Pengamat: Wacana Pilkada Kembali ke DPRD Perkuat Oligarki Lokal

- Pemilihan kepala daerah lewat voting di DPRD dinilai memperkuat oligarki politik lokal.
- Praktik money politic tetap akan masif dengan pemilihan melalui DPRD, menjauhkan aspirasi rakyat.
- Sistem politik pemilihan langsung memerlukan evaluasi serius dan pengawasan yang efektif untuk menciptakan pemimpin berintegritas.
Palembang, IDN Times - Pengamat Politik UIN Raden Fatah Palembang, Yulion Zalpa mengatakan, langkah pembangunan opini untuk mendukung pemilihan kepala daerah melalui legislatif bukan jadi solusi ideal mengatasi masalah pada pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah lewat voting di DPRD justru dinilai akan berpotensi memperkuat oligarki politik di tingkat lokal.
"Alih-alih menghilangkan praktik money politic, mekanisme ini berpotensi hanya menggeser arena transaksi, dari masyarakat luas ke lingkaran elit politik dan anggota DPRD," ungkap Yulion, Jumat (20/12/2024).
1. Skema voting lemah pengawasan

Yulion menyebutkan, langkah menuju pemilihan yang dilakukan DPRD akan menjauhkan aspirasi rakyat dari proses pemilihan pemimpin daerah. Dirinya menilai, praktik money politic masih akan tetap masif hanya berubah skema yang terjadi.
"Mulai dari vote buying, hingga berbagai skema transaksional lainnya yang sulit dibendung karena lemahnya sistem pengawasan, dan penegakan hukum," jelas dia.
2. Parpol juga harus dievaluasi karena lamban dalam pendidikan politik

Cita-cita reformasi dalam mewujudkan sistem pemerintah yang demokratis justru akan kembali ke masa dimana pemimpin daerah dikembalikan lewat sistem voting. Padahal sistem pilkada langsung oleh rakyat ini harusnya terus diperbaiki agar menjadi lebih sempurna.
"Partai politik sebagai pilar demokrasi juga, belum optimal dalam menjalankan fungsi pendidikan politik bagi masyarakat. Kegagalan ini berkontribusi pada terciptanya berbagai celah dan kekurangan dalam praktik pemilihan langsung," jelas dia.
Menurutnya, sistem politik pemilihan langsung harus tetap mendapat evaluasi secara serius. Pasalnya, sistem politik yang terbentuk saat ini berbiaya besar sehingga negara harus mengeluarkan biaya untuk menanggung proses penyelenggaraan. Belum lagi mahar politik yang dimainkan parpol dan biaya kampanye uang dari paslon.
"Konsekuensi logisnya, para kepala daerah terpilih seringkali terdorong untuk melakukan berbagai cara, guna mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan, termasuk melalui praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang," jelas dia.
3. Wacana yang bergulir harus jadi semangat dalam benahi sistem pemilu

Saat ini yang dibutuhkan Indonesia bukan perubahan sistem politik melainkan membenahi sistem yang sudah berjalan dengan pengawasan yang efektif.
"Untuk menciptakan pilkada yang bersih dan melahirkan pemimpin berintegritas, diperlukan perbaikan menyeluruh mulai dari penguatan sistem pengawasan hingga penegakan hukum yang tegas," jelas dia.
Wacana yang digulirkan Prabowo harus dijadikan momentum negara dalam mengevaluasi sistem demokrasi lokal. Dibutuhkan komitmen politik pembuat keputusan yang benar-benar demokratis dan bersih.
"Untuk menciptakan sistem yang bersih, efektif, dan mampu menghasilkan pemimpin berkualitas yang benar-benar mengabdi pada kepentingan rakyat," jelas dia.