1 Tahun Pemerintahan Prabowo, Remiliterisasi Jadi Ancaman Demokrasi

- Remiliterisasi dianggap sebagai strategi politik Prabowo
- Indonesia bisa terjebak pada demokrasi semu
- Diperlukan upaya bersama masyarakat sipil dalam menghadapi tren remiliterisasi
Palembang, IDN TImes - Sejumlah kekhawatiran akan arah demokrasi di Indonesia masih menjadi catatan bagi elemen masyarakat sipil dan akademisi dalam menganalisis satu tahun berjalannya pemerintahan Prabowo-Gibran. Kecenderungan untuk remiliterisasi dikhawatirkan dapat mengancam kebebasan sipil dan menggerus demokrasi pasca-Reformasi 1998.
Pakar Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang, Yulion Zalpa, menyoroti sejumlah indikasi pelemahan demokrasi yang mulai tampak dalam satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran. Menurutnya, kembalinya militer ke ranah politik, penangkapan aktivis, serta melemahnya mekanisme checks and balances di lembaga legislatif semakin memperkuat kekhawatiran akan kemunduran demokrasi di Indonesia.
"Remiliterisasi ini berpotensi menggerus fondasi demokrasi Indonesia dengan mengembalikan militer ke ranah politik sipil. Hal ini melemahkan supremasi sipil yang telah dibangun sejak Reformasi 1998," ungkap Yulion kepada IDN Times, Rabu (22/10/2025).
1. Remiliterisasi dianggap sebagai strategi politik Prabowo

Selain melemahnya fungsi legislatif, Yulion menyebut, ada kecenderungan masyarakat sipil enggan terlibat dalam proses pengawasan terhadap pemerintah yang diisi oleh tokoh militer. Munculnya tokoh militer di lingkaran Prabowo menciptakan chilling effect (efek ketakutan) yang mempersempit ruang kritik publik.
Langkah Presiden Prabowo menempatkan sejumlah figur militer di posisi sipil dinilai bukan semata-mata untuk menjaga stabilitas nasional, melainkan bagian dari strategi politik kekuasaan.
"Saya melihat kondisi ini lebih sebagai strategi politik ketimbang bentuk stabilitas nasional. Indikator yang ada menunjukkan bahwa unsur strategi politik justru lebih dominan. Argumen tentang stabilitas nasional menurut saya hanya sebatas retorika tanpa dasar yang kuat," jelas dia.
2. Indonesia bisa terjebak pada demokrasi semu

Situasi yang ada, membuka preseden buruk bagi normalisasi dwifungsi militer sehingga berisiko membawa Indonesia dari demokrasi elektoral menjadi competitive authoritarianism atau sistem demokrasi semu. Hal ini sudah menjadi contoh di berbagai negara seperti Thailand, Myanmar, atau Turki yang memiliki pemerintahan seolah demokrasi namun diperintah secara otoriter.
"Pada akhirnya, stabilitas yang dibeli dengan mengorbankan kebebasan sipil hanyalah ilusi yang akan meledak ketika krisis datang," jelas dia.
3. Masyarakat perlu disadarkan kembali soal bahaya militer di ruang publik

Yulion menyebut, saat ini diperlukan upaya bersama masyarakat sipil dalam menghadapi tren remiliterisasi yang kian menguat di ruang publik. Ia menekankan pentingnya edukasi dan kolaborasi lintas elemen sipil untuk menjaga agar demokrasi tidak semakin tergerus.
"Saya kira semua pihak harus mulai mengingatkan dan mengedukasi publik terkait remiliterisasi dan bahayanya melalui kampanye serta berbagai bentuk edukasi lainnya. Selain itu, perlu penguatan peran koalisi lintas elemen sipil seperti, NGO dan jurnalis, serta adanya counter narasi yang masif dan efektif terhadap militerisasi," jelas dia.