TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Walhi Sumsel Kritisi Pemerintah yang Lamban Mitigasi Bencana Alam

Bencana alam harus menjadi momentum melibatkan masyarakat 

Ilustrasi banjir (IDN Times/BPBD Sumsel)

Palembang, IDN Times - Bencana alam kerap terjadi di Sumatera Selatan (Sumsel) sejak awal 2020. Ratusan hektare sawah, ribuan rumah, puluhan jembatan dan infrastruktur lainnya, terdampak bencana alam seperti banjir dan longsor.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, organisasi non profit yang fokus pada lingkungan, mencatat telah terjadi puluhan kasus bencana yang memporandakan 15 kabupaten dan kota di Bumi Sriwijaya. Walhi mengkritisi pemerintah yang lamban melakukan pencegahan dan pengurangan dampak (mitigasi) terhadap bencana alam di Sumsel.

"Kalau melihat kejadian intensitas bencana dari awal tahun, beberapa kejadian berhasil menimbulkan kerugian material dan jiwa akibat bencana alam. Rata-rata kejadian adalah banjir dan longsor," ujar Manager Pengelolaan Sumber Daya dan Organisasi dari Walhi Sumsel, Deni Arian Nando kepada IDN Times, Kamis (4/6).

Baca Juga: 10 Potret Banjir Palembang di Tengah Pandemi Corona

1. Pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam mitigasi bencana

Sebagian besar wilayah Sumsel merupakan daerah rawa dan gambut (Dok.IDN Times/Istimewa)

Menurutnya, pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten dan kota gagal menangani bencana. Pemerintah dianggap hanya memperhatikan penanggulangan yang selalu diulang setiap tahun, tanpa memikirkan pencegahan bencana agar tidak terulang di masa mendatang.

Walhi menilai, penanganan bencana harus dilakukan secara terstruktur melibatkan masyarakat, sehingga antara kebijakan dan pelaksanaan di lapangan dapat sesuai dengan mitigasi bencana.

"Sumsel yang terdiri dari dataran tinggi dan rendah memang rentan terjadi bencana. Pemerintah pun gagap menangani bencana yang selalu berulang. Dari tiga tahap penanganan bencana yakni kesiapsiagaan (pra bencana), tanggap darurat (saat terjadi bencana), dan siaga darurat (pasca bencana), pemerintah hanya fokus pada keadaan pasca bencana," jelas dia.

Penanganan pra bencana seharusnya menjadi fokus pemerintah dalam menangani bencana alam. Pemerintah memang tidak bisa sendirian melakukannya, maka perlu keterlibatan masyarakat dalam melakukan pembenahan di wilayah-wilayah rawan.

"Pelibatan masyarakat harusnya menjadi pilihan tepat mengatasi bencana alam, karena saat terjadi maka yang merasakan dampak lebih dulu adalah masyarakat," jelas dia.

Baca Juga: OKU Selatan Diterjang Banjir Bandang, 5 Kecamatan Terendam

2. Palembang sering banjir karena RTH minim

Banjir akibat anak sungai Musi meluap di Palembang (IDN Times/Rangga Erfizal)

Pemerintah bisa memulai dengan memperbaiki wilayah hulu dan hilir di wilayah rawan bencana dengan melakukan penaman pohon di wilayah hutan yang gundul, mencegah penebangan hutan, dan membatasi izin tambang yang merusak alam.

Pemerintah juga diminta memperhatikan kondisi ruang terbuka hijau (RTH) dan resapan air di setiap wilayah, sehingga mitigasi bencana dapat terencana dan berjalan dengan baik dan benar.

Pada 2019 lalu, Walhi Sumsel mencatat kebutuhan RTH di kota Palembang harus mencapai 30 persen dari luas total wilayah. Jika Palembang memiliki luas 40.061 hektare (ha) saat ini, maka kebutuhan RTH mencapai 12.018 ha. Namun faktanya Palembang baru memiliki RT seluas 3.645 ha.

"Palembang sering banjir karena wilayah ruang terbuka hijaunya minim," tegasnya.

Sisi lain, bencana alam seperti kebakaran hutan lahan diprediksi masih akan terjadi pada tahun 2020. Selama ini pemerintah dianggap tidak serius melakukan penegakkan hukum, dan mengevaluasi izin perusahaan yang membiarkan lahannya terbakar, atau mengalihfungsikan lahan gambut untuk dibuka menjadi perkebunan.

"Prediksi kami kebakaran hutan dan lahan akan semakin sering terjadi di wilayah gambut budidaya, lindung, dan non-gambut. Dari awal tahun saja. Dari awal tahun saja tercatat 137 titik panas terpantau di Sumsel," tegas dia.

Baca Juga: Kelangkaan Makser N95 Bisa Terulang di Masa Rentan Karhutla

3. Bencana alam bisa jadi bencana pangan jika tidak diatasi dengan tepat

Kondisi akibat banjir di Lahat (IDN Times/Istimewa)

Bencana alam yang sering terjadi, diprediksi Walhi akan menimbulkan ketidaksiapan pemerintah dan masyarakat dalam menangani bencana. Kondisi saat ini harus dijadikan momentum untuk merevitalisasi nilai-nilai kemandirian masyarakat dalam menangani bencana.

"Bencana juga membicarakan soal ketahanan pangan. Kami memprediksi jika bencana alam terus terjadi maka akan terjadi krisis pangan. Banyak lahan pertanian yang rusak akibat bencana alam, dan alih fungsi menjadi lahan perkebunan," beber dia.

Baca Juga: Belum Selesai COVID-19, Pemerintah Bersiap Hadapi Karhutla di Sumsel

Berita Terkini Lainnya