TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Tren Tahun Politik, Bancakan Dana Hibah dan Celah Korupsi di Sumsel

Dana hibah mudah dianggarkan tak terpantau pengawasan

Ilustrasi korupsi (IDN Times/Mardya Shakti)

Palembang, IDN Times - Kasus korupsi dana hibah marak terjadi di Sumatra Selatan (Sumsel). Terbaru, beberapa orang mantan pejabat Bawaslu di kabupaten dan kota telah diringkus oleh kejaksaan karena menyelewengkan dana hibah.

Kasus penyelewengan dana hibah jadi cerita panjang kasus korupsi di Bumi Sriwijaya. Kasus lainnya, Masjid Raya Sriwijaya menyeret banyak pejabat dan eks pejabat di lingkungan Pemprov Sumsel. Dana hibah kerap disalahgunakan karena kurangnya pengawasan, sehingga celah untuk mengakali kebijakan selalu jadi cerita di baliknya.

"Kurangnya kontrol dari masyarakat, NGO, hingga aparat penegak hukum, mengakibatkan dana hibah besar peluangnya untuk jadi bancakan," ungkap Koordinator Forum Indonesia Untuk Transparasi Anggaran (Fitra) Sumsel, Nuniek Handayani kepada IDN Times, Sabtu (24/12/2022).

Baca Juga: Ketua Bawaslu Prabumulih Ditangkap Kasus Dana Hibah Rp1,8 Miliar

Baca Juga: Ketua dan Anggota Bawaslu Muratara Korupsi Dana Hibah Divonis Penjara

1. Kepala daerah punya wewenang besar di balik dana hibah

ilustrasi aliran dana (IDN Times/Aditya Pratama)

Peluang untuk mengakali dana hibah juga terbuka lebar. Penggunaan dana hibah yang diatur oleh Kepala Daerah dan Sekertaris Daerah (Sekda), membuat tak ada pengawasan yang ketat.

"Pengelolaan dana hibah tersebut sulit terpantau. Peruntukannya untuk apa kadang sulit tertebak, ini kewenangan kepala daerah. Penggunaan kadang suka-suka Kepala Daerah. Biasanya itu menjelang pilkada rawan sekali digunakan," ungkap dia.

2. Korupsi dana hibah terang-terangan di tahun politik

ilustrasi aliran dana (IDN Times/Aditya Pratama)

Nuniek mencatat, kerap terjadi penyelewengan dana hibah jelang tahun politik. Catatan panjang korupsi dana hibah pernah terang-terangan dilakukan pada 2013 silam. Menurutnya, mantan Gubernur Sumsel Alex Noerdin kala itu menaikan anggaran dana hibah di tahun politik hingga Rp2,1 triliun, dengan realisasi dana hibah mencapai Rp1,62 triliun atau 76,70 persen.

"Penggunaan dana hibah di tahun politik adalah sebuah tren. Setiap mau pilkada selalu naik, dan itu sudah menjadi rahasia umum," ujar dia.

Kurangnya kontrol dana hibah membuat celah bagi pemerintah melakukan korupsi. Nuniek melihat tren penggunaan dana hibah masih tetap sama, mau siapa pun Kepala Daerah terpilih, mereka memiliki kewenangan tak terpantau sehingga sama-sama menggunakan hibah untuk kepentingan politik.

"Makin ke sini juga sama, hanya saja penggunaan dana hibah ini agak sedikit disamarkan. Pemerintah jika berbicara transparansi agaknya masih kurang," ungkap dia.

3. Dana hibah jadi alat petahana menggelontorkan uang

Ilustrasi aliran dana dan anggaran (IDN Times/Aditya Pratama)

Menurut Nuniek tren dana hibah meningkat jelang tahun politik kerap jadi pembenaran untuk kepentingan politik. Penggunaan dana hibah yang dianggarkan tanpa pos terawasi, menjadikan dana hibah sebagai dana abadi korupsi pemerintah.

Tren penggunaan dana hibah untuk kepentingan politik di 2023 dan 2024, diyakini akan semakin masif terjadi. Terlebih penggunaan dana hibah menjadi salah satu cara untuk menarik simpati. Kepala Daerah juga sering menganggarkan dana hibah untuk memberikan bantuan kepada masyarakat.

"Dana hibah bersifat ad hoc atau charity, terkadang digunakan untuk dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Pemberian dana hibah terkadang rancu, yang seharusnya tak boleh dilakukan lebih dari dua kali tahun anggaran, namun kenyataan di lapangan jadi sarana kepala daerah," jelas dia.

Baca Juga: 3 Staf Bawaslu Ogan Ilir Korupsi Dana Hibah Pilkada 2020 Rp7,4 Miliar

Berita Terkini Lainnya