TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dul Muluk Teater Rakyat Palembang Bertahan Dalam Laju Zaman

Kesenian Palembang harus masuk kurikulum agar bertahan

Ilustrasi teater rakyat Palembang Dulmuluk (Dok: ensiklopedipalembang.id)

Palembang, IDN Times - Teater Dul Muluk merupakan salah satu seni pertunjukan teaterikal yang menampilkan kearifan lokal masyarakat Palembang, Sumatra Selatan (Sumsel). Menggunakan pecampuran bahasa Palembang dan Indonesia, lakon Dul Muluk sering memancing gelak tawa penonton.

Namun masa kejayaan Dul Muluk sudah berlalu beberapa dekade lalu. Sejak era 80-an, teater rakyat Palembang ini mulai mati suri karena ditinggalkan penggemarnya. Para seniman sadar, mereka tak bisa melawan perubahan zaman.

"Jika dikatakan pernah mencapai masa kejayaan di era 60-70-an akhir memang iya. Tetapi masih eksis sampai sekarang. Hal ini karena perbedaan perkembangan zaman. Pada 60-an, hiburan belum banyak, tapi beranjak era 80 hiburan makin ramai," ungkap Randi Puttra Ramadan (33) dari sanggar Harapan Jaya kepada IDN Times, (26/5/2022).

Baca Juga: Mengenal 7 Kesenian Banyuasin, dari Senjang hingga Sastra Tutur

1. Teater Dul Muluk dengan kompleksitas kesenian

Ilustrasi teater rakyat Palembang Dulmuluk (Dok: ensiklopedipalembang.id)

Teater Dul Muluk lahir dari kitab kejayaan Kerajaan Melayu yang selesai ditulis pada 2 Juli 1845 tentang syair Abdul Muluk. Menurut Randi, awal mulanya teater tersebut dibawa dari Riau dan diadaptasi di Palembang. Dul Muluk pertama kali dipentaskan oleh Wan Bakar di depan rumahnya di kawasan Tangga Takat 16 Ulu, Palembang.

Saat pertama kali diadaptasikan di Palembang dari Kitab Kejayaan Melayu tersebut, Wan Bakar memberi sentuhan teatrikal dalam pembacaan pantun dan syair Melayu.

"Dul Muluk itu dari segi unsur kesenian sangat kompleks. Ada akting, sastra, sajak AAAA atau BBBB, pantun ABAB, kostum busana tersendiri. Lalu setiap penampilan dimulai dan ditutup dengan beremas atau tarian dan nyanyian," jelas dia.

Keunikan teater Dul Muluk terdapat pada penggabungan bahasa Indonesia dan Palembang. Biasanya, setiap kata-kata yang dirangkai menjadi lelucon yang wajib menggunakan bahasa Palembang.

"Kalau zaman dulu (era 60-80), teater Dul Muluk dilaksanakan semalam suntuk. Sekarang tujuannya hanya melucu, biasanya pesanan sekitar 10 menit sampai setengah jam," jelas dia.

2. Teater Dul Muluk menghadapi tantangan zaman

Ilustrasi teater rakyat Palembang Dulmuluk (Dok: ensiklopedipalembang.id)

Pergeseran teater Dul Muluk diakui oleh Randi terjadi karena harus menyesuaikan diri dengan tantangan zaman. Secara lakon tak ada yang berubah, justru berkembang. Cara ini dilakukan agar kreativitas Dul Muluk berkembang dan mendapatkan minat masyarakat kembali.

Cerita Dul Muluk ada dua. Pertama, Dul Muluk versi pantomim dan kedua Dul Muluk bangsawan. Dul Muluk bangsawan inilah yang sekarang berkembang menjadi teater rakyat di Palembang. Ceritanya pun bisa disesuaikan dengan keperluan acara pemilik acara.

"Sebenarnya penyebutan kesenian ini adalah Dul Muluk bangsawan. Namun masyarakat belum ngeh perbedaannya, jadi tetap menyebut dengan Dul Muluk saja. Ceritanya bisa bye order. Misalnya penyuluhan tapi ingin disampaikan lewat teater Dulmuluk. Biasanya juga sebagai penyampai kritik sosial," beber dia.

Baca Juga: Kisah Wayang Kulit Palembang, Manggung di Cafe Setelah Nyaris Punah 

3. Masyarakat Palembang kehilangan sentuhan karakter

Ilustrasi teater rakyat Palembang Dulmuluk (Dok: istimewa)

Randi awalnya tak terlalu berminat pada kesenian Palembang tersebut. Kakeknya pertama kali menggeluti teater ini dan dilanjutkan oleh sang ayah. Seperti anak muda kebanyakan, Randi awalnya justru bermusik.

"Akhirnya tertarik karena ada tanggung jawab dan kesadaran," jelas dia.

Dirinya meyakini, teater Dul Muluk dapat dicintai oleh masyarakat jika mengetahui seluk beluknya. Menurut Randi, minat generasi muda terhadap Dul Muluk sangat rendah karena tak begitu mengenal dan memiliki rasa bangga.

"Padahal Dul Muluk diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Banyak yang menyayangkan sudah WBTB tapi tak dimanfaatkan, jadi perlu mengenal untuk cinta dengan Dul Muluk," jelas dia.

Randi berharap, teater Dul Muluk dapat tetap eksis ke depan. Namun meyakini jika kesenian Palembang harus diajarkan melalui kurikulum pendidikan.

"Kita bisa kehilangan identitas jika tak ada kurikulum yang mengatur, takutnya kita (Orang Palembang) akan kehilangan sentuhan karakter 5-10 tahun ke depan," jelas dia.

Baca Juga: Sejarah Bidar, Sebuah Tradisi Balapan Perahu di Sungai Musi

Berita Terkini Lainnya