Tradisi Panen Beluluk Saat Ramadan di Desa Jambi Tulo

Pohon kolang-kaling tak butuh perawatan apalagi pupuk

Jambi, IDN Times - Beberapa perempuan asyik bercanda gurau menyela kesibukan pada hari pertama puasa, Kamis (23/3/2023). Buah pohon Enau yang baru saja diangkat dari wajan terhampar di hadapan mereka.

Buah pohon kaya manfaat itu sedang diolah untuk diambil sari buahnya menjadi kolang-kaling. Aktivitas ini sudah menjadi kebiasaan bagi petani pohon Enau di Desa Jambi Tulo, Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muarojambi. 

Mengolah buah pohon Enau memang cukup rumit. Namun hasilnya lumayan untuk menambah penghasilan selama Ramadan. Apalagi permintaan Beluluk atau kolang-kaling cukup tinggi selama bulan puasa.  Menurut keterangan warga, harga Beluluk bisa mencapai 15 ribu per kilogram.

Baca Juga: Melihat Bubur Syuro di Palembang, Tradisi yang Ada Saat Ramadan

1. Proses mengolah Beluluk

Tradisi Panen Beluluk Saat Ramadan di Desa Jambi TuloProses pembuatan buah beluluk (Kolang-Kaling) dari pohon enau di desa Jambi Tulo, Kabupaten Muaro Jambi. Kamis (23/3/2023). (IDN Times/Dedy Nurdin)

Ada beberapa proses yang harus dilalui dari buah Enau hingga menjadi kolang-kaling. Untuk diolah sebagai panganan, buah Enau yang baru dipanen dipisahkan terlebih dahulu dari tandannya. 

Proses ini harus dilakukan dengan hati-hati karena ada getah yang tersimpan di dahan. Jika terkena kulit bisa menimbulkan rasa gatal. Buah yang dipilih pun harus berwarna hijau agar kolang-kaling yang dihasilkan lembut dan mudah dicerna.

"Dipilih tandan yang masih hijau agak mendekati sawo matang. Kalau sudah kuning atau merah itu buahnya sudah keras," kata Miskiah (55).

Selanjutnya, buah direbus dalam wadah yang berisi air dalam volume besar. Proses perebusannya membutuhkan watu 30 menit sampai lembut di kulitnya, kemudian baru ditiriskan.

Setelah mulai dingin, barulah proses pemisahan kulit dan buah dilakukan. Kulit buah Enau yang lembut dibelah tiga. Kemudian isi yang lembut dan berwarna putih keruh itu dipisahkan dari cangkang.  

Proses pembelahan harus dilakukan dengan hati-hati juga, agar kolang-kaling di dalamnya tidak ikut terbelah. Selanjutnya barulah kolang-kaling dicungkil dari cangkang. Buah Beluluk yang terkumpul sebelum dijual, harus direndam dan dibersihkan agar bisa diterima pengepul. 

Buah Beluluk atau kolang-kaling banyak diburu warga untuk diolah sebagai campuran es buah, atau diolah menjadi makanan ringan.

Baca Juga: Mengenal 8 Adat Banyuasin, dari Arakan Hingga Meso Sembakai

2. Olahan makanan tradisional

Tradisi Panen Beluluk Saat Ramadan di Desa Jambi TuloProses pembuatan buah beluluk (Kolang-Kaling) dari pohon enau di desa Jambi Tulo, Kabupaten Muaro Jambi. Kamis (23/3/2023). (IDN Times/Dedy Nurdin)

Bagi warga Desa Jambi Tulo, buah kolang-kaling biasanya diolah menjadi makanan khas Suwo, asinan dari buah kolang-kaling. Makanan ini hanya bisa dijumpai pada saat lebaran.

Suwo dijadikan camilan ketika kumpul-kumpul di hari Idul Fitri. Namun mengolah kolang-kaling kata Miskiah harus hati-hati. 

"Bagian putih yang di tengah pada biji kolang-kaling itu dibuang karena bikin kembung," ujarnya 

3. Panen hanya sekali setahun

Tradisi Panen Beluluk Saat Ramadan di Desa Jambi TuloProses pembuatan buah beluluk (Kolang-Kaling) dari pohon enau di desa Jambi Tulo, Kabupaten Muaro Jambi. Kamis (23/3/2023). (IDN Times/Dedy Nurdin)

Pohon Enau atau lazim disebut Aren (Arenga Pinnata) tergolong dalam suku arecaceae. Pohon endemik Asia Tenggara ini menjadi tanaman serbaguna setelah kelapa. Berbeda dengan buah kelapa, Enau hanya berbuah satu tahun sekali.

Di Jambi Tulo, pohon Enau biasanya berbuah menjelang Ramadan. Buahnya sangat lebat dan akan muncul pada tandan betina. Satu batang bisa menghasilkan 7 hingga 13 tandan dengan dengan berat mencapai 130 kilogram. 

"Itu kalau normal. Tapi kalau pohonnya sakit paling banyak 5 tandan," kata Rudi Hakiki, seorang petani aren di Desa Jambi Tulo. 

Dalam satu pohon, pemilik kebun Enau bisa menghasilkan 30 kilogram buah Beluluk. Untuk mengolah buah Enau, Rudi biasanya mengupah orang untuk membantu dengan upah Rp1.500 per kilogram Beluluk. 

Ia biasanya dibantu para tetangga. "Hitung-hitung melepas waktu menjelang berbuka," kata Rudi. 

4. Sempat menjadi pohon primadona

Tradisi Panen Beluluk Saat Ramadan di Desa Jambi TuloProses pembuatan buah beluluk (Kolang-Kaling) dari pohon enau di desa Jambi Tulo, Kabupaten Muaro Jambi. Kamis (23/3/2023). (IDN Times/Dedy Nurdin)

Pohon Enau pernah menjadi identitas warga Desa Jambi Tulo. Sekitar tahun 1990-an, hampir semua warga desa memiliki pohon Enau di kebunnya. Namun semakin hari, keberadaan pohon endemik ini terus berkurang. Hanya tersisa sedikit. Rudi merupakan satu dari empat orang petani yang mempertahankan keberadaan pohon Enau. 

"Dulu hampir setiap orang punya pohon di kebun. Karena buahnya kalau lebaran dibuat Suwo, makanan khas. Airnya dibikin gula aren, bisa untuk minuman," kata Rudi. 

Namun banyak pohon Enau yang sudah ditebang, pembukaan lahan baru karena perubahan lingkungan. Di kebunnya, Rudi memiliki 9 batang. Pohon Enau memang lebih lambat menghasilkan uang, sebab biasanya usia 8 tahun pohon baru bisa nenghasilkan buah atau tangkai jantan untuk diambil niranya. 

Namun kata Rudi, pohon ini termasuk menguntungkan karena tidak rewel dan tidak perlu perawatan khusus. Poin lainnya tak perlu dipupuk, "Kalau sudah berbuah, panen nira bisa tiap hari, tanpa perawatan tanpa pupuk," katanya. 

Pohon di kebun Rudi tidak pernah ditanam tapi tumbuh sendiri, bahkan ada beberapa batang pohon yang sudah dipanen secara turun temurun. Dengan usia 30 tahun sampai saat ini masih aktif produksi air nira dan buah beluluk ketika bulan Ramadan. 

"Saya dari buyut sudah bikin gula aren. Semua mengandalkan pohon nira untuk kebutuhan di rumah," kata Rudi. 

Ada yang unik dari pohon enau. Semakin tua usia pohon akan semakin mudah dipanen. Tandan akan tumbuh dari atas turun ke bawah. Berbeda dengan jenis palma lain yang semakin tahun buahnya semakin tinggi. 

Seiring berkurangnya populasi pohon Enau di Desa Jambi Tulo dan pembukaan lahan monokultur, perubahan cuaca juga berdampak pada pohon multiguna itu. Terkadang pohon berbuah tiga tahun dengan kondisi buah trak. Selain itu, air nira yang dihasilkan juga mulai berkurang.

"Paling banyak 2 liter sehari. Itu untuk dibuat gula aren. Kalau buahnya kadang setahun sekali, kadang tiga tahun baru buah," katanya. 

Meski begitu, Rudi mengaku bersyukur karena pohon Enau di kebunnya sudah membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga, bahkan warga yang ada di sekitar. 

"Yang penting pohonnya hidup terus karena itu warisan dari orangtua dulu. Apalagi di sini bisa dihitung jari yang masih punya pohon Enau, jadi harus dijaga," katanya. 

Baca Juga: Ngobeng-Ngidang, Tradisi Kesultanan Darussalam Jadi Budaya Palembang

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi

Berita Terkini Lainnya