TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Banyak Korban KDRT di Sumsel Melapor dan Jadi Tersangka: Apes 2 Kali!

KDRT harusnya berbeda dengan kasus kriminal biasa

Ilustrasi kekerasan (IDN Times/Sukma Shakti)

Palembang, IDN Times - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi persoalan yang cukup kompleks, sebab banyak perempuan korban justru menjadi tersangka usai melaporkan kasus yang ia alami.

Woman Crisis Center (WCC) Palembang mencatat, kasus KDRT yang berujung pelapor menjadi tersangka cukup banyak terjadi. Hal itu menyebabkan tekanan secara psikis yang berdampak pada perempuan.

"Ketika perempuan sebagai pelapor malah dilaporkan balik dan jadi tersangka, justru semakin membuat mereka menderita. Semua kasus yang kami dampingi berdampak buruk bagi perempuan, artinya sangat merugikan masyarakat," ungkap Direktur Eksekutif WCC, Yeni Roslaini Izi kepada IDN Times, Jumat (7/8/2020).

1. KDRT terjadi karena ada relasi yang tidak seimbang

Direktur Eksekutif Woman Crisis Center, Yeni Roslaini Izi (IDN Times/Rangga Erfizal)

Ia menjelaskan, kebanyakan perempuan korban KDRT tidak bisa berbuat banyak setelah menjadi tersangka. Mereka yang sebelumnya mencari keadilan lewat jalur hukum, justru harus menjalani tekanan usai ditetapkan sebagai tersangka.

"Ada relasi yang tidak seimbang, di mana kebanyakan perempuan korban kekerasan tergantung secara ekonomi dengan pasangannya," ungkap Yeni.

2. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan tahun 2019 dan 2020

Ilustrasi Pemerkosaan (IDN Times/Mardya Shakti)

Yeni membeberkan, jumlah kasus kekerasan meningkat secara keseluruhan di Sumsel. Mulai dari kasus KDRT, pelecehan seksual, kekerasan dalam pacaran (KDP), pemerkosaan, dan kekerasan lain.

Total keseluruhan kasus kekerasan yang melibatkan perempuan sebagai korban pada 2020 di periode Januari-Juli sebanyak 69 kasus. Sedangkan pada Januari-Desember tahun lalu terdapat 138 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Khusus untuk KDRT di Sumsel selama bulan Januari hingga Juli 2020, tercatat sudah ada 19 kasus. Sedangkan di 2019 dalam setahun tercatat 38 kasus. Namun Yeni meyakini jumlah KDRT lebih banyak namun belum terdata karena korban enggan melapor.

"Ini baru yang melapor ke kita dan mendapat pendampingan. Pada semester 2020 ini cukup banyak KDRT yang terjadi," jelas dia.

3. Kasus KDRT bisa diproses hukum jika tanpa saksi

Ketua DPC Peradi Palembang, Nurmala (IDN Times/Rangga Erfizal)

Ketua DPC Peradi Palembang, Nurmala menjelaskan, kasus pelapor yang kembali dilaporkan dan menjadi tersangka memang banyak terjadi. Para korban banyak kesulitan dalam membuktikan laporannya karena kekurangan saksi.

Padahal dalam Undang-Undang KDRT pasal 55, penyidik dapat memeriksa terlapor tanpa harus menghadirkan saksi, dengan menyertakan keterangan korban dan bukti kekerasan lewat visum.

"Penyidik kerap terbentur dan memegang teguh KUHAP. Padahal dengan kekerasan fisik dan psikis saja sudah dapat diproses," jelas dia.

Nurmala juga mengaku banyak mendampingi korban kekerasan. Selama masa pandemik, dirinya kerap berkonsultasi dengan perempuan korban KDRT.

"Hambatan pendampingan kasus KDRT banyak. Korban kebanyakan tidak ada uang, ekonominya menengah ke bawah. Kebanyakan perempuan yang tidak mandiri secara finansial," jelas dia.

Berita Terkini Lainnya