TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Cerita Penggali Kubur COVID-19 Palembang, Tegur Sapa Tetangga Hilang

Upah menggali kubur Rp500 ribu dibagi rata untuk enam orang

Liang lahat untuk jenazah COVID-19 memiliki ke dalaman berbeda dari liat lahat untuk jenazah pada umumnya (DN Times/Candra Irawan)

Palembang, IDN Times - Tidak hanya tim medis; dokter dan perawat, yang mendapat stigma dari masyarakat membawa virus corona. Penggali kubur di Taman Pemakaman Umum (TPU) Gandus Hill Palembang juga merasakan hal sama. Keakraban dan tegur sapa dari tetangga yang diterima Herman selama ini mendadak hilang.

Pria berusia 54 tahun itu menjadi penggali kubur di TPU Gandus Hill Palembang sejak 2007 lalu. Bersama lima orang rekannya, Herman diminta menggali kubur untuk memakamkan  jasad korban COVID-19 sejak Maret lalu.

"Kami diupah seperti biasa. Uang Rp500 ribu dibagi rata, kebetulan tiap gali kubur kami berenam termasuk orang yang bersih-bersih," kata Herman, Minggu (19/4).

Jika nilai upah yang Herman dan tim sama, tapi tidak dengan perkara kehidupan sosialnya. Lebih dari satu bulan ini, dirinya mendapat perlakuan yang tak mengenakan dari tetangga. Ketika dulu saling membalas tegur dan sapa dengan tetangga jadi hal biasa, tapi sekarang tinggal cerita.

"Warga sekitar seolah menghindar dan takut. Pandangan tetangga sekarang, kalau lihat saya jadi gak mau tegur dan menyapa. Mereka langsung menjauh saja," ungkap Herman.

Baca Juga: Keluarga PDP Meninggal di Muratara Tolak Protokol Pemakaman COVID-19

Baca Juga: [LINIMASA] Perkembangan COVID-19 di Sumsel yang Kian Meresahkan

1. Beban risiko tertular dengan peralatan seadanya

IDN Times/Candra Irawan

Sesekali Herman dan rekannya memikirkan tentang risiko tertular COVID-19 dari jasad korban yang ia makamkam. Ia bercerita ketika pertama kali diminta menguburkan makam pasien COVID-19. Ketika itu, peralatan perlindungan yang melekat di badan hanya seadanya.

"Lebih kepada beban pikiran saja, sebab tidak ada jaminan perlindungan kesehatan kita dalam bertugas. Walau hanya menggali saja, tapi ini kasus corona. Beda risikonya," ujar Herman.

Herman berujar, Alat Pelindung Diri (APD) dirinya dan rekan tidak lengkap seperti yang ia lihat di televisi. Mereka pun berusaha melindungi diri sendiri. Setelah menjadi penggali kubur dan memakamkan jenazah COVID-19, tak ada lagi orang yang meminjam cangkul seperti hari-hari sebelumnya.

"Dulu cangkul sering dipakai bergantian tapi sekarang tidak lagi. Memang bagusnya punya sendiri-sendiri biar tidak tertular. Tapi bukan masalah gak ada yang pinjam cangkul sekarang, tapi anggapan orang-orang ke saya sekarang berbeda," ungkapnya.

Baca Juga: Astaga! Bayi 4 Bulan di Sumsel Positif Corona

2. Proses pemakanan hanya disaksikan petugas

Simulasi penanganan jenazah COVID-19. IDN Times/Polres Mojokerto

Sesuai dengan peraturan berlaku, proses pemakaman jenazah positif corona yang meninggal dilarang disaksikan banyak orang. Anggota keluarga hanya diizinkan melihat dari jarak jauh. Bagi Herman, ketentuan itu tak berlaku bagi dirinya dan rekan.

Prosedur dan waktu pemakaman berbeda dengan jasad yang meninggal lainnya. Herman dan rekan biasanya memakamkan jenazah pada malam hari. 

"Jasadnya sudah dibungkus plastik, tinggal dimasukkan dalam peti dan dikubur. Pihak keamanan mengawasi kerja kami," ujarnya.

Baca Juga: Kisah Pilu Tenaga Medis Palembang, Tidur di Rumah Sakit dan Dimaki 

Berita Terkini Lainnya