Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Koalisi Masyarakat Sipil Geruduk DPRD Sumbar saat Bahas Perda RTRW

Koalisi Masyarakat Sipil Geruduk ruang rapat Paripurna DPRD Sumbar (Foto: Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar)
Intinya sih...
  • Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar geruduk DPRD Sumbar terkait Ranperda RTRW yang dianggap tidak pro masyarakat dan dipercepat.
  • DPRD diminta untuk menunda penetapan Ranperda dan mengkaji ulang terutama soal hutan adat di Mentawai yang tidak diakui.
  • Ranperda juga mencantumkan rencana PLTPB, pengorbanan kawasan hutan lindung untuk tambang, dan program inventarisasi daerah potensial tambang.

Padang, IDN Times - Koalisi Masyarakat Sipil Sumatra Barat menggeruduk Kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Sumbar saat pelaksanaan rapat paripurna pembahasan Rancangan Peraturan Daera (Ranperda) RTRW pada Senin (17/3/2025) sore.

Penggerudukan yang dilakukan tersebut karena adanya beberapa aturan di dalam Ranperda RTRW tersebut tidak pro masyarakat dan pembahasan yang dinilai dipercepat.

"Kami meminta penetapan Ranperda ini ditunda dan dikaji ulang," kata salah seorang perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Kelvin.

1. Pertanyakan alasan tidak diakuinya hutan adat

Pengesahan Perda RTRW oleh Pemprov Sumbar dan DPRD (Foto: Koalisi Masyarakat Sipil)

Kelvin menjelaskan, hal yang perlu dipertimbangkan lagi oleh DPRD adalah soal hutan adat yang tidak diakui.

"Hutan adat di Mentawai dalam RTRW akan dijadikan kawasan ekonomi khusus. Masyarakat Mentawai dengan kepercayaan Arat Sabulungan mengatur mengenai pemanfaatan hutan. Kepemilikan hutan secara komunal sama halnya dengan hutan adat," katanya.

Namun selama ini, hal tersebut mengalami mengalami masalah pengakuan karena pemerintah pusat menunjuk sebagian hutan sebagai kawasan konservasi dan sebagiannya lagi kawasan hutan produksi. Hal yang sama dimuat dalam Ranperda.

Kawasan hutan adat yang diakomodir dalam Ranperda hanya memuat daerah Kabupaten Dharmasraya sebanyak 35 hektar yang tertuang dalam pasal 39. Masyarakat Mentawai sering menemukan keadaan aktivitas industri di hutan yang beragam dengan motif ingin mengeksploitasi pohon kayu yang ada.

"Dalam ranperda, Mentawai akan dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus tanpa diketahui oleh masyarakat yang akan terdampak dan berpotensi terjadinya eksploitasi kayu yang ada di Mentawai," katanya.

2. PLTPB di Tandikek dimuat dalam Ranperda RTRW

Koalisi Masyarakat Sipil menggeruduk kantor DPRD Sumbar (Foto: Koalisi Masyarakat Sipil)

Selain itu, menurut Kelvin, masyarakat Tandikek di Kabupaten Tanah Datar telah melakukan penolakan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB). Namun rencana itu masih dimuat dalam Ranperda RTRW Sumatra Barat.

"Penolakan ini muncul setelah mereka mendapat informasi bahwa panas bumi di Tandikek akan dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Sebelum menentukan sikap, masyarakat berdiskusi dan belajar dari pengalaman Solok Selatan, dimana PLTPB berdampak pada penurunan kualitas sungai serta menyebabkan berbagai masalah lingkungan, seperti yang terjadi di Poco Leok dan Mataloko," katanya.

Selain itu, keberadaan PLTPB mengurangi lahan pertanian produktif dan tidak memberikan kesempatan kerja yang signifikan bagi masyarakat lokal, kecuali untuk pekerjaan non-teknis seperti buruh kasar dan satpam.

"Setelah memahami dampak tersebut, masyarakat sepakat menolak PLTPB. Namun rencana ini tetap tercantum dalam Ranperda RTRW," katanya.

3. Kawasan hutan lindung dikorbankan

Koalisi Masyarakat Sipil Geruduk ruang rapat Paripurna DPRD Sumbar (Foto: Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar)

Selain itu, ia mengungkapkan bahwa Perda RTRW tersebut juga mengorbankan kawasan hutan lindung untuk kepentingan tambang.

"Hal itu tertuang dalam pasal 89A yang akan membuka peluang bagi kegiatan non-kehutanan di kawasan hutan lindung yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan," katanya.

Frasa tersebut dinilai sangat multitafsir dan berpotensi menjadi celah bagi izin tambang untuk masuk ke kawasan hutan. Terlebih, RTRW juga mencantumkan program inventarisasi daerah yang berpotensi untuk usaha pertambangan yang berada pada kawasan hutan lindung yang seolah melegitimasi perusakan hutan demi eksploitasi tambang.

"Padahal kawasan hutan lindung di Sumbar berada di topografi curam sampai terjal, bila dibuka akan berdampak parah pada bencana ekologis," katanya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hafidz Trijatnika
EditorHafidz Trijatnika
Follow Us