Menakar Potensi Palembang Kelola EBT Kelapa Sawit, Seberapa Optimal?

- Perusahaan Gas Negara (PGN) mendukung program NZE lewat Energi Baru Terbarukan (EBT) dari kelapa sawit
- Pengelolaan EBT dengan POME memerlukan biaya produksi mahal, pengangkutan bahan baku dalam jumlah besar menjadi hambatan utama
- Potensi pengelolaan POME cukup besar di Sumsel, namun transisi ke EBT membutuhkan dukungan teknologi yang masih mahal harganya
Palembang, IDN Times - Pemerintah menarget Indonesia mencapai Net Zero Emission (NZE) tahun 2060 dan Perusahaan Gas Negara (PGN) sudah mendukung program NZE lewat pengelolaan bahan baku ramah lingkungan atau Energi Baru Terbarukan (EBT) dari kelapa sawit.
"PGN mulai menjalankan tahap Visibility Study (VS) untuk mengelola gas dari kelapa sawit dan menghasilkan POME (Palm Oil Mill Effluent)," kata Area Head PGN Palembang Braman Setyoko, Minggu (23/3/2025).
1. Pengelolaan POME gandeng mitra dari Jepang

Kondisi Indonesia khususnya Palembang terbebas dari emisi karbon bisa terjadi. Namun jelas Braman, potensi tersebut butuh waktu panjang. Apalagi penerapan EBT dengan pengelolaan POME dari kelapa sawit memerlukan biaya produksi yang mahal.
"Sudah beberapa tahun penjajakan (pengelolaan POME) yang menggandeng mitra dari Jepang untuk kerjasama dalam pengelolaan ke publik, tinggal menunggu eksekusinya," kata dia.
2. Pengemasan bahan baku butuh penampungan untuk pengiriman skala besar

Braman menjelaskan, pengelolaan EBT dengan POME yang menghasilkan gas biometane dari kiriman Perusahaan Kelapa Sawit (PKS), memerlukan mekanisme pengangkutan bahan baku dengan pengemasan partai besar. Kondisi inilah yang jadi hambatan Palembang sulit terbebas emisi.
"Pengangkutan bisa dilakukan dalam jumlah masih sedikit yang dikemas ke dalam tabung di mobil truk, jika skala besar ini biayanya mahal," jelasnya.
Kendala lain menuju NZE melalui program POME kata Braman, yakni jika POME dari berbagai PKS dikumpulkan dahulu, baru dikirim ke perusahaan yang membutuhkan, maka biaya tinggi berasal dari kendaraan untuk penampungan jumlah besar.
"Kalau digabungkan dari berbagai PKS, biayanya mahal. Tapi jumlah (POME) yang bisa dihasilkan masih kecil, di bawah 1 persen, makanya masih tahap VS," jelas dia.
3. Transmisi EBT di Sumsel butuh biaya mahal

Pengelolaan POME yang bisa dikonversikan jadi biogas kata dia, bisa digunakan sebagai alternatif sumber energi, ramah lingkungan dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Bahkan potensi pengelolaan POME cukup besar di Sumsel khusunya untuk Palembang.
Braman menyampaikan, untuk transisi ke EBT di Sumsek memang membutuhkan dukungan dan biaya yang tidak sedikit, terutama harus menggunakan teknologi yang masih mahal harganya.
Belum lagi lanjut dia, polusi paling besar disumbangkan dari bahan bakar batu bara, bahan bakar minyak (BBM) seperti Pertalite dan Pertamax, termasuk polusi gas dari sebagian produk PGN yang masig ada pelepasan emisi karbon.
“Transisi energi bersih PGN target 2060, memang harus mengkonversikan dari energi fosil ke EBT namun butuh biaya mahal," katanya.
4. Sumsel berpeluang mengelola POME untuk transmisi EBT

Diketahui, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel tahun 2019, ada 10 jenis tanaman yang ditanam petani dan kelapa sawit menjadi tanaman terbanyak kedua setelah karet di areal tanaman perkebunan rakyat dengan lahan 1.223.374 hektare kelapa sawit. Kondisi ini sangat memengaruhi potensi dan peluang besar Sumsel berhasil mengelola POME dan menerapkan EBT masa mendatang.
Posisi Sumsel yang menduduki produsen minyak sawit terbesar ke lima nasional dan nomor tiga di Pulau Sumatra pun mendorong volume ekspor komoditi sawit sebesar 192.214 ton dan Nilai Ekspor 290.661 US$.