TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pakar Hukum Unsri Sebut Dana Hibah Pengusaha Akidi Tio Harus Lewat KPK

Pemberian dana hibah harus jelas sumber dan tujuannya

(Ilustrasi KPK) ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Palembang, IDN Times - Dana hibah yang diterima oleh Kapolda Sumsel, Irjen Pol Eko Indra Heri sebesar Rp2 triliun dari keluarga mendiang pengusaha asal Aceh, Akidi Tio, mendapat berbagai respon dari banyak pihak. Banyak yang mengapresiasi sikap kedermawanan itu, tapi tidak sedikit pula yang mempertanyakan.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sriwijaya (Unsri), Dedeng Zawawi menyatakan, pemberian dana hibah dari masyarakat harus mendapat sorotan. Uang itu perlu dicek keabsahannya, lantaran proses hibah memiliki prosedur yang diatur oleh Undang-Undang (UU).

"Uang ini harus jelas dan transparansi. Apa lagi yang diberi sangat banyak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus turun tangan terlibat sebelum hibah tersebut sampai ke pemerintah untuk kepentingan publik," ungkap Dedeng Zawawi kepada IDN Times, Senin (26/7/2021).

Baca Juga: Sosok Mendiang Akidi Tio; Pengusaha Sawit dan Kontraktor Dermawan

1. Pemberian uang sebagai hibah berpotensi menjadi gratifikasi

ilustrasi gratifikasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Dedeng menjelaskan, lembaga antirasuah harus mengecek uang tersebut. Uang dengan jumlah yang banyak sangat riskan di mata hukum, baik saat diterima maupun digunakan untuk kepentingan masyarakat. Dirinya mengingatkan jangan sampai niat baik justru menjadi bumerang di kemudian hari.

"Ini harus ditelusuri, bisa masuk dalam unsur gratifikasi. Dalam kondisi yang ada, KPK harus mengecek jangan sampai menjadi modus. Peruntukannya juga harus jelas," ujar dia.

2. Kapolda dianggap kurang tepat menerima hibah

Bantuan untuk Sumsel dari keluarga Almarhum Akidi Tio sebesar Rp2 Triliun (IDN Times/Polda Sumsel)

Dedeng menilai, uang Rp2 triliun tersebut seharusnya diterima oleh KPK terlebih dahulu. Setelah itu, asal uang ditelusuri dan peruntukannya jelas. Barulah uang itu bisa disalurkan ke daerah sesuai keinginan awal pemberi hibah.

"Kapolda juga kurang tepat (menjadi makelar). Apa lagi jika peruntukannya untuk penanganan COVID-19, harusnya diserahkan ke Satgas COVID-19. Di sini yang harus dijelaskan lebih detail," beber dia.

Baca Juga: Anak Muda Palembang Kirim Ratusan Nasi Gratis ke Pasien Isoman

3. Seseorang tidak bisa serta merta memberi hibah

Markey.id

Dedeng melihat, aturan soal keluar dan masuk dana hibah di luar Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), juga diatur dalam UU. Apa lagi jika uang ini diserahkan ke penyelenggara negara.

"Orang punya uang banyak tidak serta merta bisa kasih duit. Apa lagi memang ditujukan untuk penyelenggara negara dan penegak hukum," ujar dia.

4. Mekanisme pengelola harus tunduk dengan penyelenggara negara

Ilustrasi Uang Rp75000 (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)

Dedeng menjelaskan, dana hibah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP). Disebutkan, penerima hibah adalah penyelenggara negara dan dalam kepentingan negara, maka objek hibah menjadi tanggung jawab negara.

"Objek hibah menjadi milik publik atau negara, sehingga memerlukan pengawasan dan mekanisme pengaturan dalam pengelolaannya," jelas dia.

Baca Juga: Pasien Isoman Sumsel Mencapai 4.356 Orang, Dinkes Diminta Pantau Ketat

Berita Terkini Lainnya