Keracunan MBG Jadi Gambaran Lemahnya Pengawasan & Standardisasi Pangan

- Kasus keracunan siswa di Sumsel akibat lemahnya pengawasan dan standardisasi pangan
- Rantai distribusi MBG sering tidak diawasi secara ketat, higienitas pengolahan pangan tidak seragam, dan pengawasan kerap diabaikan
- Pemerintah perlu memperkuat pelaksanaan dengan tata kelola yang baik, sertifikasi produk pangan, respons cepat terhadap kasus keracunan, dan integrasi teknologi digital dalam sistem pelaporan dan monitoring pangan
Palembang, IDN Times - Maraknya kasus keracunan siswa usai menyantap Menu Makan Bergizi Gratis (MBG) di Sumsel. Per hari ini sudah ada 296 siswa yang menjalani perawatan ke berbagai fasilitas kesehatan di enam kabupaten dan kota.
Kasus keracunan tersebut diduga bukan hanya terjadi karena kelalaian teknis di dapur penyedia. Tetapi, lemahnya standar higienitas serta pengawasan distribusi pangan di lapangan.
"Dari sisi operasional inilah titik terlemah yang harus dibenahi. Rantai distribusi MBG sering kali tidak diawasi secara ketat. Standar kebersihan pengolahan pangan tidak seragam, dan pelaku usaha di lapangan masih banyak yang belum paham pentingnya higiene pangan," ungkap Pejabat Otoritas Veteriner Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) Sumsel, Jafrizal, Jumat (26/9/2025).
1. Perlu upaya pengawasan rutin dan sanksi bagi pelanggar

Jafrizal menerangkan, satu kelalaian pada rantai distribusi MBG dapat berakibat fatal terhadap kesehatan jutaan siswa di Indonesia. Padahal jika pengawasan dilakukan secara ketat, keracunan tersebut dapat dihindari. Terlebih selama ini, aspek pengawasan kerap diabaikan karena alasan kekurangan sumber daya manusia dan anggaran.
"Akibatnya, pengawasan lebih banyak bersifat administratif daripada substantif. Pengawasan berbasis risiko perlu diterapkan, dengan audit rutin dan tindakan tegas bagi pelanggar," jelas dia.
2. Kesalahan MBG berasal dari lemahnya penerapan standar higienitas

Dirinya menilai, keracunan MBG yang meluas bukanlah salah dari program yang dicanangkan pemerintah. Dirinya menilai, kesalahan tersebut berada pada operasional di lapangan.
Secara umum program MBG memiliki tujuan yang sangat mulia, dengan menghadirkan pangan bergizi, terjangkau, dan merata bagi masyarakat. Dengan kata lain, programnya benar, namun pelaksanaannya yang perlu diperbaiki dengan evaluasi menyeluruh.
"Kesalahan terletak pada lemahnya penerapan standar higienitas, distribusi yang tidak terkendali, serta pengawasan yang belum optimal," jelas dia.
3. Perlu penguatan sertifikasi pangan dari hulu ke hilir

Dirinya menilai, diperlukan upaya agar pemerintah mampu memperkuat pelaksanaan dengan menerapkan tata kelola yang baik. Tata kelola tersebut dapat terlaksana jika aspek standardisasi diterapkan melalui penguatan produk pangan bersertifikat resmi.
Untuk pangan asal hewan, ada Nomor Kontrol Veteriner (NKV), sedangkan pangan segar asal tumbuhan ada Pangan Segar Asal Tumbuhan (PSAT) dan untuk industri rumah tangga serta UMKM pangan ada Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS).
"Sertifikasi ini mampu menjaga mutu pangan dari hulu ke hilir," jelas dia.
4. Pemerintah harus memikirkan solusi terkait maraknya keracunan

Maraknya kasus keracunan yang ada harus direspons pemerintah dengan cepat bukan menutupi kasus yang ada. Respons cepat pemerintah dalam menangani keracunan pangan tidak hanya menyelamatkan korban, tetapi juga memulihkan kepercayaan masyarakat.
"Selain mewajibkan standardisasi pangan, pemerintah juga wajib menguatkan otoritas pengawasan daerah, baik dari sisi kapasitas SDM maupun instrumen hukum," jelas dia.
Pemerintah juga dapat membentuk jejaring respons cepat di setiap daerah guna menangani kasus keracunan dengan tanggap. Dibalik semua hal itu, perlu integrasi teknologi digital dalam sistem pelaporan dan monitoring pangan.
"Edukasi publik harus digerakkan secara masif, sehingga yang viral bukan hanya isu keracunan, tetapi juga pesan positif tentang pentingnya pangan aman," jelas dia.