Jelang Pemberlakuan KUHP Baru Sumsel Siapkan Perda Kerja Sosial

- Pemerintah Sumatra Selatan bersama wali kota dan bupati menandatangani Perda penerapan pidana kerja sosial sebagai alternatif hukum penjara menjelang berlakunya KUHP baru di tahun 2026.
- Sistem hukum baru dinilai perlu dilakukan guna mengakomodasi kebutuhan masyarakat serta menekan lonjakan anggaran negara dari kasus hukum yang seharusnya bisa diselesaikan lewat jalur non pidana.
- Anggaran untuk biaya makan narapidana mencapai Rp3 triliun per tahun, sehingga opsi pidana alternatif seperti pembiayaan rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan harus diperkuat.
Palembang, IDN Times - Pemerintah Sumatra Selatan bersama wali kota dan bupati se-Sumsel menandatangani Peraturan Daerah (Perda) penerapan pidana kerja sosial sebagai alternatif hukum penjara. Kesepakatan ini ditandatangani lewat nota kesepemahaman dengan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumsel menjelang berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru di tahun 2026 mendatang.
Transportasi sistem hukum tersebut dinilai perlu dilakukan guna mengakomodasi sistem hukum baru sekaligus menekan lonjakan anggaran negara dari kasus hukum yang seharusnya bisa diselesaikan lewat jalur non pidana.
"Sumsel sangat heterogen dan aturan baru harus bisa diterima semua kalangan. Karena itu kita perlu menyiapkan perda yang mampu menyatukan ragam kebutuhan masyarakat," ungkap Herman Deru, Jumat (5/12/2025).
1. Anggaran Lapas dapat ditekan dengan kerja sosial

Deru mengungkapkan, pembiayaan rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan menelan anggaran yang tidak sedikit. Untuk itu sistem hukum lama dinilai sudah tidak ideal. Dalam penelitian yang dilakukan tahun 2018 silam, anggaran untuk biaya makan narapidana dapat mencapai Rp2 triliun per tahun. Saat ini bahkan mencapai Rp3 triliun.
"Jika kita bisa alihkan anggaran itu untuk pembangunan maka manfaatnya jauh lebih besar. Karena itu opsi pidana alternatif harus diperkuat," jelas dia.
2. Skema restorative justice bisa di perluas

Dirinya mengatakan, selama ini penyelesaian hukum lewat skema Restorative Justice banyak dilakukan untuk kasus pelanggaran lalu lintas. Padahal, banyak kasus hukum yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mekanisme yang sama karena masuk dalam ranah tindak pidana ringan (Tipiring).
"Terpidana sosial harus memiliki bekal. Mereka bisa dilatih membuat produk kreatif, parfum, kerajinan, atau keterampilan lain. Hukuman bukan sekedar menghukum tapi memperbaiki," jelas dia.
3. Perkara kecil tidak perlu dibawa ke pengadilan

Senada, Kepala Kejati Sumsel, Ketut Sumedana mengatakan, bahwa hukum kini bergerak ke arah efisiensi dan efektivitas, bukan sekedar menimbang lamannya pidana.
"Biaya proses hukum sangat besar, mulai dari penyidikan, penuntutan, persidangan hingga ke pemasyarakatan. Untuk perkara kecil, membawanya ke pengadilan sudah tidak lagi relevan," jelas dia.
















