Tunggu Tubang Semende, Tradisi Perempuan Menjaga Kedaulatan Pangan

- Komitmen sosok Tunggu Tubang dalam menjaga adat
- Adat Semende yang mengangkat ketahanan Pangan
- Kenapa sosok Tunggu Tubang harus perempuan
Palembang, IDN Times - Film dokumenter Mother Earth dan pameran foto Badah Puyang yang digelar di auditorium perpustakaan UIN Raden Fatah Palembang menampilkan kisah tradisi masyarakat Semende yakni, Tunggu Tubang. Tradisi ini menempatkan perempuan sebagai penjaga pusaka keluarga, dari rumah, sawah, hingga kebun, yang tidak boleh diperjualbelikan.
Karya dokumenter garapan Ghompok Kolektif tersebut membuat penonton yang hadir terdiam sejak awal hingga akhir film diputar. Semua terpukau dengan suguhan dokumenter yang digarap selama 60 menit dalam tiga babak tersebut.
1. Komitmen sosok Tunggu Tubang dalam menjaga adat

Tunggu Tubang adalah bagian penting dari sistem adat masyarakat Suku Semende yang tersebar di sepanjang Bukit Barisan, Kabupaten Muara Enim, Sumsel. Sistem adat ini memberi kuasa kepada anak perempuan untuk mengelola pusaka keluarga yang tidak boleh diperjualbelikan, yakni rumah, sawah atau kebun, dan tebat (danau buatan).
Sosok Eliana, Tunggu Tubang generasi baru yang turut terekam dalam dokumenter itu, hadir pula sebagai narasumber diskusi. Ia menegaskan komitmennya untuk tetap menjaga dan merawat adat Semende.
"Setelah menonton film ini, kami orang Semende semakin yakin untuk terus menjaga dan melestarikan nilai-nilai yang ada pada Tunggu Tubang ini. Dan kami berjanji, Tunggu Tubang Tak Akan Pernah Tumbang, selamanya," ungkap Eliana, Sabtu (20/9/2025).
Eliana menceritakan, dalam adat Tunggu Tubang ada sosok Mereje (anak laki-laki) yang bertugas mengasuh dan membimbing anak belai (calon tunggu tubang). Meraje juga bertugas mengawasi tunggu tubang, atau bahkan dapat memberikan sanksi apabila terjadi pelanggaran atau pengabaian adat istiadat oleh Tunggu Tubang.
"Kalau ada Tunggu Tubang yang menjual sawahnya, bisa dimarahi meraje, atau lebih buruk lagi akan mendapat bala’, entah itu sakit, atau bahkan gila. Karma ini masih ada sampai dengan sekarang," jelas dia.
2. Adat Semende mengangkat ketahanan Pangan

Sutradara Mother Earth, Muhammad Tohir menilai film dokumenter tersebut dibuat untuk menggambarkan sistem adat masyarakat Semende yang berakar pada ketahanan pangan berkelanjutan. Sistem pangan ini sudah jauh dijalankan masyarakat Semende sejak ratusan silam sebagai bentuk penjagaan terhadap pusaka keluarga.
“Dan kami yakin, ikatan masyarakat Semende dengan sistem ini sudah sangat mendalam. Bahkan ada yang didatangi (melalui mimpi) oleh Puyang mereka, ketika salah satu Tunggu Tubang tidak merawat pusaka keluarga, termasuk sawah. Inilah yang coba kami ceritakan melalui film tersebut," jelas Tohir.
Menurut Tohir, Tunggu Tubang merupakan tradisi yang terus beradaptasi dengan perkembangan zaman dan sistem pendidikan modern. Ia menilai, sosok Tunggu Tubang harus berpendidikan tinggi agar mampu menjawab tantangan masa kini.
“Mereka para tetua adat menganggap, sosok Tunggu Tubang harus melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Tunggu Tubang harus cerdas dan pintar, agar bisa mengelola pusaka keluarga secara adil dan bijak," jelas Tohir.
3. Kenapa sosok Tunggu Tubang harus perempuan

Sosok Tunggu Tubang dipercayakan pada peran perempuan sebagai pihaknya yang mengurus semua tugas adat seperti mengolah rumah sawah dan lainnya. Layaknya seorang ibu, sosok Tunggu Tubang memiliki peran krusial dalam menjaga keberlanjutan sebuah peradaban.
"Sebuah peradaban tidak akan berkembang tanpa perempuan, karena merekalah yang melahirkan dan mendidik generas-generasi penerus. Dalam konteks Tunggu Tubang, para ibu punya jasa besar dalam melahirkan dan mendidik generasi Tunggu Tubang yang berkualitas," ungkap Dosen UIN Raden Fatah Palembang sekaligus peneliti Isu Perempuan, Dian Maulina.
Adat Semende juga dipengaruhi ajaran Islam. Dalam hadis Nabi Muhammad SAW disebutkan tiga kali “ibumu” sebelum “ayahmu”, sebagai bentuk penghormatan atas peran ibu. Karena itulah, pusaka keluarga dipercayakan kepada perempuan, yang dipandang seperti bumi: menjaga, melindungi, dan memberi kehidupan.
"Dia selalu melindungi dan menjaga apa yang dilahirkan atau diberikan Tuhan," jelas dia.
4. Tradisi bisa menjadi penopang massa depan

Selain film dokumenter, dalam project Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang: Kedaulatan Pangan Berkelanjutan, Ghompok Koektif juga mengadakan sebuah pameran foto "Badah Puyang" yang memiliki garis besar cerita yang mirip dengan film.
"Foto-foto yang dipajang di pameran merupakan kurasi pendek dari ratusan foto yang akan diterbitkan dalam sebuah buku "Badah Puyang" ungkap salah satu Fotografer, Ahmad Rizki Prabu.
Lewat Badah Puyang mereka ingin menunjukkan bagaimana adat Tunggu Tubang mampu dijalankan dengan memegang teguh relasi manusia, tanah, dan air, sekaligus melahirkan ketahanan pangan yang kini menjadi isu dunia
"Ada narasi tentang identitas dan ruang hidup masyarakat Semende. Kami ingin generasi muda melihat bahwa tradisi bukanlah beban masa lalu, melainkan penopang masa depan," ungkap narator Badah Puyang Yuni Rahmawati.