TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Manfaatkan Purun, Cara Warga Pedamaran Cegah Karhutla di Lahan Gambut

Purun dibuat menjadi produk Eco Fashion bernilai ekspor 

Masyarakat Desa Geranggang memanfaatkan purun untuk kesenian bernilai ekonomis (IDN Times/Rangga Erfizal)

Ogan Komering Ilir, IDN Times - Kesenian purun satu di antara sekian identitas masyarakat di Desa Pulau Geronggang, Kecamatan Pedamaran Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan.

Bambang Siswo Sujanto, seorang pengrajin memanfaatkan tanaman yang tumbuh liar di kawasan gambut bernama Purun. Sejak enam tahun silam, pasca kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hebat pada 2015 di Sumatra Selatan (Sumsel), dirinya mulai sadar tentang arti pentingnya menjaga ekosistem gambut.

"Selama ini purun tidak dimaksimalkan oleh masyarakat, hanya sebatas untuk tikar saja. Tapi setelah mulai ada bimbingan untuk memaksimalkan purun, saya sadar bahwa ini bisa menjadi nilai jual baru dengan tidak merusak gambut," ungkap Bambang, Senin (7/6/2021).

Baca Juga: Kenalkan Purun, Rumput Gambut yang Bisa Disulap Menjadi Produk Ekspor

1. Masyarakat mulai merasakan dampak ekonomis dari penjualan purun

Tikar dari tanaman gambut purun (IDN Times/Rangga Erfizal)

Bambang bercerita, seiring waktu setelah mendapat pelatihan untuk memaksimalkan purun, ia mengubah rumput gambut itu menjadi berbagai macam kesenian lain di luar tikar. Ia berkreasi membuat tas, kotak tisu, cermin, masker, dan kotak pensil.

Setelah Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) datang memberi  pendampingan kepada penduduk desa setempat, mereka mulai menjadikan kerajinan purun sebagai pekerjaan tetap. Mereka membentuk kelompok beranggota 25 orang desa, hingga mulai merasakan dampak ekonomis dari mengolah purun.

"Keuntungan bisa mencapai Rp500.000 hingga Rp700.000 per bulannya. Ini jauh meningkat dibanding hanya menjual tikar yang dihargai Rp7.000 hingga Rp10.000," jelas dia.

2. Semakin halus purun semakin mahal

Pengrajin purun, Bambang Siswo Sujanto (IDN Times/Rangga Erfizal)

Menurut Bambang, mereka juga memproduksi purun dengan kualitas premium. Purun yang bagus dilihat dari permukaannya yang halus. Dari purun yang halus itu, maka kerajinan yang diciptakan akan semakin rapi.

"Untuk purun berkualitas bagus, yang sangat halus, butuh waktu lama untuk memprosesnya. Purun kualitas premium berukuran 1x1,5 meter bisa dihargai Rp100.000," beber dia.

Proses menjadikan purun sebagai kerajinan berbagai bentuk memerlukan waktu dua hingga empat hari. Hal tersebut tergantung waktu penjemuran purun. Jika saat musim kemarau, purun bisa sangat mudah diproses. Sedangkan saat musim hujan bisa mencapai empat hari.

Purun basah yang berada di gambut akan diambil terlebih dahulu, bisa dipotong dengan arit atau hanya dicabut. Setelah itu, purun akan dijemur hingga benar-benar kering. Tidak sampai di situ, purun yang kering akan ditumbuk dengan alat tradisional bernama Antan.

"Dalam proses menumbuk harus sangat berhati-hati, kalau salah akan pecah. Setelah itu barulah purun bisa diolah menjadi berbagai kerajinan dengan tangan," jelas dia.

3. Dukung Eco Fesyen berkelanjutan, desa cadangkan kawasan purun seluas 1 ha

Salah satu kerajinan purun (IDN Times/Rangga Erfizal)

Kepala Desa Pulau Geronggang, Syamsul Bahri mengatakan, pemanfaatan purun sebagai kesenian sudah lama dilakukan nenek moyang mereka, jauh sebelum Indonesia merdeka. Purun dimanfaatkan sebaga produk budaya masyarakat setempat, dari anak-anak hingga orang dewasa pun bisa memanfaatkan purun.

Sejak beberapa tahun terakhir, mereka mulai dikenalkan cara baru memanfaatkan purun dengan desain yang lebih banyak. Hal ini tentu berdampak pada pemasukan masyarakat setempat.

"Sebelumnya masyarakat di sini sehari-hari memanfaatkan karet dan sawit untuk pekerjaan. Namun Eco Fesyen masuk menjadi  program utama ibu-ibu di desa," ujar dia.

Syamsul menjelaskan, Desa Geranggang memiliki luasan lahan purun sebesar 10 hektare (ha). Lahan purun berada di hutan rakyat yang dimiliki desa setempat. Pihaknya berpikir untuk menjaga purun agar dapat menjadi kesenian berkelanjutan, dengan menanam kembali lahan tersebut dengan purun.

"Satu ha lahan memang sengaja kita cadangkan agar purun ini dapat tetap terjaga," ujar dia.

Baca Juga: Go Digital, Cara UMKM Tak Bangkrut dan Gulung Tikar

Berita Terkini Lainnya