Harap-harap Cemas Vaksin Bill Gates, Saat TBC Capai 1 Juta Kasus

Palembang, IDN Times - Kasus penyakit Tuberkulosis (TBC) di Indonesia merupakan peringkat kedua terbanyak di dunia setelah India, berdasarkan laporan dari World Health Organization (WHO). Berdasarkan data Kemenkes per 17 Maret 2025, tercatat jumlah kasus TBC di Indonesia diestimasikan mencapai 1.092.000 kasus, menyumbang 10 persen kasus TBC global sebesar 10,8 juta penderita.
TBC masih menjadi salah satu penyebab kematian global utama, dan sekitar 1,5 juta orang meninggal karena penyakit ini setiap tahun. Di Indonesia, TBC menjadi masalah kesehatan yang signifikan dengan estimasi 134 ribu kematian setiap tahun. Melalui Perpres nomor 67 tahun 2021, pemerintah menetapkan strategi nasional penanggulangan Tuberkulosis, dengan anggaran Rp1,5 triliun dari APBN yang masuk ke dalam program prioritas pemerintahan Prabowo pada 2025.
Bill Gates melalui perusahaan farmasi GSK (GlaxoSmithKline) mengembangkan vaksin M72/AS01E. Atas restu Presiden RI Prabowo Subiato, Indonesia menjadi salah satu lokasi utama uji klinis vaksin M72 TBC tersebut di lima lokasi, yaitu Padang, Medan, Jakarta, Makassar, dan Manado. Sudah sejauh mana uji klinis vaksin M72 Bill Gates?
1. Teknis uji klinis vaksin belum jelas, Dinkes daerah belum terima instruksi pusat

Salah satu alasan Indonesia dipilih menjadi lokasi uji klinis vaksin TBC M72 karena tingginya kasus TBC di Tanah Air. Tingginya angka ini diklaim Indonesia jadi lokasi strategis untuk menguji efektivitas vaksin di populasi nyata, serta mengetes kecocokannya dengan genetik orang Indonesia. Selain Indonesia, India dan Afrika juga menjadi tempat uji klinis vaksin M72 TBC.
Vaksin ini dalam tahap uji klinis tahap 3, dan menargetkan individu yang sudah terinfeksi bakteri TBC namun belum menunjukkan gejala (laten), dengan harapan bisa mencegah infeksi menjadi aktif. Uji klinis tahap 3 adalah tahapan paling krusial untuk mengetahui efektivitas dan keamanan vaksin dalam skala besar.
Menurut keterangan Kementerian Kesehatan RI, uji klinis ini melibatkan sekitar 20.000 partisipan di beberapa negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, pelaksanaannya dilakukan di lima lokasi, yaitu Padang, Medan, Jakarta, Makassar, dan Manado. Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin mengatakan, uji klinis vaksin TBC M72 sudah masuk tahap ketiga, di Indonesia. Sebanyak 2.095 peserta sudah mendapatkan suntikan vaksin M72 sejak November 2024, terbanyak di Jawa Barat.
Namun di Padang, pelaksana teknis puskesmas belum mengetahui rencana tersebut. Padahal Padang disebut-sebut sebagai salah satu lokasi uji klinis tahap 3 vaksin M72 tersebut.
"Sampai saat ini kami masih belum mendapatkan informasi dari Dinas Kesehatan soal persiapan vaksinasi itu," kata Yuli Rida, Kepala Puskesmas Bungus Teluk Kabung, Kota Padang, Sumatra Barat saat dihubungi IDN Times, Minggu (15/6/2025).
Yuli mengungkapkan, pihaknya belum mendapatkan informasi soal rencana pelaksanaan uji klinis vaksin Bill Gates tersebut di Kecamatan Bungus Teluk Kabung. Penanganan pasien TBC di Kecamatan Bungus Teluk Kabung hingga saat ini masih melalui tahapan pengobatan seperti biasa.
Sementara dari kota lain yang disebutkan sebagai lokasi uji klinis vaksin M72 tersebut, yakni Jakarta, Makassar, Medan, dan Manado, belum ada laporan mengenai teknis pelaksanaannya.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Provinsi Bali, I Gusti Ayu Raka Susanti mengatakan, saat ini Bali belum memiliki wacana program vaksin tuberkulosis atau TBC. Oleh karenanya masyarakat diimbau agar menerapkan hidup bersih dan sehat.
Dinkes Lampung pun mengaku belum mendapatkan arahan terkait vaksin M72. "Untuk Lampung belum ada informasi, sepertinya di Indonesia belum ada surat keputusannya, jadi belum bisa juga kita pastikan. Belum ada surat dari kementerian terkait ini," ujar Kepala Dinkes Provinsi Lampung, Edwin Rusli.
2. Revolusi X-ray AI di Semarang dan Cek Kesehatan Gratis Jadi Kunci

Namun meski uji klinis tahap 3 vaksin M72 belum jelas, pemerintah daerah tidak tinggal diam. Kebanyakan daerah memanfaatkan CKG untuk lebih lanjut menanggulangi TBC. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan (Dinkes) Palembang Yudhi Setiawan, hingga saat ini pemerintah kota (pemkot) belum mendapatkan edukasi soal vaksinasi TBC.
Meski belum mendapatkan informasi mengenai vaksin TBC sebagai langkah pencegahan penularan kasus meluas, Dinkes Palembang berupaya masif dalam menekan jumlah pasien. Yakni dengan program cek kesehatan gratis yang tersedia di 42 puskesmas.
"Pemberian obat dan pemeriksaan sampel dahak secara TCM (tes cepat molekuler) semua gratis. Yang penting ada kesadaran masyarakat mau memeriksakan kesehatan. Karena makin cepat dan makin dini pemeriksaan, maka potensi penularan (TBC) minim," jelas dia.
Berdasarkan jumlah total penderita TBC di Palembang di angka 7.533 kasus, mayoritas menular lebih cepat terhadap perokok aktif. Dari data penderita TBC keseluruhan, 63 persen terjadi pada laki-laki. Rincian penderita TBC di Palembang kategori laki-laki berjumlah 4.748 orang dan kelompok perempuan ada 2.785 kasus. Angka itu termasuk 757 pengidap berusia 0-14 tahun. Penularan cepat terjadi pada anak dipengaruhi lingkungan dan interaksi melalui droplet.
Di Semarang lebih canggih. Dinkes Semarang melakukan terobosan dalam Penemuan Kasus Aktif (Active Case Finding/ACF). Program tersebut berupaya secara proaktif untuk menemukan individu dengan TBC yang belum terdiagnosis atau belum mencari pengobatan. ACF melibatkan skrining sistematis di komunitas atau kelompok berisiko tinggi, seperti kontak serumah pasien TBC.
Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2ML) Dinas Kesehatan Kota Semarang, Anggun Dessita Wandastuti mengatakan, program ACF di Kota Semarang mendapat bantuan satu unit X-ray portabel dari Uni Emirat Arab (UEA). Alat itu dilengkapi dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang menjadikannya sebagai terobosan signifikan dalam skrining TBC.
Menurut Anggun, alat portabel tersebut jauh lebih ringkas dibandingkan X-ray statis di rumah sakit, karena memiliki radiasi yang minimal dan dapat digunakan di berbagai lokasi—bahkan di ruangan biasa dengan jarak aman minimal dua meter.
Keunggulan lainnya adalah hasil pemeriksaan dapat langsung keluar dalam format digital (Portable Document File/PDF), tanpa perlu dicetak, dan secara otomatis terhubung dengan Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB), sistem pemantauan nasional.
Sejak Maret 2025, Anggun bersama timnya telah mengadakan 30 kegiatan skrining ACF gratis di 16 kecamatan se-Kota Semarang. Setiap bulannya, rata-rata ada 10 kali kegiatan yang dilakukan mereka, dengan target 100 sasaran per kegiatan. Artinya, total sudah 3.000 orang ditargetkan untuk menjalani pemeriksaan tersebut.
Hingga pertengahan Mei 2025, dari 2.700 orang yang telah diperiksa. Hasilnya, sekitar 1 persen atau 27 individu terbukti positif TBC di Kota Semarang. Adapun, pasien yang terdiagnosis TBC dapat segera mendapatkan pemantauan pengobatan selama enam bulan penuh dari Puskesmas setempat. Pemantauan ketat tersebut menjadi vital untuk memastikan kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat.
Plh Kepala Dinas Kesehatan NTB Tuti Herawati mengatakan, Berdasarkan data 2024, ada lima kabupaten/kota dengan penemuan kasus TBC terbanyak di NTB. Antara lain Lombok Timur sebanyak 2.394 kasus, Kota Mataram 2.036 kasus, Lombok Barat 1.650 kasus, Lombok Tengah 1.434 kasus, dan Sumbawa 1.081 kasus. Sedangkan kabupaten/kota lainnya, seperti Bima 967 kasus, Dompu 646 kasus, Sumbawa Barat 383 kasus, Kota Bima 354 kasus dan Lombok Utara 328 kasus.
Untuk memperbanyak penemuan kasus TBC, Tuti mengatakan pihaknya melakukan skrining dan tracing ke keluarga dan lingkungan pasien TBC. Apalagi dengan adanya program cek kesehatan gratis, salah satu instrumen yang digunakan untuk mendeteksi penyakit menular dan penyakit tidak menular di masyarakat.
"Dengan cek kesehatan gratis itu harapannya bisa ter-cover penemuan kasus TBC, dari gejala, edukasi dan penanganan. Harapan kita dengan program cek kesehatan gratis ini memperkuat kinerja program untuk mendapatkan kasus TBC," terangnya.
3. Tingkat kesembuhan tinggi di daerah namun penularan masih masif, apa yang salah?

Jumlah kasus TBC di Indonesia diestimasikan mencapai 1.092.000 kasus, dengan kematian sekitar 134 ribu, namun keberhasilan penyembuhan mencapai 85 persen secara nasional. Menurut dr Anak Agung Ngurah Putra Wiradana, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Tabanan, data TBC di Tabanan tahun 2024 terjadi 300 kasus baru, dengan 4 kasus kambuh. Sementara pada tahun 2025 hingga Mei 2025 terjadi 118 kasus baru, dengan 3 kasus kambuh. Tingkat keberhasilan tahun 2024 adalah 82 persen, gagal 1 persen, kematian 13 persen, dan kehilangan 4 persen.
Dokter Spesialis Paru RSUD Rabain Muara Enim Rahadi Widodo mengatakan, jejak TBC ditemukan sejak zaman Mesir kuno dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Ada banyak faktor penularan TBC yang selalu menjangkiti masyarakat yakni, bakteri yang berkembang. Perkembangan TBC menjadi penelitian khusus tim medis dari waktu ke waktu dimana TBC terus berkembang hingga ada pasien yang akhirnya mengalami resistensi obat karena perkembangan bakteri.
"Ada upaya menyembuhkan TBC dengan antibiotik yang bisa memberantas kuman TBC, namun kumannya terus mengalami perkembangan. Sehingga saat ini muncul Tuberkulosis Resistensi Obat (TBC RO)," jelas dia.
Menurutnya, paparan virus TBC bisa terjadi setiap hari. Dari aktivitas luar dan dalam ruangan yang dilakukan individu. Sebarannya yang mudah melalui batuk membuat virus ini bisa membuat orang tak sadar sudah terpapar. Ketika daya tahan tubuh melemah, virus yang sudah berkembang di paru-paru aktif dan menjangkiti individu.
"Maka dari itu virus ini rentan dan terkadang muncul ketika daya tahan tubuh pasien menurun. Biasanya pasien dengan penyakit seperti kanker, HIV, dan diabetes rentan terpapar TBC," jelas dia.
Dirinya menilai, penularan kuman TBC dapat terjadi di mana saja, sehingga seseorang berisiko terpapar setiap hari melalui aktivitas sehari-hari. Sumatra Selatan (Sumsel) menjadi salah satu daerah dengan jumlah kasus TBC tinggi di Indonesia. Kelompok usia rentan seperti anak-anak di bawah lima tahun dan lansia di atas 60 tahun kerap terinfeksi karena daya tahan tubuh yang lemah.
Upaya penelitian untuk menghadapi penyakit TBC merupakan pekerjaan jangka panjang yang terus dilakukan oleh tim medis di seluruh dunia. Harapannya, di masa mendatang TBC dapat dikendalikan melalui penemuan vaksin yang efektif, sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit tersebut.
"Pasien TBC yang tidak disiplin dalam menggunakan masker berisiko menularkan penyakit kepada orang lain. Karena itu, kesadaran untuk mematuhi imbauan dokter dan petugas medis sangat penting agar penularan dapat ditekan," ungkap dia.
Selain itu semua, faktor lingkungan turut menjadi salah satu penyebab meluasnya penyebaran TBC. Beberapa negara maju di Eropa dan Amerika bisa menekan angka penyebaran virus di wilayahnya. Sementara di negara berkembang dan miskin virus ini menjadi momok untuk diatasi.
Lingkungan tempat tinggal yang padat penduduk, minim ventilasi, serta kurang pencahayaan alami menjadi salah satu faktor utama yang memperbesar risiko TBC. Menurut Rahadi, rumah-rumah yang tidak memenuhi standar kesehatan seperti kurangnya sirkulasi udara dan sinar matahari memudahkan kuman TBC bertahan di udara lebih lama.
Menurutnya, Indonesia, China, dan India merupakan tiga negara dengan populasi besar yang menjadi pusat penyebaran TBC global. Hingga saat ini, perkembangan ilmu kedokteran belum mampu sepenuhnya menghentikan penyebaran penyakit tersebut, melainkan baru sebatas pada tahap pengobatan.
"Obat-obatan memang terus berkembang, tetapi kuman TBC dapat membentuk strain atau varian yang kebal terhadap obat, sehingga ada kasus TBC yang tidak mempan lagi dengan pengobatan standar," ungkapnya.
4. TBC bisa diobat dari puskemas, tapi harus ada peran aktif masyarakat

Dinkes Denpasar bekerja sama dengan melibatkan sinergi antara pihak swasta dan pemerintah dalam tata laksana kasus TBC, dan penyediaan layanan TBC. Misalnya, layanan penegakan diagnosis melalui penyediaan layanan TCM yang mudah diakses, maupun tata laksana kasus sesuai standar.
“Penyediaan logistik baik Obat TBC maupun logistik lainnya dan peningkatan kapasitas bagi SDM yang terlibat dalam program TBC,” ungkap Kepala Dinas Kesehatan Kota Denpasar, Anak Agung Ayu Agung Candrawati.
Candrawati menjabarkan, akses pengobatan TBC ada di semua puskesmas. Sementara, hampir seluruh rumah sakit (RS) pun ada askes pengobatannya, kecuali RSIA Puri Bunda dan RS Dharma Sidhi. Ada enam klinik yang menyediakan pengobatan TBC seperti Klinik Karya Prima, Klinik Anugerah, Klinik Osadha, Klinik Bunga Emas, Klinik Prodia, Klinik Graha Medika, dan Tempat Praktik Mandiri Dokter (TMPD) dr. Diane.
Di Sumsel, saat ini, seluruh telah memiliki fasilitas dan kemampuan yang memadai untuk menangani pasien TBC. Menurutnya, angka kematian akibat TBC relatif kecil dibanding jumlah kasus yang tinggi. Program penanganan TBC sendiri dibiayai secara khusus secara langsung dari anggaran Kementerian Kesehatan berbarengan dengan penanganan penyakit menular lainnya.
Sehingga masyarakat tidak perlu langsung ke rumah sakit karena pelayanan dasar, penanganan dan obat-obatan sudah cukup tersedia di fasyankes tingkat pertama (puskesmas).
5. Dukungan terhadap uji klinis vaksin M72 Bill Gates

Lembaga non-pemerintah Stop TB Partnership Indonesia (STPI) menegaskan bahwa keterlibatan Indonesia dalam uji klinis tahap 3 vaksin tuberkulosis (TBC) bukan bentuk eksperimen pada manusia, melainkan kontribusi besar bagi kesehatan global.
Penegasan yang termuat dalam laman resmi lembaga tersebut ini disampaikan menyusul munculnya stigma negatif dan teori konspirasi setelah pertemuan Presiden Prabowo dengan tokoh filantropi dunia, Bill Gates, yang mendukung uji coba vaksin M72 di Indonesia.
“Sebagian masyarakat menyebut peserta uji klinis sebagai ‘kelinci percobaan’, bahkan mengaitkannya dengan isu pengurangan populasi lewat vaksinasi. Padahal, mereka adalah pahlawan kemanusiaan,” kata STPI.
STPI menjelaskan, vaksin M72 yang kini memasuki fase uji klinis tahap 3, telah melalui proses panjang sejak awal tahun 2000, termasuk uji coba tahap 1 dan 2 yang membuktikan keamanannya. Uji klinis tahap 3 kini dilakukan di lima negara, yaitu Afrika Selatan, Kenya, Indonesia, Zambia, dan Malawi, dengan total partisipan lebih dari 20 ribu orang. Di Indonesia sendiri, sekitar 2.095 orang ikut serta dalam penelitian ini.
“Partisipasi mereka bersifat sukarela dan tanpa paksaan. Semua peserta mendapatkan informasi yang jelas dan hak mereka dijamin secara etis dan hukum, termasuk perlindungan asuransi bila terjadi efek samping,” kata STPI.
Terakhir, STPI meminta pemerintah dan lembaga riset untuk terus menjaga transparansi dalam setiap proses uji vaksin agar kepercayaan publik tidak luntur.
“Ini bukan soal percobaan, ini soal harapan agar anak cucu kita kelak bisa hidup di dunia yang bebas dari TBC,” tutup pernyataan STPI.
6. Jalan panjang mengempas stigma TBC 'penyakit kutukan'

Kepala Dinkes Provinsi Lampung, Edwin Rusli mengatakan, keberadaan penyakit TBC tidak hanya menyerang paru-paru, tetapi juga dapat menyebar ke organ tubuh lainnya, sehingga bisa berisiko tinggi bagi penderita dan orang-orang di sekitar. Disebutkan, berbagai faktor penderita TBC bisa terjangkit disebabkan akibat kondisi lingkungan memprihatinkan, minimnya tingkat kesadaran masyarakat, hingga dipengaruhi gaya atau pola hidup kurang sehat.
"Kalau cara pengobatannya, jadi pengidap TBC itu tidak boleh putus minum obat selama tiba bulan, tapi rata-rata mereka tidak selesai karena kalau putus harus mulai lagi dari nol. Maka ini juga perlu kesadaran masing-masing pasien," ucapnya.
Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Kabid P2P) Dinkes Jabar berujar, Stigma negatif masyarakat mengenai penyakit Tuberkulosis (TBC) di Jawa Barat masih melekat. Kondisi ini membuat masyarakat yang positif enggan berobat ke dokter karena takut dijauhkan oleh lingkungan sekitarnya.
Bahkan, beberapa di antaranya takut untuk tidak bisa bergaul dengan teman-temannya, misalnya untuk kegiatan harian, seperti ikut pengajian hingga arisan.
"Banyak tidak patuh dan masih ada stigma tadi, karena misalnya saya kalau ketahuan TBC tidak diajak arisan, tidak diajak pengajian, itu. Sebenarnya harus sadar kalau TBC ya jangan arisan dulu, jangan pengajian dulu," ujar Rochady.
Menurutnya, stigma negatif ini seharusnya sudah tidak ada jika pasien mengerti prinsip dasarnya pengobatan dari penyakit ini. Dia mengatakan, pasien dengan positif TBC ini seharusnya bisa mengisolasi diri dan patuh terhadap pengobatan.
"Pasien TBC ini masuk ke program pengobatan dan paham kalau menularkan jangan bersosialisasi, sama seperti COVID-19. Sama aja. Tidak selamanya pasien TBC isolasi, ketika diperiksa dahak tidak ada kuman, ya bisa bertemu siapa saja," katanya.
Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dinkes Sumsel, Marsal Husnan mengatakan, TBC merupakan penyakit yang menular lewat udara, terutama saat penderita batuk atau bersin. Namun, berbeda dengan COVID-19, masa inkubasi TBC lebih lama dan tidak langsung menimbulkan gejala. Penyakit ini baru muncul bertahun-tahun kemudian, terutama jika daya tahan tubuh melemah karena malnutrisi atau penyakit penyerta lainnya.
"Kemiskinan juga menjadi faktor besar penyebaran TBC. Stres, gizi buruk, dan lingkungan yang tidak sehat memperbesar risiko penularan," jelas dia.
Salah satu tantangan terbesar penanggulangan TBC di Sumsel adalah masih kuatnya stigma di masyarakat. Banyak pasien memilih menyembunyikan penyakitnya karena takut dijauhi atau merasa malu. Bahkan, sebagian masyarakat masih menganggap TBC sebagai penyakit kutukan.
Sementara Dinas Kesehatan Provinsi NTB mengungkapkan, stigma negatif terhadap penderita TBC menjadi salah satu kendala penemuan kasus di NTB. Penderita TBC malu penyakitnya diketahui orang lain karena adanya stigma negatif di masyarakat.
"Stigma itu salah satu kendalanya. Makanya program kita lebih kepada memastikan kesehatan lingkungan, kemudian prilaku hidup bersih dan sehat, skrining kesehatan secara berkala, itu yang kita lakukan lebih kepada preventif dan promotifnya," jelasnya.
Direktur RSUD Provinsi NTB dr. Lalu Herman Mahaputra mengatakan kasus TBC di NTB seperti gunung es. Dia mengatakan masih banyak kasus TBC yang belum ditemukan. Bahkan, pria yang biasa disapa Dokter Jack ini, mengatakan penyakit TBC lebih ekstrem dari COVID-19.
"Sebenarnya penyakit TBC ink bisa sembuh, asal pasien itu rajin minum obat. Banyak pasien yang drop out karena tidak bisa disalahkan juga, varian dan jenis obat yang dikonsumsi penderita TBC ini banyak. Sehingga mereka enggan dan banyak efek samping seperti pusing, mual dan sebagainya," tuturnya.
Menurutnya, asalkan pasien TBC minum obat maka pasti akan sembuh. "Jumlah penderita TBC ini seperti fenomena gunung es yang sewaktu-waktu bisa meledak," kata Dokter Jack.
Tim Penulis:
Halbert Caniago (Padang), Dhana Kencana (Semarang), Feny Maulia Agustin (Palembang), Amir Faisol (Jakarta), Ni Komang Yuko Utami dan Ni Ketut Wira Sanjiwani (Denpasar), Rangga Erfizal (Palembang), M Iqbal (Banten), Tri Purnawati. Erik Alfian, dan Ervan Masbanjar (Kaltim), Tama Wiguna (Lampung), Juliadin JD, Muhammad Nasir (NTB).