Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Rendang Hilang Willie Salim, Pakar: Perdalam Kesan Buruk Palembang

potret Willie Salim di Palembang (Instagram.com/willie27_)
Intinya sih...
  • Konten viral Willie Salim memicu perdebatan di media sosial
  • Stereotipe negatif terhadap masyarakat Palembang terbentuk akibat kejadian rendang
  • Reaksi Dosen Antropologi Unsri menyangsikan niat konten kreator dan menolak stereotipe tersebut

Palembang, IDN Times - Dampak konten viral yang diproduksi influencer Willie Salim menjadi perdebatan panjang di media sosial. Kegaduhan yang ditimbulkan masih terjadi meski Willie Salim telah meminta maaf ke publik, Sabtu (22/3/2025) kemarin.

Kondisi ini memunculkan stereotipe dari masyarakat luas mengenai sikap dan perbuatan warga di BKB yang mengambil rendang yang belum matang dimasak tersebut. Akibatnya, masyarakat Palembang secara umum dicap sebagai orang yang rakus oleh warganet.

Menanggapi hal tersebut, Dosen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya (Unsri) Muhammad Rifai mengatakan, citra yang terbentuk diperburuk dari stereotipe lama yang melekat di Palembang sebagai kota yang keras dan kasar. Kondisi ini menjadi pembenaran dari kejadian yang terjadi dalam pembagian rendang.

"Hujatan yang ditimbulkan dari kasus rendang menambah citra buruk kepada masyarakat Palembang. Citra buruk itu makin menguatkan stereotipe dengan kejadian video rendang bahwa memang seperti itu sikap masyarakat Palembang di mata masyarakat Indonesia," ungkap Muhammad Rifai kepada IDN Times, Senin (24/3/2025).

1. Kejadian ini perlu ditanggapi secara nasional

Dosen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya (Unsri) Muhammad Rifai (dok pribadi)

Rifai menjelaskan, media sosial menjadi tempat yang cepat untuk penghakiman. Dari video yang viral tersebut, seolah-olah masyarakat Palembang yang hadir di BKB berlaku bar-bar dan tidak terkontrol. Padahal, tidak ada masyarakat yang keras ataupun kasar dalam proses syuting atau pengambilan video masak rendang tersebut.

"Tentu apabila insiden ini tidak diklarifikasi di tingkat nasional menggunakan media sosial dan media elektronik, akan berdampak signinifikan bagi industri pariwisata dan kuliner kota Palembang," jelas dia.

2. Secara moril dan materil rugikan masyarakat Palembang dan perantau

Konten kreator Willie Salim bersama Wali Kota Palembang Ratu Dewa (Instagram/Willie27_)

Dampak buruk lain dari stereotipe yang terbentuk tersebut akan berpengaruh bagi pendatang, pengunjung dan wisatawan yang enggan untuk jalan-jalan atau sekedar singgah ke Palembang. Butuh, upaya bersama dari pemerintah, media masa dan influencer lainnya untuk membendung stereotip yang terlanjur berkembang.

"Jika stereotipe ini melekat maka akan sulit hilang dan terus melekat untuk masyarakat Palembang. Secara moril dan materil citra ini akan merugikan masyarakat Palembang. Bagi perantau Palembang juga akan terkena getah dari dampak bully, cacian yang mungkin akan mereka terima," jelas dia.

3. Masyarakat Palembang justru tunjukan sikap toleransi dan kebersamaan

Tradisi ngobeng masyarakat Palembang (IDN Times/Fenny Maulia Agustin)

Rifai menjelaskan lebih jauh, bahwa sikap sosial masyarakat yang terbentuk karena kejadian negatif tersebut sangat berbeda dengan kondisi nyatanya. Masyarakat Palembang tumbuh dengan nilai tradisi dan budaya yang menjunjung nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari yaitu gotong-royong, kebersamaan, toleransi, dan musyawarah.

"Jika kita melihat video itu lebih jauh, selama proses pembuatan rendang tidak ada satu pun masyarakat yang mengganggu atau menghambat proses masak. Ini menunjukan cermin toleransi yang dianut masyarakat Palembang. Tetapi ada juga rasa ingin tahu yang cukup tinggi di sana yang memunculkan rasa kebersamaan," jelas dia.

4. Ada pihak yang mencoba mengambil keuntungan untuk legitimasi stereotipe

Benteng Kuto Besak Palembang (instagram/adjibrown)

Rifai menyangsikan maksud sang konten kreator dalam membuat daging rendang di tengah kondisi kerumunan namun tanpa persiapan matang. Dirinya mempertanyakan niat dari Willie Salim beserta timnya yang dengan sengaja melakukan pembiaran dari proses masak tersebut.

Terlebih proses memasak rendang membutuhkan waktu yang lama dan bukan hal yang sederhana. Sehingga koki yang ada, harusnya menunggu proses masak tersebut untuk menjaga suhu makanan.

"Menurut saya, proses berebut rendang itu bukan cerminan masyarakat Palembang. Kalau pun itu terjadi pasti ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan atau ada kesengajaan untuk membenturkan stereotipe yang ada guna memperburuk citra. Sangat tidak elok apabila kita membuat narasi yang bertolak belakang dengan nilai sosial, nilai budaya, dan nilai agama yang dianut oleh masyarakat Palembang," jelas dia.

5. Masyarakat Palembang punya tradisi soal makan bersama

Tradisi ngobeng masyarakat Palembang (IDN Times/Fenny Maulia Agustin)

Penolakan terhadap stereotipe itu tidak mencerminkan tradisi kuliner di Palembang yang dikenal dengan tradisi Ngobeng. Menurutnya, tradisi ini masih eksis di Sumsel dan menjadi pedoman masyarakat.

"Pada tradisi tersebut sangat menjunjung budaya lokal bahwa masyarakat Palembang dalam tradisi kulinernya makan secara bergantian meski makanan itu dihidangkan di tengah orang ramai. Tradisi ini bisa dikatakan perpaduan tradisi islami dan budaya lokal. Cerminan dari tradisi ini menguatkan kembali karakter masyarakat Palembang itu merupakan kelompok masyarakat yang suka kebersamaan, gotong-royong dan saling menghormati satu sama lain," jelas dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hafidz Trijatnika
Rangga Erfizal
Hafidz Trijatnika
EditorHafidz Trijatnika
Follow Us