TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Konsep Biofuel Sawit Picu Deforestasi Besar-besaran di Sumsel

Akademisi menyebut BBM fosil dan BBM sawit tak berbeda

Direktur Spora Institute sekaligus akademisi Universitas Sriwijaya (Unsri) JJ Polong (IDN Times/AJI Palembang)

Palembang, IDN Times - Rencana pemerintah untuk mengembangkan energi terbarukan yang berasal dari pengolahan sawit atau biofuel, tidak serta merta dapat diterima. Direktur Spora Institute sekaligus akademisi dari Universitas Sriwijaya (Unsri), JJ Polong mengungkapkan, tema biofuel memiliki latar belakang deforestasi secara besar-besaran.

"Mungkin biofuel bersih pada bagian hilirnya. Tetapi pada hulunya, sawit BBM yang dihasilkan justru mengakibatkan kerusakan lingkungan (deforestasi). Artinya tidak ada yang berbeda dari BBM Fosil dan BBM Sawit yang digagas untuk energi bersih," ungkap Polong dalam diskusi 'Ekologi Politik bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI)' di Palembang, Rabu (24/11/2021).

Baca Juga: Manfaatkan Tanaman Sawit, Muba Ingin Jadi Sentral Energi Terbarukan 

1. Penggunaan sawit hanya berpatok pada kebutuhan ekonomis

m.economictimes.com

Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) sedang mengagas Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk pengelolaan sawit menjadi Biohydrocarbon (Komponen Biofuel). Langkah ini dilindungi Perpres nomor 109 tahun 2021. BBM sawit ditujukan untuk menjadi pengganti fosil di masa mendatang.

"Aktivitas energi terbarukan yang digagas saat ini hanya berpatokan pada konteks ekonomi. Ada relasi pemerintah, akademisi, hingga oligarki. Tidak ada sisi ekologis dan sosiologis masyarakat setempat yang diperhatikan," ujar dia.

Baca Juga: Serius Garap Bensin Sawit, Muba Siap Operasikan Pabrik Tahun Depan

2. Sawit mengakibatkan masyarakat sengsara

Ilustrasi Perkebunan Kelapa Sawit (IDN Times/Sunariyah)

Polong menjelaskan, relasi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap energi terbarukan berfokus pada kepentingan ekonomi. Menurutnya, fokus itu berbahaya bagi lingkungan. Oligarki dianggap pihak yang paling diuntungkan dengan mengoordinasi aktor-aktor intelektual, kemudian mendorong energi terbarukan yang tetap sama merusak lingkungan.

"Kita tidak bisa mengatakan energi terbarukan baik. Kita harus melihat proses produksi energi dilahirkan. Energi terbarukan yang disokong pun masih sama saja, membuat kerusakan dan kesengsaraan masyarakat," jelas dia.

3. Kemiskinan menyasar daerah di Sumsel yang kaya energi

Ilustrasi Kemiskinan (IDN Times/Arief Rahmat)

Dari permasalahan itu, Polong menawarkan beberapa diskursus baru yang harus dikawal. Daerah yang kaya akan energi nyatanya menyumbang angka kemiskinan di wilayah Sumsel. Polong mencatat, dua kabupaten di Sumsel dengan tingkat kemiskinan cukup tinggi berasal dari wilayah tambang, seperti Muba dan Muara Enim.

"Masyarakat di wilayah tambang tidak pernah dilibatkan, sehingga kemiskinan di wilayah tambang sangat nyata. Mereka tidak memiliki hak atas kekayaan daerah yang justru hanya dinikmati segelintir aktor dari tingkat kabupaten, nasional, hingga internasional," ujar dia.

Baca Juga: Muba Produksi Industri Vegetable Oil dari Sawit Februari 2021

Berita Terkini Lainnya