Sejarah Bidar, Sebuah Tradisi Balapan Perahu di Sungai Musi

Perahu Bidar ternyata kepanjangan dari Biduk Lancar, lho!

Palembang, IDN Times - Bidar atau Biduk Lancar merupakan perahu yang dipergunakan sebagai transportasi air untuk mengontrol, atau patroli daerah di perairan Sungai Musi zaman kerajaan Sriwijaya. Menurut catatan sejarah, bidar telah ada di zaman Pemerintahan Belanda Ratu Wilhelmina.

Pengamat budaya dan sejarah dari Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP), Vebri Al Lintani menceritakan, bidar dulunya masih berbentuk perahu kecil.

"Awalnya, banyak askar (tentara) kerajaan yang menggunakan perahu karena Sriwijaya merupakan kerajaan maritim. Saat itu namanya masih Perahu Pencalang untuk patroli menjaga daerah perairan," katanya.

1. Perkembangan bidar dari pencalang hingga menjadi kegiatan rutin

Sejarah Bidar, Sebuah Tradisi Balapan Perahu di Sungai MusiPerlombaan bidar di Sungai Musi Palembang (IDN Times/Rangga Erfizal)

Seiring zaman, perahu pencalang yang dulunya hanya bisa dikendarai oleh satu orang, perlahan dibentuk sebesar bidar.

"Bidar memang khas Palembang, tradisi perlombaan bidar yang sering dilaksanakan di hari besar seperti peringatan HUT RI pada 17 Agutus. Menurut sejarah, lomba dilakukan untuk mengingat legenda rakyat dan melestarikannya," kata Vebri.

Awal perlombaan bidar, lanjutnya, berasal dari cerita Palembang di zaman dulu tentang legenda Putri Dayang Merindu. Putri Dayang Merindu adalah seorang putri cantik jelita yang diperebutkan oleh dua orang pria.

"Menurut kisah, kedua pria tersebut mencintai Putri Dayang Merindu hingga akhirnya mereka menjadikan bidar sebagai perlombaan untuk memenangkan hati sang putri, perlombaan bidar ditonton seluruh masyarakat di Sungai Musi," tambah Vebri.

Hingga pada akhirnya dalam perlombaan bidar itu tidak ada yang menang, karena dua pria tersebut ditemukan tak bernyawa di bawah bidar yang terbalik.

"Kedua pemuda itu sama kuat dan sama cepat. Keduanya menggunakan tenaga dalam masing-masing untuk mencapai garis finish pada waktu bersamaan. Penduduk Sungai Musi melihat kedua pemuda tertelungkup di perahu masing-masing, karena sudah tidak bernyawa lagi," jelasnya.

Baca Juga: Mengenal Perahu Bidar, Tradisi Perayaan di Hari Ulang Tahun Palembang

2. Memercayai kekuatan dari ritual Raden Tokak untuk memenangkan lomba bidar

Sejarah Bidar, Sebuah Tradisi Balapan Perahu di Sungai MusiIDN Times/Feny Maulia Agustin

Vebri menuturkan, dua pria yang memperebutkan Putri Dayang Merindu sama-sama tak bernyawa. Putri Dayang Merindu memilih bunuh diri dengan pisau beracun ditusukkan ke dadanya.

"Sebelum Putri Dayang Merindu bunuh diri, dirinya meminta setelah ia mati agar tubuhnya dibela dua untuk dikuburkan bersama dua orang yang mencintainya," terang Vebri.

Seluruh penduduk sangat menghormati dan menyanjung Putri Dayang Merindu karena berani berlaku adil terhadap pemuda yang mencintainya. Sejak saat itu, apabila penduduk mengadakan acara untuk memperingati Dayang Merindu yang jadi idola seluruh penduduk, mereka mengadakan lomba bidar.

Setelah legenda Putri Dayang Merindu merakyat, lomba bidar rutin diselenggarakan dan menimbulkan kisah baru yakni tentang Raden Tokak. "Masyarakat percaya di zaman dulu untuk memenangkan lomba bidar, mereka melakukan ritual dengan Raden Tokak yang dipercaya sebagai sosok gaib," ujar Vebri.

Berdasarkan cerita turun-temurun, para peserta lomba bidar biasanya melakukan semacam ritual di tempat Prasasti Kedukan Bukit, Karang Anyar, Palembang. Masyarakat kala itu memercayai sosok gaib yang dikenal dengan nama Raden Tokak, sosok siluman buaya.

3. Tradisi bidar nyaris menghilang jika tidak dilestarikan

Sejarah Bidar, Sebuah Tradisi Balapan Perahu di Sungai MusiLomba bidar di Sungai Musi Palembang (IDN Times/Feny Maulia)

Vebri mengatakan, lomba bidar diprediksi akan menghilang apabila tidak dilestarikan secara serius. "Permasalahan Bidar sekarang sudah tidak memiliki daya tarik. Dibandingkan tahun 80-an dan 90-an secara kualitas dan kuantitas, bidar sekarang bukan lagi menjadi milik rakyat tapi banyak perusahaan. Mungkin karena pemerintah kekurangan dana untuk merawat dan memiliki bidar," jelasnya.

Untuk memiliki bidar, dibutuhkan dana yang besar hingga mencapai ratusan juta. Bidar umumnya sekarang memiliki panjang 29 meter dan lebar 1,5 meter, dengan tinggi 80 sentimeter. Perahu Bidar membutuhkan sekitar 50 orang pendayung.

"Merawat dan membeli bisa Rp100 juta. Jadi wajar kalau banyak perusahaan kemudian membuat brand bidar sendiri, bukan lagi milik rakyat. Padahal lebih baik perusahaan membantu sponsor," katanya.

4. Bidar dan perahu naga berbeda asal

Sejarah Bidar, Sebuah Tradisi Balapan Perahu di Sungai MusiLomba bidar di Sungai Musi Palembang (IDN Times/Feny Maulia)

Membahas perahu bidar, sebagian orang ada yang mengira jika memiliki asal yang sama dengan perahu naga. Namun Vebri menegaskan, keduanya berbeda meski sama-sama sebagai transportasi air.

"Bidar memang milik Palembang, kalau perahu naga itu milik Cina. Walaupun Palembang ikut melombakan perahu naga," katanya.

Baca Juga: Tentang Bidar, Perahu Patroli Kesultanan Palembang di Sungai Musi     

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi

Berita Terkini Lainnya