspek utama kewenangan yang diberikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Permendagri Nomor 76 Tahun 2014 dan ketidakhadiran partisipasi masyarakat dalam proses penetapan batas wilayah," ujar Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Dekan FH UMKT, Prof Aidul Fitriciada Azhari dalam agenda Eksaminasi Publik Terhadap Putusan MA: Menyoal Pengujian Batas Daerah Kabupaten Musi Banyuasin dengan Kabupaten Musi Rawas Utara Provinsi Sumatera Selatan di Arista Hotel Palembang, Rabu (16/10/2024).

1. Berdasarkan hukum ada dua mekanisme dalam menyelesaikan sengketa tapal batas

Agenda Eksaminasi Publik: Pengujian Batas Daerah Kabupaten Musi Banyuasin dengan Kabupaten Musi Rawas Utara (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Sejumlah guru besar dan pakar hukum dari instansi berbeda menggelar diskusi publik di Sumatra Selatan (Sumsel) dalam agenda Kolegium Jurist (KJ) Institute dengan pembahasan analisa tapal batas Musi Banyuasin (Muba) dan Musi Rawas Utara (Muratara). Menurut para ahli hukum tersebut, persoalan tapal batas bertentangan dengan Undang-undang (UU) terkait putusan Mahkamah Agung (MA) yang terbit dalam Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 76 tahun 2014.

"Secara hukum, ada dua mekanisme yang dapat ditempuh menyelesaikan sengketa peraturan ini yakni pengajuan judicial review di Mahkamah Agung (MA) untuk memeriksa keabsahan peraturan di bawah UU" jelasnya.

Kemudian dilakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK) jika ditemukan konflik pada tingkat undang-undang. Aidul menekankan selain Permendagri 76 tahun 2014, sengketa tapal batas juga berkaitan terhadap aturan pembentukan Kabupaten Muratara di lapangan dengan kewenangan diatur langsung oleh pemerintah pusat.

2. Peran politik dan komunikasi pemerintah mendorong penyelesaian sengketa tapal batas wilayah

Eksaminasi Publik Terhadap Putusan MA: Menyoal Pengujian Batas Daerah Kabupaten Musi Banyuasin dengan Kabupaten Musi Rawas Utara Provinsi Sumatera Selatan

Menurut Aidul, persoalan tapal batas belum tuntas keseluruhan karena terdapat tapal batas tradisional yang sudah lama diakui masyarakat setempat dan tidak ada peran dan partisipasi publik ketika penetapan batas wilayah diproses dalam peraturan, sehingga polemik ini makin meluas dan penting disoroti seksama.

"Masyarakat terdampak memiliki hak to be heard (hak untuk didengar), right to be considered (hak untuk dipertimbangkan), dan right to be explained (hak untuk mendapatkan penjelasan),” kata dia.

Dirinya khawatir ketiadaan partisipasi publik memunculkan dampak negatif berupa eksklusi kelompok tertentu dan potensi konflik sosial, ekonomi, dan budaya. Selain aspek hukum, Aidul juga menekankan kepentingan dan peran komunikasi politik antara pemerintah pusat dan daerah sebagai langkah awal penyelesaian konflik.

"Kalau hanya mengandalkan jalur hukum, masalahnya bisa berlarut-larut. Komunikasi politik harus dijalankan secara intensif agar tidak terjadi kebuntuan,” tambahnya.

3. Polemik tapal batas memengaruhi dampak sosial dan ekonomi wilayah

Guru Besar Ilmu Hukum Konstitusi dan Perundang-undangan Universitas Sriwijaya, Prof Febrian (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Menurut Guru Besar Ilmu Hukum Konstitusi dan Perundang-undangan Universitas Sriwijaya, Prof Febrian, konflik tapal batas harus segera selesai agar tidak ada polemik berkepanjangan hingga memicu permasalahan baru karena daerah itu mulai berkembang pesat. "Faktor ekonomi, jika suatu kawasan maju maka mulai ada konflik antar dua daerah. Sebaliknya saat kawasan itu dulu belum maju justru aman saja," kata dia.

Febrian menilai, pengembangan wilayah akan terkendala jika daerah mengalami konflik tapal batas tanpa ada kepastian batas wilayah dengan jelas. Polemik ini bisa memicu pengembangan kawasan tak berjala yang berdampak terhadap ekonomi daerah.

"Sisi sosial, masyarakat juga sulit mengurus administrasi kependudukan karena tidak mungkin akan berlaku surut pengurusan administrasi kependudukan jika nanti kawasan itu sudah ditetapkan," timpalnya.

Pengaturan batas wilayah ini, kata Febrian, sebelumnya tidak menjadi soal. Namun setelah Permendagri No 76 Tahun 2014 terbit dan mengurangi cakupan wilayah Musi Banyuasin yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan sesuai UU Nomor 16 Tahun 2013 tentang penegasan batas wilayah, permasalahan kembali dibahas dan perlu kajian lebih lanjut.

“Terdapat satu desa yaitu Desa Sako Suban yang sebelumnya berada di wilayah Kabupaten Muba, setelah perubahan Permendagri menjadi bagian Kabupaten Muratara, dan keputusab ini membuat perubahan cakupan wilayah keliru, karena seharusnya pengambilan koordinat dari patok batas utama tidak sesuai kesepakatan bersama sebelumnya," kata dia.

Share
Topics
Editorial Team
Feny Maulia Agustin
Yogie Fadila
Feny Maulia Agustin
EditorFeny Maulia Agustin
Follow Us