Kala PTS di Sumsel Berdarah dan Diimpit Realita Butuh Mahasiswa Baru

- Penurunan jumlah mahasiswa baru di PTS disebabkan oleh penerimaan masif mahasiswa di PTN-BH, membuat PTS menjadi pilihan kedua bagi calon mahasiswa.
- Status PTN-BH memberikan otonomi penuh untuk membuka jalur mandiri, meningkatkan kuota mahasiswa PTN dan mempengaruhi lambatnya penerimaan mahasiswa baru di PTS.
- Perlu upaya dari pemerintah untuk mengatur ulang regulasi soal penerimaan mahasiswa baru agar tidak terjadi kolaps kampus swasta, serta mendesak peningkatan alokasi beasiswa KIP untuk menjaga eksistensi PTS.
Palembang, IDN Times - Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Sumsel tengah menghadapi situasi pelik dalam dunia pendidikan. Jumlah mahasiswa baru yang diterima masuk PTS setiap tahunnya kian menurun secara signifikan. Beberapa kampus PTS besar di Sumsel bahkan tak lagi bisa menampung 2-3 ribu mahasiswa, bukan karena tak ada kuota melainkan minat masyarakat yang turun.
Beruntungnya, belum ada kampus yang tutup seperti di Pulau Jawa. Namun hal ini sudah menjadi alarm bahaya bagi pendidikan tinggi. Jika kasus serupa tak menemui solusi bukan tidak mungkin PTS yang ada akan bernasib yang sama dengan tutupnya 12 PTS seperti di Yogyakarta.
"Istilahnya PTS harus berdarah-darah cari mahasiswa. Suatu saat jika kondisi kekurangan mahasiswa terus berlanjut bisa colaps kampus tersebut," ungkap Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Sumsel-Babel Wilayah IIA, Muhammad Helmi, kepada IDN Times, Sabtu (27/9/2025).
1. PTN semakin masif buka penerimaan mahasiswa baru

Salah satu faktor penyebab anjloknya jumlah mahasiswa baru di PTS adalah semakin masifnya penerimaan mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Saat ini, PTN yang sudah berstatus Badan Hukum (PTN-BH) memiliki otonomi penuh untuk membuka jalur penerimaan, termasuk jalur mandiri.
"PTS jadi pilihan kedua. Kalau sudah diterima di PTN, tentu mahasiswa enggan melirik swasta," jelas dia.
Proses penerimaan mahasiswa yang lebih panjang di PTN turut menjadi pengaruh lambatnya PTS menerima mahasiswa baru. Hal ini menjadi poin penting yang diperjuangkan APTISI pusat sehingga ada keputusan di tahun ini penerimaan mahasiswa di PTN hanya berlangsung hingga Juli 2025.
"Sebelumnya bisa berlangsung hingga Agustus, membuat PTS kehabisan calon mahasiswa. Kalau PTN terus buka jalur sampai Agustus, otomatis kampus swasta makin terhimpit. idealnya penerimaan PTN harus dibatasi sampai bulan Mei, agar PTS masih punya peluang bersaing," ungkap Helmi.
2. Berharap jalur mandiri di PTN dihapus

Status PTN-BH yang disandang PTN membuat mereka memiliki otonomi sendiri untuk menjaring mahasiswa lebih luas. Jika sebelumnya standar penerimaan mahasiswa lewat jalur undangan dan tertulis, kini jalur mandiri semakin masif dibuka oleh PTN.
Hasilnya, kuota mahasiswa PTN mengalami peningkatan. Bahkan PTN di Sumsel dapat menampung sekitar 5-9 ribu mahasiswa baru setiap tahunnya. Hal ini juga menjadi penyebab penurunan yang ada baik ditingkat provinsi maupun nasional.
"Sebenarnya itu, kita di APTISI ini memperjuangkan kalau bisa tidak ada lagi jalur mandiri ini ke pemerintah pusat. Supaya memberi kesempatan kepada PTS bisa menampung mahasiswa," jelas dia.
3. Perlu dukungan kebijakan pemerintah agar PTS tidak kolaps

Dengan masifnya penerimaan mahasiswa PTN di Sumsel, perlu upaya dari pemerintah untuk mengatur ulang regulasi soal penerimaan mahasiswa baru. Baik PTN maupun PTS tidak bisa memaksakan penerimaan sebanyak-banyaknya, karena ada keterbatasan daya tampung sesuai rasio antara dosen dan mahasiswa yang harus seimbang.
"Harapan kami, PTN sebaiknya lebih fokus mengembangkan program pendidikan S2 dan S3, sementara jenjang S1 bisa lebih banyak diserap oleh PTS," ujar dia.
Menurutnya, fungsi utama perguruan tinggi mencakup tridarma: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Namun, jika PTN masih terjebak pada target penerimaan mahasiswa secara masif, dikhawatirkan peran PTN untuk mengejar predikat World Class University (Universitas Kelas Dunia) dan memperkuat basis penelitian akan terhambat.
"Padahal, negara saat ini membutuhkan hasil hilirisasi penelitian perguruan tinggi. Karena itu, perlu ada political will (dukungan kebijakan) pemerintah untuk menata sistem pendidikan tinggi agar PTS tidak kolaps," tegas dia.
Ia menambahkan, kontribusi PTS terhadap angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi cukup signifikan. Tanpa keberadaan PTS, pemerintah dinilai tidak akan mampu menyiapkan daya tampung yang mencukupi bagi seluruh calon mahasiswa.
"Peran PTS sangat penting. Jangan sampai keberadaannya diabaikan," jelas dia.
4. Pemerataan beasiswa dapat bantu PTS

Selain permasalahan yang ada, APTISI juga mendesak pemerintah dapat memberikan porsi lebih besar terhadap pemberian beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) kepada mahasiswa di PTS. Hal ini dinilai penting untuk menjaga keberlangsungan kampus swasta yang kini terancam eksistensinya.
"PTS harus tetap eksis. Mereka terancam, makanya kita butuh pemerintah turun tangan. Salah satunya dengan memperbanyak beasiswa KIP untuk mahasiswa swasta, terutama bagi masyarakat yang kurang mampu namun memiliki potensi," jelas dia.
Saat ini, KIP Kuliah terdiri dari jalur reguler yang dikelola Direktorat Pendidikan Tinggi serta KIP aspirasi melalui anggota legislatif. Namun, APTISI menilai alokasi KIP cenderung menurun sehingga kuota yang diterima PTS semakin kecil.
"Benang merahnya, jangan sampai PTS tutup. Semua PTS di Sumsel mengeluh jumlah mahasiswa baru menurun," jelas dia.
Selain faktor keterbatasan biaya, makin banyaknya perguruan tinggi ikatan dinas juga menjadi daya tarik baru bagi calon mahasiswa. Hal ini membuat sebagian anggaran pendidikan teralokasi ke sana, yang seharusnya bisa membantu PTS.
"Banyak yang ingin kuliah, tapi kami di swasta hanya bisa menerima sesuai alokasi. Kalau mau digratiskan (beasiswa kampus) semua berat, apalagi masih harus membayar gaji dosen," beber dia.
5. Esensi PTS dan PTN tetap sama

Beberapa inovasi telah dilakukan PTS berkolaborasi dengan PTN dalam beberapa tahun terakhir terutama dalam pelaksanaan ujian mandiri. Melalui kerja sama itu, calon mahasiswa yang tidak lolos seleksi Unsri dapat diarahkan untuk melanjutkan kuliah di PTS. Skema tersebut dinilai sebagai inovasi yang efektif mengatasi penurunan jumlah mahasiswa, sekaligus membuka peluang kolaborasi dengan berbagai lembaga lain.
"Sama seperti menjaring ikan, kalau bersaing dengan PTN habislah kita," jelas dia.
Menurutnya, kuliah di PTN maupun PTS tidak berbeda. Keduanya sama-sama menjalani proses akreditasi, mulai dari unggul hingga baik sekali. Perbedaannya hanya terletak pada pengelolaan, di mana PTN dikelola negara sedangkan PTS dikelola masyarakat.
"Namun, keduanya tetap menjadi tempat menimba ilmu yang setara," jelas dia.