TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Menengok Kampung Kapitan, Peninggalan Peranakan Tionghoa di Palembang

Rumah ini masih kokoh meski sudah berusia 377 tahun

Kampung Kapitan yang berada di kawasan 7 Ulu Palembang (IDN Times/Rangga Erfizal)

Palembang, IDN Times - Kampung Kapitan Palembang menjadi satu di antara banyak bangunan Cagar Budaya yang sarat akan sejarah tentang peranakan Tionghoa di Bumi Sriwijaya. Kampung Kapitan merupakan rumah kayu yang dibuat di tepian Sungai Musi Palembang.

Berdiri sejak awal abad ke-17 atau sekitar tahun 1.644 masehi, rumah tersebut pertama kali dibangun oleh seorang Mayor bernama Tjoa Kie Tjuan, dan diteruskan oleh turunannya. Bangunan ini masih berdiri kokoh di kawasan KH Azhari, Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1, Palembang.

"Dahulunya kampung kapitan merupakan wilayah perdagangan. Belanda mempercayakan kepada seorang Mayor atau Kapitan untuk menjaga jalur laut (Sungai) melalui perdagangan dan menarik pajak-pajak," ungkap keturunan ke-14 Kapitan, Mulyadi kepada IDN Times, Jumat (18/6/2021).

Baca Juga: Kampung Kapitan, Peninggalan Kapten Tjoa di Palembang yang Terlupakan

1. Palembang jalin kongsi dagang dengan Dinasti Ming dam Qing

Kampung Kapitan 7 Ulu Palembang, menjadi lokasi wisata sejarah di Palembang (IDN Times/Rangga Erfizal)

Turunan selanjutnya bernama Tjoa Ham Ling diangkat menjadi Kapitan atau Kapten. Secara cepat lokasi itu dikenal sebagai Kampung Kapitan, di mana orang-orang yang berdagang datang dari wilayah lain untuk singgah.

Menurut Mulyadi, Kampung Kapitan dulu juga menjadi tempat orang-orang Tionghoa yang datang dari Dinasti Ming. Mereka mendirikan kongsi dagang di wilayah Palembang. Menurutnya, Palembang merupakan wilayah yang terkenal sebagai pusat perdagangan di wilayah selatan, sehingga para saudagar dari Tiongkok berbondong-bondong datang.

"Orang-orang Tionghoa dari Dinasti Ming lalu dilanjutkan Dinasti Qing memiliki hubungan dagang yang erat di Palembang. Tidak salah jika dikatakan kawasan 7 Ulu yang terletak di Sungai Musi sebagai wilayah jalur perdagangan, dan mereka menetap pertama di sana," ujar dia.

2. Kebanyakan orang Tionghoa menetap di Palembang

Heri Amin salah satu warga Kapitan (IDN Times/Rangga Erfizal)

Proses perdagangan antara orang-orang Tionghoa yang datang dari utara ke Palembang, akhirnya menetap dan melahirkan keturunan. Mereka kebanyakan mempersunting orang Palembang asli sehingga tidak kembali ke tanah kelahirannya. 

Keluarga Kapitan menjaga jalur Sungai Musi di Palembang hingga tahun 1920-an, ketika keturunan terakhirnya menjadi kapten jalur pelayaran Palembang. Mulyadi menjelaskan, perubahan zaman tidak menyurutkan turunan Sang Kapitan menjaga rumah sebagai peninggalan.

"Rumah ini menjadi peninggalan kakek buyut saya. Rumah kapitan terdiri dari dua bentuk bangunan utama. Pertama yang terbuat dari kayu sejak tahun 1.644 masehi, sedangkan bangunan beton dibangun sejak jaman Belanda. Kapitan sendiri tinggal di bangunan kayu," ujar dia.

3. Rumah kapitan dibagi dua fungsi; ziarah dewa dan leluhur

Altar leluhur di Kampung Kapitan (IDN Times/Rangga Erfizal)

Setelah anak turunan Tjoa Ham Ling tidak lagi menjadi kapitan laut, rumah tersebut berubah fungsi. Beberapa anak turunannya merantau ke beberapa daerah lain, termasuk Mulyadi yang kini menetap di Jakarta. Pihak keluarga memutuskan jika rumah peninggalan Kapitan menjadi tempat ibadah atau ziarah masyarakat Tionghoa di Palembang.

Rumah kayu yang berusia ratusan tahun menjadi tempat peribadatan kepada dewa-dewa. Sedangkan rumah dengan struktur bangunan beton menjadi tempat ziarah keluarga. Kedua bangunan diisi dengan berbagai altar untuk peribadatan.

"Setiap ada acara atau hari keagamaan, Rumah Kapitan selalu ramai dikunjungi masyarakat dari berbagai latar belakang. Ada yang khusus datang untuk ziarah atau ibadah, ada juga yang memang untuk wisata," ujar dia.

Baca Juga: Imam Masjid Agung Palembang Koleksi Kitab Melayu Kuno Berusia 3 Abad

Berita Terkini Lainnya