Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Tradisi Tunggu Tubang Suku Semende, Penjaga Padi Lokal yang Terancam

Sosok tunggu tubang yang menanam padi di sekitar Desa Palak Tanah, Kecamatan Semende Darat Tengah. (Dok. Nopri Ismi/Ghompok Kolektif)
Intinya sih...
  • Masyarakat Suku Semende menjaga keanekaragaman jenis padi untuk mitigasi krisis iklim dan pangan.
  • Tunggu Tubang adalah sistem adat yang memberi kuasa kepada anak perempuan untuk mengelola pusaka keluarga.
  • Upaya melestarikan padi lokal di wilayah Semende dilakukan melalui registrasi varietas tanaman dan keterlibatan generasi muda dalam proyek dokumenter.

Muara Enim, IDN Times - Masyarakat Suku Semende di Kabupaten Muara Enim, Sumsel percaya jika keanekaragaman jenis padi sangat penting dalam upaya mitigasi krisis iklim yang akan bermuara pada krisis pangan.

Maka itu, tradisi Tunggu Tubang menjadi tonggak penting dalam menjaga jenis-jenis padi lokal yang memiliki nilai budaya dan ekologi yang khas dan cenderung lebih tahan terhadap perubahan cuaca.

Di wilayah Semende, masyarakatnya mengenal beragam jenis padi seperti padi pulut, padi berang, sebur putih, sebur kuning, dan padi berang. Semua padi ini di tanam di sawah Tunggu Tubang.

1. Tunggu Tubang sosok penting penjaga padi lokal

Sosok tunggu tubang yang menanam padi di sekitar Desa Palak Tanah, Kecamatan Semende Darat Tengah. (Dok. Nopri Ismi/Ghompok Kolektif)

Ahmad Karmansyah (47), tokoh masyarakat di Desa Palak Tanah, Kecamatan Semende Darat Tengah, Kabupaten Muara Enim mengatakan, para Tunggu Tubang ini bisa dibilang sebagai penjaga padi lokal mereka yang telah diturunkan oleh puyang-puyang (leluhur) terdahulu.

"Tunggu Tubang adalah bagian penting dari sistem adat masyarakat Suku Semende yang tersebar di sepanjang Bukit Barisan, Kabupaten Muara Enim. Sistem adat ini memberi kuasa kepada anak perempuan untuk mengelola pusaka keluarga yang tidak boleh diperjualbelikan, yakni rumah, sawah atau kebun, dan tebat (danau buatan)," ujarnya.

Selain Tunggu Tubang, ada juga sosok Meraje (anak laki-laki) yang bertugas mengasuh dan membimbing anak belai (calon tunggu tubang), serta membina dan membimbing Tunggu Tubang. Meraje juga bertugas mengawasi tunggu tubang atau bahkan dapat memberikan sanksi apabila terjadi pelanggaran atau pengabaian adat istiadat oleh Tunggu Tubang.

“Kalau ada Tunggu Tubang yang menjual sawahnya, bisa dimarahi Meraje atau lebih buruk lagi akan mendapat balak, entah itu sakit dan lainnya,” kata Umaya (44) Tunggu Tubang generasi ke-13.

2. Ada 5 jenis padi lokal yang ditanam di persawahan Tunggu Tubang

Kondisi sawah di Semende. (Dok. Ghompok Kolektif)

Menurut Umaya, ada lima jenis padi lokal yang ditanam di persawahan Tunggu Tubang, yakni padi pandan, padi pulut, padi berang, padi sebur putih, dan padi sebur kuning. Namun, saat ini hanya empat jenis padi terakhir yang sering ditanam.

“Padi pulut khusus acara orang sedekah, atau undangan Meraje. Padi berang untuk dibuat tapai (fermentasi) sekaligus punya khasiat obat untuk bibir pecah-pecah, atau biasa kami sebut sebagai pendingen (pendingin). Sedangkan padi sebur putih dan padi sebur kuning untuk makan sehari-hari," jelasnya.

Adapun alasan mempertahankan jenis padi berang dan padi pulut dikarenakan adanya khasiat obat serta upaya mempertahankan sistem adat Tunggu Tubang. Sementara jenis padi konsumsi seperti selebur putih dan selebur kuning, dipilih karena dianggap lebih tahan terhadap perubahan cuaca.

“Kalau padi sebur putih dan kuning itu rumpunnya lebih besar. Lebih tahan kalau terkena angin kencang dan musim yang berubah-ubah seperti sekarang. Kalau musim kemarau, jenis padi ini juga lebih bisa bertahan, asalkan cepat kita perbaiki aliran airnya. Kalau yang jenis lain lebih cepat menguning kalau terkena kemarau panjang,” kata Umaya.

3. Saat ini hanya 2 varietas yang masih eksis dan ditanam oleh petani

Sosok tunggu tubang yang menanam padi di sekitar Desa Palak Tanah, Kecamatan Semende Darat Tengah. (Dok. Nopri Ismi/Ghompok Kolektif)

Dikutip dari situs resmi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada tahun 2024 lalu ada 10 jenis padi yang terancam punah, atau sudah jarang ditanam oleh masyarakat Suku Semende, yakni padi Bengkok Buku, Ulu Danau, Lelak Daun, Karet, Padi Putih, Selebur Urik, Selebur Erum, Selebur Tinggi, dan Beram. Saat ini hanya dua varietas yang masih eksis dan ditanam oleh petani, yaitu Jambat Teras dan Selebur Rimbe.

Dua jenis padi ini juga direncanakan akan didaftarkan di Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (Pusat PVTPP). Upaya ini merupakan bentuk komitmen Pemkan Muara Enim dan Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN dalam melestarikan dan mengembangkan padi lokal di wilayah Semende.

Hasan Zein, tokoh adat di Desa Palak Tanah mengatakan, terancamnya sejumlah jenis padi lokal di Semende memang benar adanya, dan hal tersebut dapat dimitigasi dengan melibatkan sosok perempuan Tunggu Tubang, sebagai bagian dari sistem adat Suku Semende yang sudah bertahan selama ratusan tahun.

“Dalam tradisi bersawah kami, Tunggu Tubang wajib mengurusi sawah dan menjaga jenis-jenis padi lokal yang telah dijaga secara turun temurun. Itu amanah puyang kami,” katanya. 

4. Ghompok Kolektif perkenalkan Tunggu Tubang ke generasi muda

Ghompok Kolektif sedang menggarap film dokumenter, buku dan foto terkait Tunggu Tubang. (Dok. Ghompok Kolektif)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2024 lalu telah menegaskan bahwa krisis pangan merupakan ancaman serius yang harus segera diantisipasi, dan generasi muda dituntut harus berperan aktif dalam memitigasi hal tersebut.

“Kami para generasi muda, merupakan kelompok paling rentan dengan hal itu (krisis pangan). Karenanya, kami juga harus berperan aktif, dan gelisah dengan ancaman tersebut,” kata Ahmad Rizki Prabu, salah satu inisiator Ghompok Kolektif, komunitas visual storytelling di Palembang.

Saat ini, Ghompok Kolektif sedang menggarap film dokumenter dan buku foto, yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan, LPDP, dan Dana Indonesiana, dan ini akan rampung sekitar akhir tahun ini.

“Selama penggarapan, kami juga melibatkan 25 pemuda di sekitar wilayah Semende yang tertarik dengan foto dan video, dan berharap mereka dapat terus menggali dan memahami budaya lokal mereka, khususnya Tunggu Tubang,” kata Prabu.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hafidz Trijatnika
Yuliani
Hafidz Trijatnika
EditorHafidz Trijatnika
Yuliani
EditorYuliani
Follow Us