Kisah Wayang Kulit Palembang, Manggung di Cafe Setelah Nyaris Punah 

Wayang kulit Palembang hanya memiliki satu dalang

Palembang, IDN Times -Satu warisan kesenian daerah Palembang yang dilupakan dan nyaris punah adalah seni wayang kulit Palembang. Bisa di tebak, hampir tidak ada lagi Wong Kito yang menjadi generasi penerus untuk melestarikannya. 

Dari beragam cerita, seni wayang kulit masuk Palembang diperkirakan pada tahun 1900an, yang merupakan budaya kulturasi dari kesenian wayang Jawa. Itu karena budaya Palembang dan Jawa memiliki kesamaan tertentu.

Menurut Dalang Wayang Kulit Palembang, Kiagus Wirawan Rusdi, kesenian wayang kulit Palembang ini diperkenalkan oleh kakeknya, seorang dalang sekitar tahun 1950, yang kemudian dilanjutkan ayahnya pada 1980.

"Terakhir saya sejak 2004, karena ini warisan untuk saya sebagai anak paling tua yang mewarisi tongkat kepemimpinan," ujar dia kepada IDN Times

1. Perbedaan wayang kulit Jawa dan wayang kukit Palembang dari segi dialog

Kisah Wayang Kulit Palembang, Manggung di Cafe Setelah Nyaris Punah Pagelaran wayang kulit Palembang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Wirawan menceritakan, kalau dilihat dari sejarah, seni wayang kulit Palembang ini biasanya dimainkan dengan diiringi seperangkat gamelan, dengan lantunan harmoni tanpa sinden atau penyanyi tradisional. Sama seperti pagelaran wayang kulit Jawa, walau ada kemiripan, beda di antara keduanya terletak pada segi dialog.

Namun, jelas dia, untuk cerita karangan seperti lakon karakter Ramayana atau Gatot Kaca tetap sama. Hanya saja, wayang kulit Palembang menggunakan bahasa Palembang sehari-hari.

"Kemudian perbandingan ciri khasnya lewat pakaian, yang warnanya tidak ada di jawa, Palembang dominan warna merah dan hijau. Lalu warna karakter, kalau Jawa kuning keemasan, kalau Palembang kuning tembaga. Kebanyakan memang mirip dan terjadi klasik," sambung dia.

2. Ada ritual khusus penyelenggaraan wayang kulit Palembang yang sudah ditinggalkan

Kisah Wayang Kulit Palembang, Manggung di Cafe Setelah Nyaris Punah Kiagus Wirawan Rusdi pedalang wayang kulit Palembang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Wirawan mengungkapkan, ketika wayang kulit Palembang masih tenar pada dahulu kala, saat akan melakukan penyelenggaraan acara, ada ritual khusus yang dilakukan. Seperti rutinitas membakar kemenyan di malam Jumat Kliwon, dan bakar ayam dengan nasi kunyit.

"Sekarang enggak lagi, setop sampai ayah saya menurunkan (melestarikan wayang kulit Palembang) ke saya. Mungkin dulu pakai ritual karena acara sampai satu hari satu malam suntuk. Sekarang sepi, bahkan pernah kita dua tahun tidak pernah sama sekali manggung, paling-paling tampil hanya durasi setengah jam," ungkap dia.

Selama menjadi pedalang, Wirawan melanjutkan, hal yang perlu dipelajari lebih mendalam adalah harus memahami setiap karakter wayang, dengan melafalkan dan melisankan suara berbeda-beda dari tiap karakter.

"Misal cerita penculikan Hanoman, bagaimana suaranya, terus suara musuh Hanoman berbeda lagi, karena masing-masing punya keunikan masing-masing," ujar dia.

3. Daya tarik wayang kulit Palembang menurun karena dianggap kesenian kolot

Kisah Wayang Kulit Palembang, Manggung di Cafe Setelah Nyaris Punah Pagelaran kesenian wayang kulit Palembang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Daya tarik kesenian wayang kulit Palembang ini, terang Wirawan, kian tahun makin menurun. Hal ini karena generasi muda yang kurang peduli dan menganggap kesenian tersebut adalah sesuatu hal yang kolot.

Mungkin saja, sambungnya, karena anak muda di Palembang sudah terkontaminasi dengan modernisasi, sehingga sejarah asli budaya asli mulai pudar.

"Salah satu pelestariannya selain dengan promosi adalah dengan membentuk sanggar. Kami sudah berupaya mengajak anak muda belajar, tapi hasilnya nihil. Mungkin masuk cafe adalah perkenalan yang tepat, seperti ini kali pertama wayang Kulit Palembang masuk tempat nongkrong di Gunz Cafe," terang dia.

Kemungkinan lain, kata Wirawan, wayang kulit Palembang tidak diminati anak muda karena tidak bisa menjamin masa depan.

"Ya realistis saja, kalau hanya menggantungkan hidup sebagai pedalang tidak bisa, belum kalau nanti berumah tangga. Selain mendalang, saya memiliki usaha dagang. Tapi harapannya semoga masih ada yang melestarikannya dengan serius. Sebab menunggu bantuan belum tentu ada peluang," kata dia.

Baca Juga: Pemkot Tantang DKP Pertahankan dan Kembangkan Identitas Kota Palembang

4. DKP pertahankan wayang kulit Palembang dengan menggelar kegiatan rutin

Kisah Wayang Kulit Palembang, Manggung di Cafe Setelah Nyaris Punah Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP) Mgs Iqbal Rudianto (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Sementara, Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP), Mgs Iqbal Rudianto mengatakan, sebagai pihak yang bertanggung jawab melestarikan budaya-budaya asli Palembang, pihaknya  punya komitmen untuk mempertahankan kesenian cerita wayang kulit Palembang dengan cara menggelar kegiatan dengan rutin.

"Paling utama, dengan tetap menjaga dan memiralkan sesuai zaman. Misal wayang kulit Palembang yang selama ini ada di acara formal, kita transisi ke acara anak muda, masuk ke tempat nongkrong seperti cafe. Saya juga kaget ternyata pagelaran di tempat anak muda baru kali pertama dilakukan," kata dia.

Pria yang akrab disapa Didit ini menambahkan, rencana terbaik lainnya dengan menggagas ide baru membawa tradisi dan sejarah menjadi ikonis di tempat makan ataupun tempat ngumpul remaja dan anak-anak millenials.

"Kita rutinkan dalam sebulan ada gelaran budaya, bukan wayang kulit Palembang saja, yang lain pun akan kita tayangkan, misal budaya nenggung mato, saropal anom hingga bidar musik dan lainnya," tandas dia.

 

Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App. Unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb

Topik:

  • Sidratul Muntaha

Berita Terkini Lainnya