TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pencabulan Santri di Ponpes OI Merupakan Kejadian Luar Biasa di Sumsel

Dinas PPPA Sumsel fokus pada trauma healing puluhan korban

Ilustrasi pencabulan. (IDN Times/Sukma Shakti)

Palembang, IDN Times - Selama pandemik COVID-19 yang terjadi di Sumatra Selatan (Sumsel), terjadi pencabulan terhadap santri di sebuah Pondok Pesantren Ogan Ilir. Bahkan peristiwa itu  menjadi kasus pedofilia terbesar dengan jumlah 26 korban. Kasus ini menjadi perhatian khusus Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Sumsel.

"Kasus pedofilia yang mengakibatkan korban anak laki-laki hingga 26 orang baru pertama kali terjadi," ungkap Kepala Dinas PPPA Sumsel, Henny Yulianti, Jumat (19/7/2021).

Baca Juga: Pengurus Ponpes di OI Pelaku Pedofilia Cabuli Belasan Santri

1. Potensi pencabulan anak tidak hanya terjadi di ponpes

Ilustrasi pencabulan anak laki-laki (Foto: Pos Metro Padang)

Henny mencatat, kasus kekerasan seksual atau pedofilia pada 2020 lebih banyak terjadi di lingkungan rumah tangga. Meski kejadian ini terungkap di sebuah asrama pondok pesantren, pihaknya belum mau mengambil kesimpulan mengenai penyebab pesantren menjadi sarang pedofilia.

"Ini kan oknum, kalau bicara potensi di mana pun tetap ada. Karena yang namanya oknum bisa berada di mana saja. Tapi karena menginap di pondok potensi lebih besar dialami mereka, namun kita tidak bisa mengeneralisir pondok pesantren," ujar dia.

2. Pemprov Sumsel fokus trauma healing para korban

Ilustrasi Kekerasan pada Anak (IDN Times/Sukma Shakti)

Dinas PPPA Sumsel pun fokus pada trauma healing terhadap puluhan santri yang sudah melaporkan Junaidi (22), oknum pengajar ponpes di Ogan Ilir. Kejadian pencabulan di salah satu ponpes ini menjadi kejadian luar biasa karena jumlah korban yang cukup banyak.

"Kita harus apresiasi saat anak tersebut berani menyampaikan kalau sudah menjadi korban. Karena itu butuh keberanian luar biasa dari mereka. Ada peran dari orangtua untuk melaporkan ke pihak berwajib," jelas dia.

Menurutnya, kasus ini tidak seharusnya mengeksploitasi anak (korban) secara besaran-besaran. Selain proses hukum yang berjalan, anak-anak ini juga harus mendapat pendampingan.

"Karena kita harus fokus terhadap kondisi psikologis mereka mulai dari sekarang sampai ke depannya," jelas dia.

Baca Juga: Polda Sumsel Buka Posko Pengaduan Kasus Pencabulan Santri OI

3. Anak perlu mendapat pendampingan psikolog

ilustrasi perempuan korban kekerasan dalam hubungan (pexels.com/Karolina Grabowska)

Henny menjelaskan, baik Dinas PPPA dan PPA Polda Sumsel terus berkoordinasi memberi pendampingan psikolog. Setiap anak mendapat treatment yang berbeda-beda, tergantung kondisinya saat ini. Pihaknya memiliki satu orang psikolog yang secara khusus memberik pendampingan pada korban kasus kekerasan, pelecehan, dan sebagainya.

"Untuk ke korban kita perlu pelan-pelan mendampingi. Karena memang ada korban yang belum bisa lugas bercerita (trauma). Pendampingan ini perlu disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak," jelas dia.

4. Kementerian PPA sudah khawatirkan peristiwa ini bisa terjadi

Ilustrasi pemerkosaan (IDN Times)

Kementerian PPA sebelumnya sempat mengkhawatirkan peristiwa seperti ini bisa terjadi. Menurutnya, saat agenda kerja Kementerian PPA di akhir tahun lalu sudah sempat mengingatkan pesantren di Sumsel untuk mengetahui hak anak.

"Sosialisasi untuk meminimalisir kejadian seperti ini terjadi. Awalnya ingin secara langsung, namun karena pandemik maka dilakukan sosialisasi secara virtual," jelas dia.

Terkait kasus pelecehan seksual ini, pihak Pemprov Sumsel akan mengevaluasi ponpes yang bersangkutan. Namun hasilnya tergantung assessment psikolog dan orangtua.

"Jadi kembali ke orangtua anak, apakah masih mau menyekolahkan anaknya di sana," tutup dia.

Baca Juga: Seorang Pria di Sumsel Siksa Anak Tirinya Usia 1,8 Tahun Hingga Tewas

Berita Terkini Lainnya