Konflik Agraria di Mesuji, Polisi Tangkap 6 Orang Warga
Konflik terjadi setelah BPN mencabut 36 SHM milik warga
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
OKI, IDN Times - Konflik Agraria melibatkan aparat kepolisian dan warga kembali terjadi, Kamis (16/12/2021) malam lalu. Peristiwa itu merupakan buntut penarikan 36 Surat Hak Milik (SHM) warga Desa Suka Mukti, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan (Sumsel), oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Warga yang merasa penarikan SHM tersebut tak adil, mencoba memilih bertahan di lahan sengketa. Sudah 10 hari setelah keputusan, mereka didatangi aparat kepolisian baik dari Polda Sumsel maupun Polres OKI. Aparat kepolisian yang datang sempat melepaskan tembakan hingga mengakibatkan dua warga terluka, dan empat mobil rusak.
"Ada ratusan selongsong peluru ke luar berjatuhan. Tak hanya itu, ada empat mobil yang rusak, dua dibawa petugas dan satu ditinggalkan karena tak bisa lagi dikendarai," ungkap Kuasa hukum warga desa, Pius Situmorang, Jumat (17/12/2021).
Baca Juga: BPN Cabut 36 SHM Tanah Bersengketa di Kayuagung OKI
1. Warga mengacu pada SHM sedangkan Polisi berlandaskan HGU
Sebelum kejadian penembakan terjadi, 100 orang aparat kepolisian datang membawa persenjataan lengkap. Mereka mendatangi warga yang berjaga di tenda. Saat itu, ada 39 orang warga diintimidasi.
Mereka mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan ponsel milik warga. Tak sampai di sana, polisi disebut-sebut melakukan tindakan provokasi ke warga.
"Malam kemarin ada 39 warga yang berjaga di sana menunggu di tenda-tenda. Aparat memprovokasi warga menyebut SHM yang dimiliki mereka bodong," ujar dia.
Pius menilai, warga setempat mengacu pada SHM yang telah diserahkan BPN pada 2020. Sedangkan polisi mengacu pada surat penarikan SHM dan penyerahan Hak Guna Usaha (HGU) ke PT Treekreasi Margamulia (TMM). Warga yang sebelumnya telah mendapatkan SHM, mencoba mempertahankan tanah tersebut dengan mendirikan tenda sejak Oktober 2021 lalu.
"Mereka adalah orang-orang yang telah menduduki lokasi sejak 1980 yang tergabung dalam program transmigrasi. Mereka ingin mempertahankan haknya," jelas dia.
Baca Juga: Konflik Lahan di Lahat, Centeng PT Artha Prigel Tewaskan Dua Petani