Tentang Bidar, Perahu Patroli Kesultanan Palembang di Sungai Musi
Wong Palembang tetap menanti perlombaan bidar di Sungai Musi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Palembang, IDN Times - Sedikit mengulas kisah tentang Bidar, dulunya untuk menjaga keamanan dari luasnya wilayah perairan di Palembang, membutuhkan sebuah perahu yang dapat berlari cepat.
Mendengar hal tersebut, Kesultanan Palembang lalu membentuk patroli sungai dengan menggunakan perahu. Tak lama kemudian, dibuatlah perahu patroli yang dinamai perahu pancalang.
Pancalang ini punya arti perahu yang bisa dengan cepat menghilang. Untuk bentuknya sendiri, perahu pancalang ini memiliki panjang 10 sampai 20 meter dan lebar 1,5 sampai 3 meter.
Daya tampung pancalang bisa bermuatan hingga 50 orang, agar lebih cepat dikayuh dan menghilang. Karena bermuatan banyak orang, Pancalang bisa dijadikan sebagai alat angkutan transportasi sungai. Raja-raja dan pangeran juga sering menggunakan pancalang untuk pelesiran.
1. Perahu pancalang asal muasal lahirnya perahu bidar
Dilansir dari buku Ensiklopedi Indonesia NV, terbitan W Van Hoeve Bandung’s Gravenhage, gambaran dan bentuk pancalang merupakan perahu yang tidak berlunas, selain sebagai perahu penumpang, ia juga dijadikan sarana untuk berdagang di sungai. Atapnya berbentuk kajang, kemudinya berbentuk dayung dan digayung dengan galah atau bambu.
Para ahli sejarah berpandangan, perahu pancalang inilah asal muasal lahirnya perahu bidar. Agar terjaga kelestarian perahu bidar, digelarlah lomba perahu bidar yang berlangsung sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam. Lomba ini sering disebut wong doeloe dengan sebutan "kenceran".
Pada zaman kolonial Belanda, biasanya bidar diselenggakan pada saat kedatangan ratu dan keluarganya dari kerajaan belanda.
Baca Juga: Ki Marogan, Mensyiarkan Islam ke Pedalaman Palembang dengan Perahu