“Jenazah dari lokasi mana itu, Pak?”
Dari Longsor ke Ruang Jenazah, Kerja Kemanusiaan Polri Mengurai Duka

- Puluhan jenazah korban longsor dan banjir bandang di Sumbar diidentifikasi di RS Bhayangkara, Kota Padang.
- Polri melakukan pencarian korban longsor di Jembatan Kembar, Kota Padang Panjang dengan menemukan tujuh jenazah.
- Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polda Sumbar berhasil mengidentifikasi 221 jenazah dari total 245 jenazah yang ditemukan.
Padang, IDN Times - Puluhan ambulans hilir mudik di Rumah Sakit (RS) Bhayangkara, Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Barat (Sumbar), di Kota Padang, Kamis (27/11/2025) malam. Suara sirine memecah malam yang muram, mengiringi hujan lebat yang tidak berhenti seharian.
Setiap ambulans datang, kantong jenazah berwarna kuning dikeluarkan dengan ranjang dorong. Puluhan warga yang berada di ruang tunggu Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Bhayangkara serentak berdiri. Wajah mereka cemas. Pertanyaan mereka sama
Namun, pertanyaan itu tidak langsung terjawab. Singkat jawaban petugas
“Sabar ya,”
Lantas, kantong jenazah dibawa ke ruang mayat di sudut belakang RS Bhayangkara untuk keperluan identifikasi.
Dari puluhan warga yang berkerumun di IGD RS Bhayangkara, ada dua sosok perempuan yang duduk di bagian sudut kursi tunggu. Wulan Sundari (26) bersama ibundanya, Afridayeni (48) yang datang dari Surian, Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Solok.
Wajah mereka terlihat cemas. Wulan dan ibunya datang untuk memastikan keberadaan adiknya, Rahayu Putri Anjani (21) yang dikabarkan menjadi korban longsor di Jembatan Kembar, Kota Padang Panjang.
“Adik saya kuliah di Kota Padang. Tapi hari itu dia ke Bukittinggi bersama temannya yang bernama Selvi Marta (20). Mereka pergi naik mobil Selvi. Saya tahu dari unggahan di media sosialnya. Lalu pada hari Rabu 26 November 2025 saya hubungi dia untuk segera pulang ke Padang. Sebab saat ia pergi tidak minta izin, baik kepada saya satupun kepada mama," kata Wulan pada IDN Times.
Wulan mengatakan, sebelum pulang, Rahayu sempat meminta kiriman uang untuk belanja di Bukittinggi. Permintaan itu pun dipenuhi dengan janji pulang Kamis pagi.
Hujan lebat di penghujung November terjadi merata di Sumbar. Kabar bencana melanda sejumlah kabupaten/kota. Banjir bandang menyapu bantaran Sungai Lubuk Minturun, Kota Padang saat adzan Subuh usai berkumandang, 10 orang meninggal terseret air bah.
Sementara dari Kota Padang Panjang, banjir bandang menerjang jembatan kembar, puluhan korbannya. Belum lagi di Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, ada ratusan warga terseret derasnya banjir bandang.
Informasi itu silih berganti berseliweran di beranda media sosial. Kabar itu membuat Wulan semakin was-was. Ia mencoba kembali menghubungi adiknya untuk memastikan kondisinya.
“Saya telepon tidak nyambung. Saya masih berpikiran mungkin Rahayu sedang di jalan tidak dapat sinyal,” tuturnya dengan suara berat.
Namun, pikiran itu sontak berubah menjadi rasa cemas dan takut. Sebab, keluarga Selvi Marta mengabarkan, Selvi yang pergi bersama Rahayu ditemukan meninggal dunia terseret banjir bandang di Jembatan Kembar, Kota Padang Panjang. Jenazahnya telah dievakuasi ke RS Bhayangkara di Kota Padang.
“Saya tidak bisa bicara apa-apa saat itu. Kaki saya lemas. Ibu saya yang mendengar kabar itu langsung menangis sejadi-jadinya. Kami pun memutuskan pergi ke sini (RS Bhayangkara),” ucapnya.
Menempuh jarak sekitar 94 kilometer atau tiga jam perjalanan dari Solok menuju Kota Padang, perjalanan yang dilalui Wulan ternyata tak mudah. Sebab malam itu hujan lebat, sejumlah titik longsor di wilayah Air Dingin memperlambat waktu tempuh. Akhirnya setelah 4 jam lebih, Wulan sampai di RS Bhayangkara, Kota Padang, sekitar pukul 23.15 WIB. Langkah kakinya cepat, bergegas ke meja petugas Disaster Victim Identification (DVI) di depan IGD.
“Kami tanya ke petugas. Belum ada nama adik saya di sini,” ujarnya lirih.
Lantas Afridayeni, ibu Rahayu menyela.
“Kami tentu berharap anak kami selamat. Kalau pun tidak ada lagi, kami ikhlas. Pak petugas, tolong temukan badannya. Biar kami bawa pulang ke kampung,” ucapnya sembari berlinang air mata.
Ruang tunggu IGD RS Bhayangkara dini hari itu ramai dipenuhi masyarakat. Tapi suasananya hening, nyaris tanpa suara. Mata yang sendu saling bertatap, tapi mulut berat untuk bersuara. Mereka punya duka yang sama yang tidak mudah diungkapkan. Hanya wajah cemas dan sedih menunggu kabar dari petugas.
Bertaruh Nyawa Menyusuri Lumpur untuk Kemanusiaan

Hujan belum sepenuhnya berhenti. Material batu-batu besar, kayu dan tanah masih menimbun badan jalan di Jembatan Kembar, Kota Padang Panjang, Kamis (27/12/2025) sore. Tinggi material longsor mencapai enam meter. Gapura yang ada di ujung jembatan nyaris terbenam. Begitu pula permukiman warga di sekitarnya. Sejumlah kendaraan yang tersapu longsor terseret hingga aliran Sungai Batang Anai.
Sore itu, Iptu Rudi Chandra, Kepala Satuan Lalu Lintas Polres Padang Pariaman, mendapat kabar dari percakapan petugas di radio komunikasi miliknya, ada tujuh mayat ditemukan di tepi aliran sungai Batang Anai di sekitar Kayu Tanam. Tanpa pikir panjang, ia bersama tiga rekannya bergegas ke lokasi menggunakan mobil lalu lintas.
“Ada yang melapor penemuan mayat tak dikenal. Kami segera evakuasi untuk dibawa ke RS Bhayangkara, Kota Padang menggunakan ambulans untuk keperluan identifikasi. Dugaan kami, mayat ini korban longsor di Jembatan Kembar, Kota Padang Panjang karena sungai ini masih satu aliran,” ucapnya.
Ternyata benar perkiraan itu. Berdasarkan hasil identifikasi di RS Bhayangkara, satu dari tujuh jenazah itu adalah Selvi Marta, korban yang dilaporkan hilang saat longsor di Jembatan Kembar, Kota Padang Panjang. Mendapat kepastian itu, keesokan harinya Rudi memutuskan kembali ke lokasi dengan penambahan personel mencapai 26 orang. Penyisiran sungai dilakukan karena besar kemungkinan ada korban lain.
Pakaian dinas lapangan (PDL), seragam cokelat yang dilapisi rompi lantas dengan sepatu boot oranye lekat di tubuh Rudi dan puluhan personel lainnya. Hal itu tidak mengurangi kelincahan untuk bergerak di tengah aliran sungai berlumpur yang masih cukup deras.
“Kami mencari korban itu di sekitar aliran sungai. Karena menurut pengalaman bencana banjir lahar dingin Marapi tahun 2024 lalu memang banyak korban yang hanyut ke daerah Kayu Tanam ini,” tukasnya.
Benar saja, satu per satu jenazah ditemukan. Lantas dimasukkan dalam kantong jenazah yang telah dibawa. Untuk mengangkat jenazah dari sungai menuju lokasi ambulans, dibuat tandu darurat dari batang kayu. Satu jenazah diangkat enam personel.
“Satu hari ini ada tujuh jenazah lagi yang berhasil kami evakuasi,” ucapnya.
Langit mulai gelap, penerangan minim, hujan kembali turun. Puluhan personel Polres Padang Pariaman dengan pakaian penuh lumpur mentas dari sungai seiring azan Maghrib. Mereka tidak pulang ke rumah, melainkan bermalam di kantor. Tenaga mereka masih akan dipakai esok hari.
Memanfaatkan waktu istirahat malamnya, Rudi menghubungi istrinya di Kota Padang, izin untuk tidak pulang akhir pekan ini.
“Saya telepon, tentu istri khawatir. Tapi ia paham juga dengan kondisi ini, tugas kemanusiaan. Kalau anak-anak yang memang sedikit rewel, wajarlah kesempatan bertemu dengan saya hanya di akhir pekan. Untungnya setelah dibujuk mereka bisa mengerti,” ucap ayah dari tiga anak ini.
Pencarian berlanjut. Bukan pistol, tapi sekop dan cangkul jadi senjata mereka. Selama empat hari Rudi dan puluhan personel Polri lainnya keluar masuk aliran Sungai Batang Anai melakukan tugas kemanusiaan.
“Lelah sudah barang tentu, tapi kami ikhlas. Capek kami ini tidak sebanding dengan luka yang diderita keluarga korban. Mereka kehilangan anak, istri, suami dan kerabat mereka. Apalagi terhadap korban yang belum ditemukan,” tuturnya.
Di tengah pencarian, seringkali hujan tiba-tiba turun. Dalam situasi tersebut, kata Rudi, butuh kesigapan dari personel yang melakukan pencarian untuk cepat pula menyelamatkan diri. Sebab, banjir dan longsor masih berpeluang terjadi.
Pada lokasi longsor di Jembatan Kembar, Kota Padang Panjang tercatat 42 orang ditemukan meninggal dunia. Sebagian korban ditemukan di wilayah Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman. Sementara 27 orang tercatat masih hilang.
Mengurai Identitas di Tengah Duka

Ruang identifikasi jenazah menjadi tempat paling sibuk di RS Bhayangkara, Kota Padang. Dalam satu hari, belasan jenazah masuk untuk diidentifikasi. Bahkan, rumah sakit sempat tak mampu menampung semua jenazah yang datang.
Kepala Subbidang Kedokteran Polisi Polda Sumbar, dr. Eka Purnama Sari mengatakan, bencana kali ini skalanya besar dengan jumlah korban cukup banyak. Korban tersebar di beberapa kabupaten/kota. Oleh karena itu, tim Disaster Victim Identification (DVI) membagi tugas dalam beberapa kelompok sejak hari pertama bencana pada 27 November 2025.
“Jenazah pertama yang kami identifikasi yakni korban banjir bandang Lubuk Minturun, Kecamatan Koto Tangah. Jenazah dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Padang, kami bersama tim langsung ke sana untuk identifikasi,” ujarnya.
Ternyata jumlah korban bencana di Kota Padang terus bertambah. Ada 10 korban hilang, delapan ditemukan meninggal dunia, sedangkan dua lainnya masih hilang.
“Setelah ditemukan, jenazah langsung dibawa ke rumah sakit. Identifikasi bisa kami lakukan cepat karena secara fisik, wajah korban masih bisa dikenali,” tuturnya.
Identifikasi korban banjir di Padang tuntas, Eka mengira bisa beristirahat barang sebentar. Tapi ternyata, nada dering telepon genggam berbunyi. Panggilan agar tim kembali karena beberapa korban longsor yang ditemukan di Jembatan Kembar, Kota Padang Panjang telah sampai ke RS Bhayangkara.
“Kami dan teman-teman bergegas naik ambulans kembali ke RS Bhayangkara. Prinsip kami, setiap jenazah harus segera teridentifikasi. Keluarga mereka berhak mengetahui anggota keluarganya yang telah meninggal dunia," ucapnya.
Satu per satu kantong kuning masuk ke ruang jenazah di RS Bhayangkara. Saking banyaknya, terjadi antrean identifikasi.
“Dua pekan pascabencana, kami tidak berhenti mengidentifikasi. Istirahat kami hanya menjelang Subuh. Lalu paginya harus kembali kerja lagi. Kami harus cepat, tidak tega melihat keluarga yang sudah menunggu. Bahkan ada yang berhari-hari duduk di ruang tunggu,” bebernya.
Eka mengungkapkan, kecepatan identifikasi jenazah bukan perkara mudah. Jika kondisi jenazah dalam kondisi utuh dan baik, hanya perlu 15 menit untuk mengenalinya. Berbeda jika jenazah sudah mengalami kerusakan, yang membutuhkan waktu lebih lama.
"Mungkin ada korban yang terkena benturan batu atau kayu saat terseret bah. Tanda primer dan sekundernya rusak atau tidak utuh lagi. Proses identifikasinya akan lebih panjang menggunakan pencocokan data antemortem dan postmortem secara detail. Jika tidak ada kecocokan, dilakukan pengambilan sampel DNA,” ucapnya.
Meski mengidentifikasi tubuh yang tidak lagi bernyawa, Eka mengaku tetap meminta izin pada jenazah bersangkutan. Bahkan terhadap potongan tubuh sekali pun, tidak boleh sembarangan.
“Saya meyakini, roh dari jenazah itu masih ada. Mereka tetap harus diperlakukan dengan baik, walaupun hanya bagian kaki atau tangan saja. Sebagai seorang muslim, saya pasti ucapkan salam sebelum mengidentifikasi," kata perempuan yang sudah berkecimpung dalam dunia forensik sejak tahun 2004 ini.
Terhadap jenazah yang telah teridentifikasi, tim akan memanggil pihak keluarga menuju ruang jenazah untuk memastikan. Setelah itu dilakukan pemulasaran agar jenazah bisa segera dimakamkan.
Hari itu, Jumat (28/11/2025), azan Maghrib baru saja berlalu. Ruang tunggu di RS Bhayangkara kembali ramai. Keluarga korban yang sempat meninggalkan ruang tunggu untuk salat, kembali berkumpul. Suara panggilan dari petugas DVI menjadi kabar yang ditunggu, termasuk bagi keluarga Afridayeni yang menunggu kepastian keberadaan jenazah putrinya yang dikabarkan menjadi korban longsor di Jembatan Kembar Kota Padang Panjang.
Seorang laki-laki memakai alat pelindung diri berwarna hijau berjalan cepat dari ruang jenazah menuju ruang tunggu IGD RS Bhayangkara. Masker masih menutup sebagian wajahnya. Secarik kertas di tangan sebelah kanan yang masih terbungkus sarung tangan latex. “Ibu Afridayeni,” ucapnya singkat.
Afridayeni lantas berdiri dari kursi yang telah ia duduki lebih kurang 18 jam. Ia membuntut di belakang petugas menuju kamar mayat ditemani Wulan putri sulungnya. Tak lama berselang, suara tangis pecah. Suara Afridayeni menyebut nama putrinya terdengar hingga ruang tunggu. “Ayu anakku,” teriaknya sembari memeluk Wulan. Petugas pun mempersilakan mereka kembali ke ruang tunggu. Jenazah Rahayu segera dimandikan.
Selang 30 menit, petugas kembali keluar. Jenazah Rahayu yang telah menjalani pemulasaran diangkut masuk ambulans. Surat keterangan kematian diserahkan tim DVI pada Afridayeni dan Wulan. “Kami jalan ke Surian dulu ya dik. Keluarga sudah menunggu untuk pemakaman,” ucapnya singkat pada IDN Times sembari ikut masuk dalam ambulans. Kepulangan mereka menandai keberhasilan kerja tim DVI untuk memastikan identitas setiap korban bencana.
Kendati demikian, tugas urung tuntas. Sebab, satu bulan pascabencana, masih terdapat korban yang ditemukan dari lokasi pencarian. Tercatat, tim DVI Polda Sumbar telah menerima 245 jenazah. Dari jumlah itu, 221 teridentifikasi, 24 lainnya belum teridentifikasi. Pada Rabu (10/12/2025) siang, jenazah yang belum teridentifikasi dimakamkan secara massal di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Bungus Teluk Kabung, Kota Padang. Sebelum dimakamkan, jenazah disalatkan terlebih dahulu di Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.


















