Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Lokasi TPS 27 Palembang (IDN Times/Rangga Erfizal)

Intinya sih...

  • KPU menyelesaikan Pleno Rekapitulasi Pilkada Sumsel 2024 dengan kemenangan HDCU.
  • Pengamat menilai politik uang dan apatisnya masyarakat merespon dinamika politik, sebagai ancaman demokrasi.
  • Politik uang masih mendominasi kondisi politik di Sumsel, membuat suara pemilih tak lagi murni dalam prinsip demokrasi.

Palembang, IDN Times - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyelesaikan proses Pleno Rekapitulasi dengan kemenangan Herman Deru-Cik Ujang (HDCU) di Pilkada serentak 2024. HDCU unggul 51,61 persen disusul pasangan Eddy Santana-Riezky Aprilia (ERA) 25,16 persen dan Mawardi Yahya-Anita Noeringhati (Matahati) 23,23 persen.

Menanggapi hasil pilkada Sumsel, Pengamat Politik Sumsel Ade Indra Chaniago menilai Pilkada Sumsel telah menciptakan kondisi riskan bagi demokrasi. Hal ini terjadi lantaran masifnya politik uang yang digunakan untuk menjaring pemilih dan apatisnya masyarakat merespon dinamika politik menjelang pilkada.

"Banyak masyarakat yang berpura-pura tidak tahu, sehingga praktik ini menjadi mudah dilakukan," ungkap Ade Indra, Minggu (8/12/2024).

1. Sistem demokrasi di Sumsel dalam kondisi buruk

Proses perhitungan suara di TPS Herman Deru (IDN Times/Rangga Erfizal)

Ade menerangkan, peredaran amplop hingga sembako saat masa tenang menandakan buruknya demokrasi bekerja. Terlebih hasil survei yang keluar tak sesuai dengan quick count usai TPS ditutup.

Akibat politik transaksional yang masif menjadikan kondisi yang salah di mata hukum, menjadi hal yang biasa. Alhasil, suara yang diberikan pemilih tak lagi murni sebagai suara rakyat dalam prinsip demokrasi.

"Saya terkejut ketika pasangan calon (paslon) nomor 01 mencatatkan kemenangan hingga 73 persen dalam quick count. Di kepala saya, langsung terlintas bahwa setidaknya ada 3,3 juta amplop yang beredar di masyarakat, karena fenomena ini juga ramai diperbincangkan di media sosial," ungkap dia.

2. Politik ide dan gagasan makin jauh dari harapan

https://www.rri.co.id/pemilu/547723/mengenal-tinta-pemilu-2024

Senada, pengamat politik Bagindo Togar menyebutkan, politik uang masih mendominasi kondisi politik di Sumsel. Hal ini menandakan dominannya praktik primitif dalam demokrasi di Pilgub Sumsel.

"Praktik ini seperti barter antara paslon dan pemilih. Amplop dan bansos ditukar dengan suara. Ini adalah bentuk kegagalan membangun ekosistem politik modern yang berbasis ide dan gagasan," ujar dia.

Dirinya pesimis, perubahan akan tercipta setelah pesta demokrasi dilakukan. Sistem demokrasi yang diharapkan mampu menciptakan pemimpin yang baik justru akan membawa masalah dikemudian hari.

"Dengan masifnya politik uang, masyarakat tidak bisa berharap banyak untuk perubahan yang lebih baik. Proses yang cacat menghasilkan hasil yang serupa," jelas dia.

Bagindo pun berujar, masih masifnya politik uang artinya partai tidak berfungsi dengan baik. Kaderisasi di partai tidak ada gunanya lagi, karena siapa saja yang bisa memobilisasi, bagaimana pun caranya, orang tersebutlah pemenangnya.

"Gak perlu lagi sekolah politik di partai, isu dan gagasan tidak lagi digunakan. Demokrasi kita sudah begitu primitif," ungkap Bagindo.

3. Bawaslu Sumsel harus bisa buktikan persoalan pelanggaran TSM

Ilustrasi Pilkada. (IDN Times)

Senada, praktisi hukum Mualimin Pardi Dahlan menilai bahwa masyarakat belum memahami bahwa politik uang adalah pelanggaran hukum serius. Bahkan, fenomena ini berubah menjadi perlombaan antar-warga untuk membandingkan isi amplop.

"Bagi masyarakat, ini menjadi ajang kompetisi, di tempat ini amplop berisi Rp50 ribu, di tempat lain Rp100 ribu. Mereka tidak sadar bahwa ini adalah persoalan hukum," ujar dia.

Peran Bawaslu Sumsel dinilai penting dalam mengawasi dinamika yang ada. Kondisi ini dinilai masuk dalam pelanggaran Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM).

"Jika benar isu TSM, maka konsekuensinya kemenangan paslon dapat dianulir," jelas dia.

Editorial Team