Bisa Dipidana, Pemprov Sumsel Imbau Peternak Tak Jual Indukan Sapi

- Pemerintah Sumsel mengimbau peternak untuk tidak menjual indukan sapi betina produktif untuk dipotong, karena dapat dikenai sanksi pidana penjara dan denda hingga Rp300 juta.
- Harga sapi indukan betina lebih rendah dibandingkan sapi potong, berpotensi menurunkan populasi sapi di Indonesia, dan memicu kenaikan harga daging, serta meningkatkan ketergantungan terhadap impor.
- Tingginya biaya pakan, keterbatasan lahan penggembalaan, serta minimnya dukungan pembibitan membuat usaha penggemukan sapi jantan menjadi mahal. Diperlukan upaya untuk menekan biaya produksi dan menjaga keberlanjutan populasi sapi nasional.
Palembang, IDN Times - Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel) mengimbau para peternak agar tidak menjual indukan sapi betina produktif untuk dipotong, di tengah tuntutan menekan harga penjualan daging sapi. Larangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang mengatur penjualan indukan betina produktif dapat dikenai sanksi pidana penjara.
"Ancaman penjaranya bisa mencapai 1-3 tahun penjara dan denda hingga Rp300 juta," ungkap Pejabat Otoritas Veteriner Sumsel, Jafrizal, Senin (20/10/2025).
1. Hilangnya indukan sapi sebabkan penurunan populasi

Harga sapi indukan betina umumnya lebih rendah dibandingkan sapi potong. Kondisi ini kerap dimanfaatkan peternak sebagai pilihan ekonomi jangka pendek untuk menghadapi kenaikan harga daging.
Namun tanpa disadari, langkah tersebut justru dapat mengancam keberlanjutan rantai produksi sapi nasional. Hilangnya indukan betina produktif berpotensi menurunkan populasi sapi di Indonesia, memicu kenaikan harga daging, serta meningkatkan ketergantungan terhadap impor.
"Seekor betina produktif bisa melahirkan satu anak sapi setiap tahun. Dalam lima tahun, satu induk berpotensi melahirkan lima ekor anak. Bayangkan, jika seribu betina produktif disembelih, maka hilanglah peluang lahirnya lima ribu ekor sapi masa depan. Inilah bentuk kerugian yang tak kasat mata, namun dampaknya sangat nyata," jelas dia.
2. Nilai ada kesalahan sistem yang tidak berpihak ke peternak

Peternak dan jagal sering kali bukan merupakan pelaku utama, melainkan korban dari sistem yang belum berpihak. Tingginya biaya pakan, keterbatasan lahan penggembalaan, serta minimnya dukungan pembibitan membuat usaha penggemukan sapi jantan menjadi mahal.
Saat pasar menuntut harga daging murah, sapi betina produktif pun kerap menjadi sasaran pemotongan.
"Permasalahan ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga mencerminkan kegagalan dalam tata kelola peternakan di tingkat hulu," jelas dia.
3. Upaya dan solusi yang harus dilakukan pemerintah

Jafrizal menjelaskan, untuk mengatasi permasalahan yang ada diperlukan beberapa upaya sistematik dari hulu untuk menekan biaya produksi. Salah satunya dengan untuk membuka lahan penggembalaan umum yang dapat menekan biaya pakan, menjadi tempat kawin alami, sekaligus berfungsi sebagai pusat pelayanan kesehatan hewan.
Selain itu, penguatan balai pembibitan ternak unggul juga dinilai krusial. Balai pembibitan perlu berperan sebagai sumber bibit sapi lokal berkualitas dengan dukungan teknologi inseminasi buatan dan seleksi genetik. Upaya ini diharapkan mampu menjaga keberlanjutan populasi sapi nasional.
"Setelah semua dilakukan pemerintah juga bisa memberikan insentif bagi peternak pembibit untuk menjaga fokus mereka dalam pengembangan populasi ternak," jelas dia.
4. Menjaga sapi betina merupakan bentuk jaga swasembada pangan

Menurutnya, menyembelih sapi betina produktif sama artinya dengan menghapus peluang Indonesia mencapai swasembada daging. Larangan pemotongan betina produktif bukan sekadar aturan hukum, melainkan strategi penting untuk menjaga keberlanjutan produksi ternak nasional.
Jika ingin harga daging tetap stabil dan pasokan terjaga, upaya harus dimulai dari hulu. Menjaga indukan, memperkuat kualitas bibit, serta menyediakan padang penggembalaan menjadi kunci utama dalam membangun sistem peternakan yang mandiri dan berkelanjutan.
"Karena masa depan daging Indonesia bukan ditentukan oleh seberapa banyak kita impor, tapi seberapa berani kita menjaga satu ekor induk agar tetap hidup dan beranak," jelas dia.