Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Soal Kerja Sosial di KUHP Baru, Pengamat Dorong Aturan yang Jelas

Patung Lady Justice memegang timbangan sebagai simbol keadilan.
Patung Lady Justice sebagai simbol penegakan hukum. (Unsplash/Tingey Injury Law Firm)
Intinya sih...
  • KUHP baru 2026 memunculkan paradigma baru terkait pidana kerja sosial sebagai alternatif hukuman penjara.
  • Penerapan kebijakan ini harus diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) sebelum menjadi dasar bagi penyusunan Peraturan Daerah (Perda).
  • Kerja sosial dinilai relevan bagi pejabat yang melakukan pelanggaran dengan tingkat kesalahan tertentu, terutama ketika tindakan tersebut dianggap mencoreng kepercayaan masyarakat.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Palembang, IDN Times - Berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada 2026 memunculkan paradigma baru terkait pidana kerja sosial sebagai alternatif hukuman penjara. Namun, menurut Pengamat Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang, Sri Sulastri, penerapan kebijakan ini tidak boleh dilakukan tergesa-gesa tanpa landasan hukum yang kuat.

Dirinya menegaskan, aturan mengenai kerja sosial harus diatur terlebih dahulu melalui Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan undang-undang sebelum menjadi dasar bagi penyusunan Peraturan Daerah (Perda).

"Tanpa aturan teknis yang jelas, pelaksanaan pidana kerja sosial bisa menjadi bermasalah karena berpotensi diterapkan secara sembarangan," ungkap Sri Sulastri kepada IDN Times, Sabtu (6/12/2025).

1. Harus ada mekanisme yang jelas mengatur kerja sosial

Ilustrasi palu hakim sebagai simbol hukum dan proses pengadilan.
Ilustrasi palu hakim yang sering digunakan sebagai simbol proses hukum dan penegakan keadilan. Foto oleh Tingey Injury Law Firm via Unsplash.

Sri mengatakan, bahwa PP nantinya harus mengatur berbagai aspek kerja sosial, seperti mekanisme pelaksanaan, sistem pengawasan, koordinasi antar lembaga, serta standar nilai adat dam kondisi sosial di masing-masing daerah.

"Kalau hanya MoU, itu tidak cukup. PP itu harus ada dulu, baru daerah bisa menyesuaikan lewat SK gubernur atau aturan lain yang lebih teknis," jelas dia.

Sri menjelaskan, bahwa dalam aturan KUHP baru tersebut diatur dalam mekanisme Perda yang berbeda dari masing-masing wilayah. Penerapan kerja sosial antara satu wilayah dengan wilayah lain dapat berbeda tergantung hukum adat yang berlaku.

"Karena itu, Pemprov maupun kabupaten dan kota perlu membuat aturan turunan yang menyesuaikan karakter daerah. Minimal harus ada kejelasan mengenai batasan dan tanggung jawab serta pengawasan yang jelas," jelas dia.

2. Pidana sosial memiliki efek memalukan

ilustrasi kerja sosial (pexels.com/Julia M Cameron)
ilustrasi kerja sosial (pexels.com/Julia M Cameron)

Berbicara mengenai kerja sosial, sanksi ini dinilai dapat diterapkan tidak hanya pada kasus pidana ringan, tetapi juga pada pelanggaran yang melibatkan pejabat publik, termasuk kasus korupsi atau tindakan arogansi. Penerapan kerja sosial dinilai relevan bagi pejabat yang melakukan pelanggaran dengan tingkat kesalahan tertentu, terutama ketika tindakan tersebut dianggap mencoreng kepercayaan masyarakat.

"Pidana kerja sosial ini memiliki efek mempermalukan pelaku, sehingga mampu menumbuhkan kesadaran sosial. Berbeda dengan hukum penjara, kerja sosial memberikan tekanan psikologis karena pelaku harus bekerja di ruang publik dan dilihat masyarakat," jelas dia.

Dirinya menambahkan bahwa pidana kerja sosial harus bermanfaat dan tidak boleh menyengsarakan. Bentuk kegiatan harus terukur, memiliki pengawasan yang ketat, dan diarahkan agar memberi dampak sosial yang positif.

"Disini peran pemda dan jaksa mengawasi kerja sosial. Pemda yang tahu titik mana saja yang butuh tenaga kerja sosial. Karena itu MoU penting, tapi tetap harus di atas landasan hukum yang sah," jelas dia.

3. Over kapasitas lapas tidak jadi dasar pemberlakuan kerja sosial

ilustrasi di penjara
ilustrasi di penjara (pexels.com/RDNE Stock project)

Sri menegaskan, penerapan kerja sosial dalam KUHP baru bukan semata-mata untuk menekan biaya besar yang ditanggung lembaga pemasyarakatan. Ia bahkan meragukan pernyataan Gubernur Sumsel Herman Deru yang mengklaim adanya hasil penelitian bahwa anggaran untuk narapidana di Sumsel mencapai Rp3 triliun per tahun.

"Kalau dikatakan persoalan kerja sosial semata-mata untuk mengurangi biaya operasional lapas tidak tepat. Karena kita tahu permasalahan over kapasitas lapas tidak bisa dijadikan dasar tunggal dalam kebijakan pemidanaan," jelas dia.

Dirinya meminta pemerintah belajar dari praktik negara lain yang sebelumnya sudah menjalankan bagaimana kerja sosial itu dapat menciptakan efek malu agar orang tak lagi melakukan pelanggaran hukum dikemudian hari.

Share
Topics
Editorial Team
Yogie Fadila
EditorYogie Fadila
Follow Us

Latest News Sumatera Selatan

See More

Soal Kerja Sosial di KUHP Baru, Pengamat Dorong Aturan yang Jelas

06 Des 2025, 17:32 WIBNews