Kembali Penjurusan, Pakar: Pendidikan Harus Sesuai Kapasitas Individu

- Rencana pemerintah mengembalikan sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa menjadi sorotan publik.
- Pakar pendidikan menilai sistem lama yang membagi penjurusan di SMA sudah tepat diterapkan.
- Kurikulum yang terus berubah dinilai tidak memberi kepastian arah pendidikan dan sulit dipahami.
Palembang, IDN Times - Rencana pemerintah mengembalikan sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa yang sebelumnya dihapus di era Menteri Nadiem Makarim menjadi sorotan. Pasalnya, pernyataan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasman) Abdul Mu'ti mendapat pro kontra di tengah masyarakat.
Pakar pendidikan sekaligus Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan dan Politik (PSKP) Ade Indra Chaniago menilai, sistem pendidikan lama yang membagi penjurusan pada tingkat SMA sudah sangat tepat diterapkan. Setiap individu dinilai tidak memiliki kapasitas dan minat yang sama. Untuk itu, pendidikan seharusnya mampu menekankan pentingnya pemahanan kapasitas individu dan arah besar bangsa.
"Karena yang saya pahami bahwa kapasitas setiap orang tidak sama. Jadi ketika dipaksakan untuk memahami banyak hal tentu saja hasilnya tidak akan maksimal. Setiap individu tidak perlu menjadi sama karena antara satu dan lain bisa saling mengisi atau sederhananya semua orang ingin bekerja di ruangan lantas siapa yang akan bekerja di lapangan," ungkap Ade Indra Chaniago kepada IDN Times, Jumat (18/3/2025).
1. Presiden atau Menteri seharusnya memahami kemana arah pendidikan

Ade menilai, fokus utama kebijakan pendidikan seharusnya bukan sekedar mengikuti tren atau perbedaan visi antar pemangku kepentingan. Kebijakan pendidikan begitu penting untuk menentukan arah bangsa melalui kebijakan yang diambil.
Berdasar riset yang ditulis Alhamuddin berjudul Sejarah Kurikulum di Indonesia tahun 2014, tercatat sudah 11 kali kurikulum pendidikan berganti. Artinya dari tahun 1947 hingga 2022 sudah ada 12 kali kebijakan yang berubah dalam sistem pendidikan di Indonesia.
"Ini bukan soal maju atau mundur. Tapi pertanyaannya: mau dibawa ke mana bangsa ini? Seorang pemimpin atau pengambil kebijakan adalah orang yang paham akan diarahkan ke mana kemudi bangsa ini," jelas dia.
2. Pendidikan harus berkelanjutan bukan diubah-ubah

Menurut Ade, permasalahan ini seharusnya tidak menuai pro dan kontra jika menteri yang ditunjuk mampu menerjemah amanat konstitusi tentang pendidikan. Dalam amanat konstitusi tersebut, ada kata mencerdaskan kehidupan bangsa yang seharusnya jadi pedoman siapa pun menteri yang ditunjuk mengelola pendidikan.
"Nah, pertanyaannya, apakah Kurikulum Merdeka saat ini mampu melaksanakan itu? Selain itu, yang harus dipahami adalah bahwa pendidikan itu harus berkelanjutan bukan berubah-ubah sesuai dengan taste pemimpin tanpa pondasi yang kuat," jelas dia.
Dirinya menilai tidak semua yang ada di kurikulum merdeka atau kurikulum pendidikan sebelumnya buruk. Evaluasi dianggap harus dilakukan untuk menilai sistem pendidikan mana yang tepat diterapkan untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Sistem pendidikan yang baik dinilai harus tetap adaptif dengan perkembanganzaman dan kebutuhan siswa tanpa membatasi eksplorasi potensi anak didik.
"Dari evaluasi ini barulah kita bisa berpikir langkah apa yang harus diambil, tentunya dengan memperhatikan tantangan yang akan kita hadapi sesuai dengan kondisi kekinian dan harapan terhadap masa depan," jelas dia.
3. Kurikulum yang tak jelas buat masyarakat kebingungan

Ade menjelaskan, inkonsitensi kebijakan kurikulum yang terus berganti berdampak buruk terhadap pendidikan. Guru, siswa, hingga masyarakat selalu dibuat bingung soal kemana arah pendidikan yang ingin ditentukan pemerintah.
"Kalau berbicara dampak negatifnya kan sudah jelas, masyarakat dan kita semua dibuat bingung dengan kebijakan tersebut," jelas dia.
Terlebih baginya, kurikulum merdeka yang ada saat ini sulit dipahami karena memiliki pemaknaan yang berbeda. Sistem pendidikan dirahapkan mampu mengarahkan para siswa kepada penjurusan minat dan bakatnya.
"Kurikulum merdeka itu seharusnya dipahami untuk memberi ruang ekspresi kepada siswa sesuai dengan kapasitasnya. Itulah kenapa ketika selesai sekolah ada yang melanjutkan studinya ke rumpun ilmu sosial dan ada juga yang memilih jurusan mipa sesuai dengan passion mereka," jelas dia.
4. Pemerintah harus memperdalam kurikulum

Di sisi lain, dirinya melihat sistem pendidikan yang selalu berubah setiap pergantian kepemimpinan di negara ini turut menimbulkan kegaduhan. Dirinya melihat esensi kebijakan itu bukan didasarkan kepada siapa pemimpinnya melainkan kebutuhan pendidikan itu sendiri. Pemerintah seharusnya mampu memperdalam keilmuan yang ada bukan mengonta-ganti sistem pendidikan untuk coba-coba.
"Saya melihat kerugian yang ditimbulkan selain kegaduhan juga buang-buang umur karena waktu terbuang untuk suatu hal baru yang tidak jelas dan harus kembali mundur agar dapat melangkah maju," jelas dia.