Pilkada 2024, Ujaran Kebencian Meningkat di Media Sosial

Palembang, IDN Times - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Sumatra Barat (Sumbar) tercatat menerima ujaran kebencian tertinggi di media sosial (medsos) khususnya dalam teks dari platform X (dahulu Twitter) dan TikTok, demikian analisa Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bekerja sama dengan Monash University Indonesia.
Selain Sumbar, sejumlah provinsi dengan ujaran kebencian tertinggi selama masa Pilkada 2024 meliputi Jawa Barat (Jabar) Aceh, Maluku Utara (Malut) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Analisa itu dilakukan sejak 1 Agustus hingga 23 November 2024.
1. Ujaran kebencian menggunakan bahasa daerah

Associate Professor Data Science Monash University Indonesia, Derry Wijaya sekaligus tim peneliti ujaran kebencian di platform X (Twitter) dan TikTok mencatat hasil pemantauan di 5 provinsi itu berdasarkan total 185.083 teks komentar kebencian oleh netizen.
"Proyek pemantauan ini cukup rumit karena melibatkan kata kunci dalam berbagai bahasa daerah. Selain itu, setiap daerah juga memiliki konteks budaya mereka yang menjadi tantangan sehingga perlu kolaborasi dengan komunitas lokal, utamanya jurnalis lokal," ujarnya dalam keterangan rilis yang diterima IDN Times, Selasa (26/11/2024) malam.
2. Ujaran kebencian di medsos termasuk isu agama

Data terkumpul dari 56,6 persen (104.721 teks) berasal dari X, 35,1 persen (64.955 teks) dari komentar TikTok, dan 8,32 persen (15.405 teks) melalui konten video TikTok. Keseluruhan data tersebut, berdasarkan 86,1 persen (164.302 teks) berkaitan Pilkada 2024, kemudian 11,23 persen (20.781 teks) mengandung ujaran kebencian.
Co-Director Monash Data & Democracy Research Hub, Ika Idris, mengatakan ujaran kebencian di lima provinsi tersebut didominasi isu agama, akhlak, dan etika. "Isu agama, muncul bukan cuma di daerah yang kandidatnya beda agama, tapi juga yang agamanya sama. Narasi satu lebih saleh sangat mendominasi, seolah patokan utama seorang kandidat adalah kesalehannya," kata dia.
3. Sentimen publik menyinggung politik dinasti

Lebih lanjut menurut Ika, sentimen terhadap politik dinasti juga muncul sebagai upaya untuk tidak mendukung pasangan calon tertentu. Ada sentimen untuk menolak pasangan yang pencalonannya berbasis nepotisme kekeluargaan, dan bukan karena kompetensi.
“Sentimen negatif terkait politik dinasti yang muncul di pilpres dan pileg masih berlanjut mewarnai pilkada. Bahkan ada ajakan untuk memilih kotak kosong ke kandidat yang disokong koalisi besar menguat,” tegas Ika.
4. KPUD dan Bawaslu perlu menyoroti persoalan ujaran kebencian di medsos

Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, menambahkan selama masa pemantauan terdapat tiga momen peningkatan ujaran kebencian terkait Pilkada 2024. Pertama saat putusan MK soal penyelenggaraan Pilkada, kedua saat penetapan calon oleh KPU pada 23 September 2024, dan terakhir pasca-pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI pada 21 Oktober 2024.
“Tingginya ujaran kebencian di 5 provinsi, yang mungkin juga terjadi di provinsi lain, perlu jadi perhatian KPUD maupun Bawaslu. Ini perlu tindakan pencegahan segera agar ujaran kebencian ini tidak terakumulasi membesar pada pasca Hari H Pemilihan. Perlu kerja sama kongkrit antara KPU/Bawaslu dengan platform digital seperti Tiktok, Meta, X dan Google," jelasnya.
Tercatat ujaran kebencian di Jawa Barat, dari isu polarisasi berkaitan poligami dan narkoba. Sementara di Aceh dan NTB ditemukan ujaran kebencian dan diskriminasi terhadap perempuan, kelompok rentan penyandang disabilitas, penganut Kristen, Katolik, Rohingya, Syiah, Ahmadiyah, dan keturunan Tionghoa.