Tim Penulis:
Lia Hutasoit (Jakarta), Maya Aulia Aprilianti (Tangerang), Feny Maulia Agustin, Rangga Erfizal, Yuliani(Sumsel), Siti Fatimah, Azzis Zulkhairil (Jabar) Silviana, Tama Wiguna (Lampung), Ayu Afria Ulita Ermalia, Ni Komang Yuko Utami (Bali), Darsil Yahya Mustari (Sulsel), Ardiansyah Fajar Syahlillah, Rizal Adhi Pratama (Jatim), Tunggul Damarjati (Yogyakarta), Fariz Fardianto, Dhana Kencana, Larasati Rey (Jateng), Muhammad Nasir (NTB), Tri Purnawati (Kaltim)
Remaja di Kemelut Demonstrasi: Dimobilisasi dan Terprovokasi

- Para remaja turut serta dalam aksi demonstrasi di berbagai daerah di Indonesia
- Beberapa remaja tertangkap membawa senjata tajam, bom molotov, dan terlibat dalam perusakan gedung
- Komisioner KPAI menyoroti perlakuan aparat terhadap anak-anak yang diamankan dan meminta pemerintah untuk memfasilitasi pendapat para remaja
Palembang, IDN Times - Gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia pada 25 Agustus-2 September memanaskan tensi warga negara. Bermula dari kebijakan anggaran nirempati terhadap kondisi perekonomian negara, mulut-mulut berharimau dari segelintir Anggota DPR RI, hingga kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang dilindas oleh buasnya kendaraan taktis (rantis) milik Brimob Polri, menghabiskan jatah sabar milik rakyat.
Semua kalangan ingin bersuara, termasuk remaja: para Gen Z. Kehadiran mereka masih dianggap sepele oleh pejabat negara, kebanyakan tak memperbolehkan para remaja ikut gabung dengan ribuan massa aksi yang turun ke jalan. Namun nyatanya, bagi remaja yang nekat ikut gabung, merekalah kaum yang tertindas. Tercatat ribuan remaja ikut ditangkap oleh aparat dalam gelombang demonstrasi lalu. Ada yang masuk ke dalam barisan massa aksi, ada yang berniat hendak rusuh.
Sebagian dari mereka tertangkap tangan membawa senjata tajam, bom molotov, hingga benda-benda lain yang bisa dijadikan senjata: mereka dituduh jadi provokator. Saat ditangkap sebagian besar dari mereka mengaku hanya ikut-ikutan.
Kemudian kabar pilu datang, Andika Lutfi Falah (16), seorang pelajar meninggal dunia saat ikut aksi unjuk rasa ke Jakarta.. Meski keluarga mengikhlaskan dan tidak melanjutkan kasus kematian Andhika ke ranah hukum, kepolisian tetap didesak untuk mencari penyebab meninggalnya korban.
Apakah benar remaja hanya FOMO, atau ada yang memobilisasi? Orang tua yang khawatir tentang kondisi negara ini, dan pemerintah yang berusaha melindungi para remaja, turut bersuara di tengah gejolak negara saat ini.
1. Yang dilakukan para remaja di tengah keriuhan protes

Di Bandung, Jawa barat, di balik kerusuhan yang terjadi akhir Agustus 2025 ini ternyata banyak anak di bawah umur yang turut turun ke jalan dan ikut mendengarkan langsung aspirasi dari massa aksi.
IDN Times melihat langsung bagaimana para murid sekolah ini turut datang langsung ke aksi massa selama tiga hari tersebut. Meski tidak menggunakan pakaian seragam, mereka terpantau mengikuti gelombang aksi ini. Meskipun selama aksi tiga hari itu selalu berujung dengan ricuh, mereka tetap hadir.
Mereka juga turut merasakan langsung pedihnya gas air mata yang ditembakkan aparat kepolisian, karena kondisinya sudah terjadi kericuhan. Di hari pertama aksi tersebut baru selesai pada pukul 03.30 WIB dan menyisakan banyak oknum ditangkap kepolisian, para murid sekolah dan anak di bawah umur ini ada yang ikut ditangkap.
Sementara, pihak Polda Jabar pun sempat melakukan penyekatan dan razia untuk pelajar hingga mahasiswa pada Jumat (29/8/2025). Sebanyak 254 orang merupakan pelajar SMA/SMK sederajat, satu orang pelajar SMP serta enam orang warga masyarakat dari wilayah Kota dan Kabupaten Bogor. Namun, polisi melakukan pembinaan hingga bimbingan rohani kepada para pelajar tersebut.
Dalam aksi massa pada Sabtu (30/8/2025) di Mataram, sejumlah pelajar ikut-ikutan demonstrasi di Mapolda NTB. Terlihat, sejumlah pelajar memakai seragam sekolah ikut aksi saling dorong dengan aparat kepolisian yang menggunakan tameng.
Selain itu, para pelajar dan massa aksi melempar aparat kepolisian menggunakan batu dan air mineral. Sehingga, pintu kaca ruang lobi Mapolda NTB pecah.
Selain massa aksi, ada juga pelajar SMP dan SMA ikut melakukan pembakaran di Gedung DPRD NTB dan Sekretariat DPRD NTB. Mereka masih mengenakan seragam Pramuka, ada juga yang mengambil barang-barang dari gedung DPRD NTB.
Di Palembang, Sumatra Selatan, sehari sebelum aksi, terjadi perusakan oleh sekelompok remaja. Mereka merusak bagian halaman Gedung DPRD Sumsel, dan membakar pos polisi serta sebagian Gedung Ditlantas Polda Sumsel, Minggu (31/8/2025) dini hari. Sebanyak 63 orang ditangkap, 9 orang ditetapkan sebagai tersangka.
Berdasarkan pantauan IDN Times, sejumlah massa demonstrasi yang menggelar aksi di depan Gedung DPRD Sumsel banyak diikuti masyarakat umum. Hal ini tidak terkecuali para pelajar serta anak-anak di bawah umur lainnya.
Saat massa demonstrasi melakukan long march dari simpang 5 DPRD Sumsel, para remaja tersebut ikut hadir masuk dalam barisan. Meski tidak membawa poin tuntutan, para remaja tersebut ikut lantang menyuarakan gagasan yang dibawa mahasiswa.
Mereka juga turut menyaksikan aksi demonstrasi lebih dekat. Pihak kepolisian memberikan kelonggaran kepada mereka, tak ada penangkapan kecuali jika mereka kedapatan membawa senjata tajam.
Di daerah lain di Sumsel, gelombang unjuk rasa pada Senin (1/9/2025) tak terlepas dari keterlibatan anak di bawah umur yang masih berstatus pelajar. Mirisnya, para remaja ini harus berurusan dengan pihak berwajib karena terbukti membawa alat atau properti yang digunakan untuk kekerasan.
Tak sedikit dari mereka mengaku hanya ingin ikut seru-seruan dan tidak memahami tuntutan aksi seperti yang dibawa oleh kakak-kakak mahasiswa mereka. Kendati demikian, para pelajar tersebut langsung diberi pembinaan dan kembali dipulangkan setelah dijemput orang tua masing-masing dari kantor polisi.
Salah satu demo yang berujung kericuhan terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU). Atas kejadian tersebut, Polres OKU malah menangkap 11 anak berstatus pelajar SMP dan SMK yang sebagian berdomisili di luar OKU. Dari tangan seorang pelajar, polisi menyita bom molotov yang belum terpakai dan akan digunakan untuk aksi demo.
Terkait motif dan alasan para pelajar ikut aksi, pihak Polres OKU masih melakukan pendalaman dan menyelidiki lebih lanjut peran mereka dalam aksi unjuk rasa tersebut.
Sementara dalam aksi demo di DPRD Lubuk Linggau, polisi berhasil mencegat sebuah mobil bak jenis Carry pick up yang mengangkut pelajar. Para remaja ini dipaksa menepi bahkan sebelum sempat menyuarakan aspirasi. Mereka tak berkutik saat polisi menemukan tumpukan batu berbagai ukuran dan cairan gatal yang diduga dipersiapkan untuk aksi tersebut.
Sama halnya di Kabupaten Lahat. Sebanyak 14 orang yang mayoritas kalangan remaja diduga sudah merencanakan aksi perusakan gedung DPRD Lahat. Mereka diringkus saat tengah berkumpul di Lapangan Seganti Setungguan Lahat, Senin (1/9/2025), sekitar pukul 22.00 WIB.
Dari tangan mereka, polisi menemukan dua bom molotov, puluhan petasan, dan 12 sepeda motor berknalpot brong tanpa surat. Dari hasil pemeriksaan, ditemukan bukti digital berupa grup WhatsApp bernama 'DEMO LAHAT' yang berisi pembahasan terkait unjuk rasa serta indikasi rencana penyerangan ke Gedung DPRD Lahat dengan menggunakan bom molotov, petasan, dan alat lainnya.
Seluruh pemuda yang terciduk langsung digiring ke Mapolres Lahat untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Pihaknya masih menyelidiki kemungkinan adanya pihak lain yang terlibat, termasuk dugaan provokator dan sumber pendanaan aksi tersebut.
Di Bali, berdasarkan pantauan IDN Times di lokasi pada 30 Agustus 2025, sejumlah anak-anak terlihat menyaksikan di sekitar massa aksi. Mereka bergerombol bersama teman, ataupun kelompoknya masing-masing. Kerumunan bubar saat kerusuhan, beberapa menit setelah massa aksi menyampaikan pernyataan sikapnya di depan Mapolda Bali pada sore.
2. Remaja asal Tangerang meninggal dunia dalam aksi berujung ricuh di Jakarta

Seorang pelajar asal Kabupaten Tangerang bernama Andika Lutfi Falah menjadi korban meninggal dunia setelah mengalami luka di bagian kepala dalam aksi demonstrasi berujung anarki di wilayah Jakarta pada 28 Agustus lalu. Andika Lutfi Falah (ALF) sempat menjalani perawatan intensif di rumah sakit, namun dinyatakan meninggal pada Senin, 1 September 2025.
Kakak Andhika, Andrean mengatakan, adiknya tidak membawa handphone (HP) dan identitas saat peristiwa tersebut terjadi. Hal tersebut lantaran ia baru saja kehilangan dompet dan HP saat mendaki Gunung Gede, beberapa hari sebelum kejadian.
"Makanya kemarin itu, dia tidak punya handphone untuk komunikasi dengan keluarga ataupun identitas, karena di dompet itu ada identitas seperti kartu OSIS-nya," ungkap Kakak korban, Andrean, Selasa (2/9/2025).
Saat ditemukan dengan kondisi penuh luka dan dibawa ke rumah sakit, Andhika datang tanpa identitas.
"Makanya pada saat kejadian, adik kami ditemukan tanpa identitas. Lalu kami menemukannya di media sosial, kalau ada pelajar kritis di Rumah Sakit Dr Mintoharjo, akhirnya saya samperin ke sana," ujarnya.
Andrean mengungkapkan, ia mengetahui kondisi adiknya dari media sosial. Di mana, terdapat informasi adanya mahasiswa yang tak sadarkan diri dengan penuh luka di kepala sebelah kiri tanpa identitas.
Andrean langsung menghubungi pihak keluarga untuk segera ke rumah sakit. Andika pun hanya bertahan tiga malam dalam perawatan ICU. Hingga pada Senin sekitar pukul 08.30 Wib, Andika menghembuskan napas terakhirnya.
"Kami ikhlas, kami hanya minta doanya, agar adik kami meninggal dalam keadaan husnul khotimah," ujarnya.
Kapolresta Tangerang, Kombes Pol Andi Muhammad Indra Waspada Amirullah membenarkan seorang anak berstatus pelajar di Kabupaten Tangerang menjadi korban atas unjuk rasa berujung ricuh di wilayah Jakarta.
Dari hasil pendalaman, Andika berpamitan kepada orangtua untuk berangkat sekolah dan pulang ke rumah siang hari. Namun, tidak lama, korban izin melaksanakan kegiatan di luar.
"Almarhum ini izin keluar dan melaksanakan kegiatan. Setelahnya baru termonitor bahwa posisi sudah di rumah sakit tanpa identitas. Itu sementara berdasarkan pendalaman," ujarnya.
Dalam kasus tersebut, pihak keluarga sepakat tidak menginginkan untuk melanjutkan ke jalur hukum atas peristiwa yang menimpa sang putra.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini mengakui Andika Lutfi Falah sempat terlewat dari pendataan Dinas Kesehatan DKI Jakarta terkait korban anak dari aksi unjuk rasa berujung anarki di Jakarta. Pasalnya, Andika memiliki postur tubuh yang tinggi dan tidak memegang identitas apapun.
Diyah mengungkapkan, saat menyambangi kediaman korban, orangtua Andika mengaku mengikhlaskan dan tidak ingin melanjutkan kematian sang anak ke proses hukum lebih lanjut. Namun, Diyah memastikan kondisi Andika hingga bisa berada di RS Dr. Mintoharjo akibat mengalami luka akibat kekerasan benda tumpul di kepala. Makanya, ia meminta aparat penegak hukum tetap mencari penyebab kematian Andika.
Diyah pun meminta meninggalnya Andika harus menjadi masukan dan evaluasi baik dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan, Aparat Penegak Hukum, hingga Kementerian Agama.
Meski keluarga mengikhlaskan dan tidak melanjutkan kasus kematian anaknya ke ranah hukum, KPAI lanjut Diyah tetap mendorong aparat penegak hukum untuk mencari penyebab meninggalnya korban. Pasalnya, Andika merupakan anak di bawah umur yang tidak seharusnya mengalami kekerasan.
"Kami dari KPAI memastikan bahwa hak anak yang sudah meninggal ini mendapatkan kejelasan penyebab kematiannya, Mas Andika ini kan menyampaikan aspirasi ya. Nah kalau kemudian terjadi, almarhum mendapat kekerasan. Sebagai korban ini, mungkin ya kita tidak tahu kondisi yang di lapangan bagaimana," ungkapnya.
3. Remaja FOMO atau Dimobilisasi?

Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini menyoroti masifnya keterlibatan pelajar dalam aksi unjuk rasa yang berlangsung di berbagai daerah. Diyah mengatakan, terdapat perbedaan pola mobilisasi pelajar dalam aksi terbaru dibandingkan aksi menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun lalu.
“Ada kesimpulan besar dalam aksi ini di beberapa daerah bahwa keterlibatan pelajar ini secara masif digerakkan. Yang kedua, secara perencanaan bahkan mungkin sampai di daerah yang proses sekali pun semuanya pelajar ada," kata dia dalam konferensi pers di Komnas HAM, dikutip Rabu (3/9/2025).
Lebih jauh, Diyah menyoroti potensi penyalahgunaan posisi pelajar dalam demonstrasi, yakni menjadikan pelajar sebagi tameng.
"Yang kami khawatirkan adalah mereka menjadikan pelajar sebagai tameng. Sebagai tameng dan juga terprovokasi yang sudah diprovokasi, dan mereka paham bahwa pelajar yang ketika nanti ditangkap itu mudah dikembalikan,” kata dia.
Dia mengatakan, saat aksi tolak putusan MK tahun lalu, pihaknya menganalisis pengerahan massa yang agak organik untuk para pelajar. Hal ini karena mereka mendapatkan informasi, salah satunya dari game online.
Diyah menambahkan, dalam aksi kali ini pelajar mendapatkan informasi melalui pesan siaran dan aplikasi pesan instan dorongan dari para alumni.
“Kemudian kalau di dalam aksi hari ini mereka mendapatkan broadcast atau WhatsApp dan yang lebih memprihatinkan karena rata-rata mereka mendapatkan informasi dari alumni. Jadi karena dari alumni, ada juga mohon maaf yang difasilitasi, ada juga yang anak tidak tahu terus akhirnya mereka ikut. Nah ini menjadi catatan besar bagi kami dan termasuk juga anak-anak yang masih dirawat hari ini di beberapa rumah sakit,” kata dia.
Sementara Dirreskrimum Polda Jateng Kombes Pol Dwi Subagio mengatakan, aksi penyerangan ke Mapolda Jateng terindikasi dilakukan secara terencana. Hal itu tampak dari pola penyerangan yang mereka lakukan.
“Peristiwa itu terjadi ketika adzan Ashar berkumandang, saat sebagian petugas beranjak ke masjid. Sekelompok massa kemudian menyerang gerbang Mapolda dengan lemparan batu dan kayu. Petugas yang bersiaga berhasil mengamankan sejumlah pelaku serta barang bukti berupa pecahan batu, potongan kayu, dan pakaian yang digunakan saat aksi,” jelasnya.
Lebih memprihatinkan lagi, dari hasil pemeriksaan, delapan orang pelaku dinyatakan positif mengonsumsi benzodiazepam. Selain itu, banyak pelaku yang tercium bau alkohol saat diamankan. Polisi prihatin, mengingat mayoritas dari mereka masih berstatus pelajar SMP dan SMA yang berasal dari Demak, Semarang, dan Ungaran.
Pihaknya masih melakukan penyelidikan untuk mencari siapa yang menggerakkan orang-orang tersebut.
Menurut Dwi, sebagian besar pelaku terpengaruh provokasi yang beredar di media sosial. Mereka datang secara berkelompok setelah melihat ajakan yang sengaja disebarkan. Terkait hal ini, pihaknya berkoordinasi dengan Direktorat Siber Polda Jateng untuk melakukan penelusuran dan profiling terhadap penyebar provokasi.
Di Pontianak, Jatanras Polresta Pontianak bersama Polda Kalbar mengamankan sebanyak 12 anak di detik-detik demo hendak berakhir. Sebelumnya, polisi juga mengamankan dua anak di bawah umur yang kedapatan membawa ketapel, dan diduga hendak menyusup dalam rombongan demonstran.
Kapolda Kalbar, Irjen Pol Pipit Rismanto mengatakan, sebanyak 12 anak di bawah umur kedapatan membawa senjata tajam, satu buah bom molotov, serta satu kantong berisi Bahan Bakar Minyak (BBM). Barang-barang berbahaya itu diduga akan digunakan dalam aksi demonstrasi yang digelar di Gedung DPRD Provinsi Kalimantan Barat.
Pipit menegaskan bahwa pihaknya sejak beberapa hari terakhir memang sudah mengamankan sejumlah ‘penumpang gelap’ yang mencoba menunggangi aksi demonstran dengan niat melakukan tindakan anarkis.
Kasat Reskrim Polres Lubuk Linggau, AKP M. Kurniawan Azwar terkait penangkapan pelajar yang membawa batu dan cairan gatal menyebut, pihaknya menangkap dan memeriksa para pelajar tersebut.
Tindakan tegas ini, kata dia, diperlukan agar bisa menjadi shock therapy bagi mereka. Menurut Kurniawan, para pelajar tersebut tidak ditahan dan hanya diberikan pembinaan atau arahan sebelum akhirnya diminta untuk kembali ke rumah masing-masing.
4. Polisi mengaku represif jika diperlukan

Aparat kepolisian yang bertugas menjaga ketertiban umum, mengakui bahwa mereka bisa bertindak represif apabila demo berakhir ricuh dan berpotensi merusak fasilitas dan mengganggu ketertiban umum.
Kapolresta Malang Kota, Kombespol Nanang Haryono membenarkan, kalau anggotanya melakukan tindakan represif saat demo di depan Mapolresta Malang Kota. Ini dilakukan karena massa mulai rusuh, sehingga diperlukan tindakan represif untuk membubarkan massa.
"Kalau kita tidak memukul mundur, kalau kantor polisi dibakar bagaimana. Kita bertahan dari jam 7 malam sampai jam 10 malam. Tapi mereka (demonstran) yang luka-luka sudah kita obati," kata dia,
Dirinya pun mengakui menangkap 61 orang, 21 diantaranya merupakan anak.
"Kita periksa semua, kalau terbukti (melakukan perusakan) kita tindak lanjuti dengan pendampingan LBH tentunya," terangnya saat dikonfirmasi pada Kamis (4/9/2025).
Nanang menegaskan kalau mereka telah melepaskan anak-anak yang ditangkap, mereka dilepaskan setelah sehari diperiksa. Ia juga mengatakan kalau anak-anak yang ditangkap karena melakukan vandalisme sampai ricuh. Para orang tua dan guru mereka dipanggil untuk melengkapi berkas-berkas dokumen.
"Tapi anak-anak hari ini akan dikeluarkan semuanya. Tapi kita panggil guru dan orang tuanya," bebernya.
Sementara berbeda yang dilakukan polisi di Lampung. Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Pol Yuni Iswadari Yuyun menegaskan, kepolisian daerah dan jajaran memastikan tidak ada upaya penangkapan represif terhadap massa aksi dalam gelaran unjuk rasa telah berlangsung pada awal pekan kemarin, termasuk kalangan pendemo anak di bawah umur.
Menurutnya, ada dua orang anak pembawa bom molotov, yang bukan peserta murni aksi unjuk rasa, melainkan remaja yang mencoba menyusup ke dalam iring-iringan massa saat menuju lokasi demo
Yuni menyampaikan, kepolisian memiliki mekanisme khusus menangani perkara anak. Itu sebagaimana merujuk ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), sehingga anak yang berhadapan dengan hukum otomatis dipisahkan dari penanganan orang dewasa.
“Kalau anak-anak, prosesnya cepat dan selalu melibatkan pihak Balai Pemasyarakatan (Bapas) serta dinas sosial, juga didampingi orang tua. Itu patokan kami dalam menangani perkara anak, jadi hak-hak mereka tetap diperhatikan,” kata dia.
Selain itu, Polda Lampung menyoroti peran media sosial dalam memobilisasi remaja untuk ikut dalam aksi. Oleh karenanya, ia mengimbau agar orang tua meningkatkan pengawasan dan komunikasi dengan anak.
Sementara di Jawa Tengah, Polda Jawa Tengah bersama jajaran Polres melakukan penangkapan terhadap 1.747 orang yang diduga terlibat dalam aksi rusuh massa saat digelarnya unjuk rasa di berbagai daerah di Jateng, pada periode 29 Agustus hingga 1 September 2025. sebanyak 46 orang ditetapkan sebagai tersangka.
Dirreskrimum Polda Jateng Kombes Pol Dwi Subagio mengungkapkan sebanyak 687 orang yang ditangkap merupakan orang dewasa, sementara 1.058 orang lainnya adalah anak-anak di bawah umur.
Khusus di Ditreskrimum Polda Jateng, pihaknya menangani dua kasus aksi kerusuhan. Pertama, kerusuhan yang terjadi pada 29 Agustus, termasuk perusakan fasilitas dan kendaraan di halaman kantor Gubernur Jawa Tengah. Kedua, serangan terhadap Mapolda Jateng pada 30 Agustus.
Dari hasil penyelidikan, telah ditetapkan sembilan tersangka, terdiri dari tujuh pelaku serangan di Mapolda (satu dewasa dan enam anak di bawah umur) serta dua pelaku perusakan pada 29 Agustus.
“Untuk pelaku dewasa dilakukan penahanan, sementara anak-anak dikembalikan kepada orang tua dengan catatan, jika mereka mengulangi perbuatannya akan dilakukan proses hukum lebih lanjut,” ujar Kombes Pol Dwi Subagio.
5. Cerita remaja, ada yang ikut demo ada yang sengaja merusuh

Di Palembang, polisi menangkap empat orang pelaku yang dinilai hendak melakukan provokasi di demo depan Gedung DPRD Sumsel Senin (1/9/2025) lalu.
Mereka kedapatan membawa senjata tajam hingga bom molotov yang diduga akan digunakan untuk memicu bentokan antara massa mahasiswa dan aparat penegakan hukum. Dari empat pelaku yang tertangkap, tiga diantaranya merupakan anak di bawah umur dan dipastikan bukan dari kalangan mahasiswa.
Para pelaku ditangkap, saat mahasiswa tengah melakukan konsolidasi mulai 12.30-14.00 WIB, di barisan mahasiswa. Pelaku pertama yang ditangkap bernama FSJ (16) pelajar salah satu SMK di Palembang. Selanjutnya, FA (15) dan M Afdal (16). Sedangkan satu pelaku lainnya merupakan seorang karyawan salah satu kedai di Palembang bernama Kms Fathur Rizky Akbar (21).
Salah seorang remaja berinisial FA yang ditangkap oleh aparat kepolisian mengaku tak memiliki niatan membuat kerusuhan. Dirinya pun menjelaskan, menemukan sajam saat menuju lokasi demonstrasi mahasiswa.
"Sajamnya bukan punya aku, ketemu di jalan waktu perjalanan ke sini," ungkap FA.
FA pun mengaku tidak datang sendirian ke lokasi demonstrasi melainkan bersama rekan-rekannya. Hanya saja, dalam kerumunan masa aksi, dirinya terpisah hingga akhirnya ditangkap polisi.
"Tadi aku diajak kawan ke sini. Tapi sekarang dak tahu dia di mana," jelas dia.
Hal senada juga disampaikan salah satu pelaku yang tertangkap dalam kasus perusakan yang dilakukan di Palembang saat diinterogasi oleh aparat kepolisian. Pelaku penjarahan tersebut mengatakan, dirinya hanya ikut-ikutan dengan kelompok anak muda lainnya membakar pos polisi dan mako Ditlantas.
"Saya ikut membakar Pos Polisi di Simpang 5 DPRD Sumsel sama Kantor Samsat (Ditlantas) pak," jelas dia.
Pelaku mengaku, tidak mengenal seluruh massa perusakan yang ada di sana, hanya sebagian saja yang dikenal. Dalam interogasi tersebut, polisi menanyakan maksud tujuan kelompok penjarah tersebut.
"Gabungan pak sama budak-budak (kawan). Aku dak dibayar pak," jelas dia.
Di Solo, 65 orang yang ditangkap saat kerusuhan di Solo dibebaskan. Mereka dikenai wajib lapor oleh Polresta Surakarta. Para perusuh tersebut sebagian besar merupakan anak di bawah umur dan berasal dari luar Kota Solo. Mereka ditangkap saat merusak dan membakar Gedung DPRD Solo, Sabtu (30/8/2024) malam.
Sebelum dipulangkan, mereka diminta meminta maaf dan sungkem kepada orangtuanya masing-masing. Isak tangis pun pecah, saat para anak-anak tersebut menangis dan menyesali perbuatannya di hadapan orang tua masing-masing.
Setelah sungkem, para anak kemudian menandatangani surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Solo, Jawa Tengah.
Sementara AR (bukan nama sebenarnya), seorang pelajar di Bandar Lampung yang ikut aksi, mengaku keputusannya murni datang dari dirinya sendiri. Pertama kali ia turun ke jalan saat ada demo soal banjir di depan Kantor Wali Kota Bandar Lampung.
“Waktu itu saya lagi PKL di Disdukcapil, terus lihat ada orang demo tapi kok dikit banget. Saya cari tahu lah di medsos, ternyata tuntutannya bener. Itu soal kinerja pemerintah yang bikin Bandar Lampung banjir di mana-mana. Dari situ saya akhirnya ikut demo tapi saya pakai tutup wajah biar identitas saya gak ketahuan,” ceritanya kepada IDN Times, Sabtu (6/9/2025).
Sejak demo itu, remaja berusia 18 tahun itu mengaku sering ikut aksi-aksi lain meski Dinas Pendidikan melarang pelajar terlibat. Bahkan ia sempat mendapat penolakan dari keluarganya.
“Pernah motor saya disita biar gak berangkat, tapi akhirnya saya nebeng teman. Sekarang abang saya sudah ngizinin, asal bisa nutup identitas biar gak kena sanksi dari sekolah,” tambahnya.
6. Kekhawatiran orang tua

Dewi Widya (30), warga Denpasar, Bali, menyayangkan kekerasan aparat terhadap massa aksi, dan itu menambah kekhawatirannya. Sebagai seorang Ibu, Dewi telah mendorong anaknya yang berusia enam tahun untuk membaca. Sebab, Dewi percaya bahwa membaca melatih pikiran kritis terhadap suatu masalah.
“Tapi justru sekarang orang-orang yang kritis, orang-orang yang berani bersuara yang tentunya itu hasil membaca, justru ditangkap dan dikriminalisasi secara brutal,” ujar Dewi.
Dewi memberikan penjelasan kepada anaknya atas situasi yang tengah terjadi. Dewi yang turun ke jalan menyuarakan aspirasi pada Sabtu, 30 Agustus 2025 lalu mendapat banyak pertanyaan dari anaknya. Beberapa di antaranya "Kenapa orang turun ke jalan dan berdemo?", "Apa tugas presiden?"
Alih-alih kebingungan, Dewi dengan cermat menjadikan pertanyaan itu sebagai jembatan melatih kepekaan politik anaknya. Dewi lalu mencontohkan literasi keuangan secara sederhana kepada anaknya, yaitu terkait pajak yang dibayarkan warga ke pemerintah. Misalnya: saya menitipkan uang ke kamu. Kamu harus amanah memakai dan membelanjakan uang itu.
“Justru saat situasi seperti ini jadi pemantik bagi saya untuk memberikan pemahaman itu seperti apa, bagaimana bertanggung jawab terhadap uang yang kita titipkan kepada, misalnya, para pemangku kebijakan sekarang,” tutur Dewi.
Dewi juga mengucapkan dukungan atas peserta aksi yang telah menyuarakan aspirasi untuk hidup di negara yang adil dan sejahtera. Ia menyayangkan adanya provokasi dan sentimen rasial, padahal yang utama adalah tuntutan dan visi bersama sebagai warga negara.
Saat ditanya harapannya, Dewi sebagai warga tentu menginginkan tuntutan dan aspirasi warga Indonesia yang turun ke jalan, maupun berjuang dengan cara lainnya dapat didengar. Menurutnya, para pejabat harus segera berbenah, dimulai dengan memperbaiki etika politik dan cara berkomunikasi publik.
Salah satu orangtua remaja pendemo di Solo, SS asal Banyudono, Boyolali mengaku terpukul mendengar kabar jika anaknya ikut ditangkap polisi. Ia tak menduga jika anaknya yang sebelumnya hanya berpamitan nongkrong dengan temannya, ternyata turut dalam aksi demo.
“Pamitnya itu ngopi di pinggir jalan, dia dijemput sama temannya. Katanya enggak ikut (demo), cuma nongkrong,” katanya.
“Langsung ke sini tapi belum bawa syarat-syarat terus saya pulang lagi ambil syarat-syarat gitu,” sambungnya.
7. Cara pemerintah memfasilitasi pendapat para remaja

Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, menyoroti perlakuan aparat terhadap anak-anak yang diamankan. Adanya tindakan represif dari aparat penegak hukum terhadap anak-anak yang saat ini masih ditahan polisi.
Dia mengatakan, masih ada aparat yang belum memahami aturan peradilan pidana anak sehingga ada anak yang ditahan tetapi penempatannya disatukan dengan orang dewasa. KPAI juga menemukan adanya perlakuan kekerasan di lapangan. KPAI pun mendesak aparat penegak hukum maupun pemerintah untuk hadir mendampingi anak-anak yang sedang menjalani proses hukum.
Diyah pun meminta seluruh pihak tidak memberikan tendensi atau stigma negatif untuk mendiang Andika Lutfi Falah, seorang pelajar yang meninggal dunia usai mengikuti aksi unjuk rasa berujung anarki di Jakarta. Diyah menegaskan, Andika tetap memiliki hak menyampaikan pendapat, meski masih menyandang status anak.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yastini, menyampaikan pendapatnya terkait fenomena anak-anak yang ikut dalam massa aksi di depan Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Bali 30 Agustus 2025. Dari pandangannya sebagai KPAD, apa yang mereka lakukan merupakan hak dalam berpartisipasi dan berpendapat. Namun, aksi tersebut bukan ruang yang tepat untuk anak-anak menyuarakan pendapatnya.
Akademisi FISIP Universitas Lampung, Vincensius Soma Ferrer menilai, fenomena anak-anak ikut aksi demonstrasi tidak bisa hanya dipandang dari sisi psikologi anak atau remaja semata. Hal ini menurutnya mencerminkan adanya kegagalan institusi publik dalam menyediakan kanal partisipasi khusus bagi usia mereka.
“Dalam perspektif negara demokrasi, ini menunjukan adanya kesenjangan kanal partisipasi formal. Tidak ada mekanisme yang terstruktur untuk mereka bisa mengeluarkan aspirasi. Akhirnya, mereka mengisi kanal-kanal jalanan dengan bergabung bersama massa aksi lain,” jelas Soma.
Soma mengatakan, ada pertanyaan besar yang perlu dijawab apakah kehadiran anak-anak di jalanan benar-benar bisa disebut partisipasi politik, atau mereka hanya menjadi sasaran mobilisasi massa?
Bagi Soma, hal paling penting adalah memastikan anak-anak ini tidak dijadikan “amunisi politik murahan” maupun terjebak dalam ancaman kericuhan. Sebab itu, negara memiliki tanggung jawab untuk menghadirkan forum partisipatif yang aman bagi mereka.
Soma juga menekankan pentingnya kebijakan yang melindungi anak-anak yang ikut aksi karena kesadaran sendiri. Ia menyebut, aparat bisa menghadirkan SOP yang ramah anak, termasuk langkah pemulihan pasca-aksi. Secara garis besar, Soma menilai dalam negara demokrasi, menyediakan sarana partisipasi bagi anak-anak jauh lebih penting dibandingkan langkah mitigasi berupa larangan.
Sementara kata Kepala Dinas Pendidikan Palembang Adrianus Amri, pembekalan agama jadi penting di sekolah untuk mencegah perilaku menyimpang. Remaja baik di sekolah maupun saat di luar jam sekolah, baiknya dipantau tenaga pendidik.
"Termasuk guru harus memerhatikan murid atau bekali mereka dengan meningkatkan pembekalan ilmu agama," kata dia.
Amri menyampaikan dengan tegas, dinas pendidikan menekankan para guru di sekolah untuk meningkatkan pembekalan agama dan norma kehidupan. Selain agar anak tak bersikap buruk, upaya ini untuk mencegah kenakalan remaja hingga bullying.
Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur, Aries Agung Paewai, mengakui adanya pelajar SMA/SMK yang terjaring aparat kepolisian saat demonstrasi besar-besaran berujung ricuh di beberapa daerah di Jawa Timur. Ia menegaskan, para pelajar yang terlibat akan mendapat pembinaan serius, baik dari sekolah maupun orang tua, demi mencegah keterlibatan lebih jauh dalam aksi serupa.
Untuk mencegah pelajar terlibat dalam aktivitas yang tidak diinginkan, Dinas Pendidikan mewajibkan guru dan wali kelas memastikan siswa benar-benar berada di rumah selama pembelajaran daring.
Selain itu, Dinas Pendidikan telah mengeluarkan edaran tegas agar pelajar tidak terlibat dalam demonstrasi, terlebih jika berpotensi berujung anarkis. “Di surat edaran masing-masing cabang dinas sudah jelas, mereka tidak boleh terlibat secara langsung dalam demonstrasi, apalagi aksi anarkis. Wali kelas, kepala sekolah, dan cabang dinas wajib melakukan pemantauan secara langsung,” kata Aries.
Sementara di Lampung, guna memitigasi keikutsertaan para siswa SMA sederajat dalam aksi 1 September 2025 lalu, Kepala Dinas Pendidikan Lampung telah menekankan dan mengarahkan para dewan guru dapat melaksanakan pengawasan ekstra di sekolah masing-masing.
Sebab, fokus utama pemerintah daerah dalam kasus ini untuk memastikan para siswa tetap belajar dan terhindar dari aktivitas-aktivitas negatif sehingga bisa merusak masa depan.
"Kami paham betul anak-anak SMA sederajat ini belum memiliki atau bisa mengontrol kondisi emosional dengan baik, sebagaimana dengan kakak-kakaknya di perguruan tinggi, sehingga kami menghindari mereka dari upaya-upaya provokasi," ucap dia.
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI), Ibnu Hurri, menilai fenomena ini wajar terjadi dari sudut pandang psikologis, namun menyimpan risiko besar bagi perkembangan anak. Menurut Ibnu, anak usia sekolah berada pada fase pembentukan identitas diri. Dalam situasi penuh sorakan, spanduk, dan simbol perjuangan, mereka bisa jadi memandang aksi jalanan merupakan ajang pembuktian keberanian.
Kerentanan ini semakin besar ketika mereka tidak mampu memilah informasi, sehingga mudah terpengaruh oleh narasi emosional yang beredar di media sosial maupun lingkungan sekitar. Ibnu menjelaskan, media sosial memainkan peran signifikan dalam mendorong keterlibatan pelajar di Sukabumi dalam demo. Video singkat, poster ajakan, hingga unggahan teman sebaya yang viral bisa memicu rasa ingin tahu sekaligus fear of missing out alias FOMO.
"Anak-anak ini mungkin saja belum sepenuhnya memahami latar belakang isu yg sedang ramai bergulir, tetapi visualisasi keramaian, semangat kebersamaan, dan bahasa ajakan yg sederhana membuat mereka merasa dekat dan merasa menjadi bagian dari perjuangan tersebut," katanya.
Hal ini, menurut Ibnu, semakin memastikan bahwa media sosial bukan sekadar sarana hiburan, tetapi juga mesin mobilisasi massa yang efektif. Fenomena pelajar ikut demo tidak hanya terjadi di Sukabumi saja, tapi juga di beberapa daerah lainnya. Hal ini kerap dianggap sebagai bentuk kesadaran politik dini, meski Ibnu menilai hal itu terlalu berlebihan.
Meski demikian, dalam aksi demonstrasi, anak-anak belajar tentang ruang ekspresi politik hingga bahasa politik.
"Mereka belajar bahwa ada ketidakadilan, ada aspirasi yang ingin didengar, ada kelompok yang sedang melawan sesuatu. Itu benih politik, meski belum tentu kesadaran politik itu muncul pada tataran berpikir anak usia sekolah," ungkapnya.