TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kekerasan Anak di Sumsel Naik 127 Kasus Selama Pandemik COVID-19

Kasus kekerasan seksual online dominasi laporan di WCC

Ilustrasi anak-anak (IDN Times/Aryodamar)

Palembang, IDN Times - Kasus kekerasan anak sepanjang Januari-Juli 2020 di Sumatra Selatan (Sumsel) mengalami peningkatan. Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3A) Sumsel mencatat ada 127 kasus kekerasan, masing-masing dialami 87 orang anak perempuan dan 40 kasus oleh anak laki-laki.

"Kekerasan tahun ini meningkat 127 kasus. Dan kasusnya bermacam-macam mulai dari kekerasan fisik, seksual, psikis, eksploitasi dan traficking," ungkap Kadis DP3A Sumsel, Fitriana saat ditemui IDN Times di Kantor Gubernur Sumsel, Kamis (23/7/2020).

Baca Juga: Hari Anak Nasional, Tiap Anak Indonesia Wajib Merasakan Kebahagiaan

1. Kasus kekerasan anak didominasi di wilayah Kota Palembang

Fitriana menjabarkan, kasus kekerasan seksual dalam tiga tahun terakhir mengalami fluktuasi. Pada 2018 lalu, kasus kekerasan anak mencapai 329 kasus yang didominasi terhadap kekerasan pada anak perempuan. Lalu pada 2019, kasus kekerasan mulai menurun, tercatat ada 193 kasus kekerasan.

Pada tahun ini, dirinya melihat pada semester satu tahun 2020, kasus kekerasan anak mulai kembali menjadi sorotan dengan terjadinya peningkatan kekerasan.

"Kekerasan fisik, psikis, dan penelantaran terbanyak di tahun ini terjadi di Kota Palembang, kasus pemerkosaan di Muratara, traficking di OI. Untuk di Palembang sepanjang 2020 ada 71 kasus, di mana kasus kekerasan fisik berjumlah 18 kasus, psikis 23 kasus, seksual 8 kasus, penelantaran 13 kasus dan lain-lain sembilan kasus," jelas dia.

2. Faktor ekonomi jadi penyebab terbesar kekerasan terhadap anak

Peringatan hari anak nasional di Sumsel (IDN Times/Rangga Erfizal)

Fitriana mencatat, kasus tahun ini masih bisa terus bertambah bila melihat kondisi ekonomi yang terus merosot. Sebab menurutnya, faktor ekonomi menjadi catatan kasus terbesar yang menjadi faktor terjadinya kekerasan terhadap anak. Mereka yang terlibat kekerasan rata-rata yang memiliki ekonomi menengah ke bawah.

"Faktor ekonomi ini jadi salah satu faktor terbesar permasalahan kekerasan terhadap anak. Ekonomi terbatas, tanggungan orangtua ke anak saat pandemik memperparah kondisi di rumah, kebutuhan sekolah meningkat, PHK meningkat, dan banyak orangtua dirumahkan, atau usaha setop. Dengan kondisi ini potensi kekerasan meningkat, anak menjadi pelampiasan," jelas dia.

Lalu, kasus kekerasan banyak dilakukan oleh orang terdekat yang memiliki akses serta pengawasan lemah. Sejauh ini DP3A Sumsel melakukan pendampingan kepada perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, dengan menyediakan kuasa hukum serta psikolog.

"Kita juga dampingi korban sampai ke pengadilan jika kasusnya sampai ke ranah hukum. Sedangkan psikolog, kita bantu agar kondisi kejiwaan korban tetap baik, dan bila perlu kita siapkan dokter," jelas dia.

Baca Juga: 5 Hal yang Harus Dipahami Saat Merespon Kisah Kasus Kekerasan Seksual

3. Kasus kekerasan seksual secara online juga meningkat di masa pandemik

Kegiatan peringatan hari perempuan bersama WCC Palembang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Direktur Eksekutif Women Crisis Center (WCC) Palembang, Yeni Roslaini Izi menyatakan, selama masa pandemik COVID-19 yang terjadi di wilayah Sumsel pada semester pertama 2020, pihaknya mencatat kasus kekerasan seksual meningkat 50 persen lebih dibanding periode yang sama tahun lalu.

"Kami mencatat, kasus kekerasan seksual periode ini didominasi oleh kekerasan yang dilakukan secara online. Hal ini terjadi karena penggunaan gadget berbasis online meningkat. Ada yang kita dampingi melapor karena shock pacarnya sendiri menunjukkan bagian tubuhnya. Ini masuk ke kekerasan seksual," jelas Yeni.

Rata-rata mereka yang didampingi adalah korban yang melapor ke WCC. Pihaknya menangani kasus kekerasan anak dan perempuan. Menurut Yeni, penanganan kasus kekerasan seksual masih sangat sulit didata karena masih banyak masyarakat yang takut melapor.

"Persoalan kekerasan seksual seperti fenomena gunung es, karena yang tidak melapor lebih banyak. Mereka takut dicap stigma negatif, tidak dipercaya, takut dikira memancing, dan masyarakat juga suka mem-framing korban. Secara tidak sadar masyarakat memaklumi pelaku karena khilaf, padahal kalau sudah dilakukan berkali-kali sudah menjadi perangai," ujar dia.

Baca Juga: Ribuan Anak Indonesia Masih Alami Kekerasan Seksual

Berita Terkini Lainnya