TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Rektor Unsri Akui Alumni Kurang Mampu Bersaing karena Tak Miliki Skill

Setuju dengan Program Kampus Merdeka dari Mendikbud

Rektor Universitas Sriwijaya (Unsri), Anis Saggaf (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Palembang, IDN Times -Rektor Universitas Sriwijaya (Unsri), Anis Saggaf menyampaikan, pihaknya setuju dengan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang akan menerapkan program Kampus Merdeka dalam dunia pendidikan perguruan tinggi.

Menurut Anis, program yang disebut Mendikbud Nadiem Makarim memang bagus, dan pihaknya sudah membaca empat kebijakan, yang salah satunya mempersilakan mahasiswa untuk mengambil SKS (satuan kredit semester) dari program studi (prodi) lain.

"Tetapi yang perlu diperhatikan, mereka (mahasiswa) boleh ikut mata kuliah di luar prodi, asal masih berhubungan dengan jurusan induknya. Program ini juga mampu memperbaiki kualitas, dan mutu Unsri wajib ada perbaikan," katanya, kepada IDN Times, Minggu (26/1).

1. Rektor Unsri akui tak berhasil mencetak lulusan secara maksimal

Universitas Sriwijaya Indralaya (fk.unsri.ac.id)

Anis mengungkapkan, selama menjadi Rektor Unsri, dari keseluruhan mahasiswa yang lulus, sebagian alumni hanya mampu menyelesaikan studi tanpa memiliki kualitas dan kemampuan lain di luar bidang mata kuliah, yang didapatkan dari kegiatan belajar.

"Jujur saja, buka-bukaan sepanjang saya jadi rektor, tidak sampai 80 persen alumni berhasil. Ini faktor mahasiswa lulus tidak memiliki skill. Artinya bukan bodoh, tapi mereka tidak mampu bersaing dan tidak diperlukan pasar. Seharusnya kita meluluskan dengan melihat kemampuan mahasiswa, apakah dibutuhkan oleh tren sistem kerja saat ini," ungkapnya.

Hal ini, sambung Anis, menjadi tugas dan tantangan berat bagi prodi masing-masing dan dosen yang mengajar.

"Itu selain dari kerja keras si mahasiswa sendiri. Kalau dilihat dari keinginan pak menteri mungkin bisa-bisa Unsri tutup, karena kualitas lulusan semua prodi rata-rata tidak maksimal. Makanya tugas kampus menggodok anak-anaknya," sambung dia.

2. Kampus lebih mementingkan akreditasi dibandingkan mutu mahasiswa

Ilustrasi mahasiswa Unsri (IDN Times/Rangga Erfizal)

Anis menerangkan, selama ini kampus lebih mementingkan akreditasi instansi dibandingkan mutu mahasiswa. Sebagai contoh, pada batas akhir masa studi banyak mahasiswa yang menumpuk lantaran masa semester sudah habis.

"Tiap wisuda pasti ada prodi cuci gudang, meluluskan mahasiswa yang tidak bisa lulus tepat waktu. Masa studi itu 7-8 semeseter, kita menganjurkan untuk lulus tepat waktu. Kenyataannya, faktor keterlambatan lulus karena dari awal mahasiswa tidak di genjot kewajibannya, sehingga di akhir melakukan penghabisan supaya akreditasi tidak menurun," terang dia.

"Sejak saya jadi rektor, saya ingin melakukan reformasi seperti ini. Misal sistem di Amerika, sebelum lulus mahasiswa sudah ditunggu perusahaan. Tapi sulit, karena kebanyakan lebih mementingkan hal administratif, dibandingkan legalitas mutu terjamin," sambung dia.

Baca Juga: Isi Detail 4 Kebijakan Kampus Merdeka, Ada Hubungannya dengan SKS

3. Masih banyak prodi wajibkan KKN, padahal tak sesuai dengan konektivitas

FKIP Universitas Sriwijaya di Jalan Ogan, Palembang, (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Kemudian, urai Anis, ada beberapa prodi yang masih mewajibkan mahasiswa mengikuti pengabdian, seperti Kuliah Kerja Nyata(KKN). Padahal tidak sesuai dengan konektivitas ilmunya. KKN diwajibkan masuk SKS yang harus dipenuhi tanpa bisa diganti dengan mata kuliah lain.

"Saya nilai bidang ilmu di prodi kita masih terkotak-kotak. Basisnya kalau tidak ikut KKN tidak bisa sarjana. Padahal yang mengikuti KKN itu dikelompokkan, KKN konteksnya untuk pengabdian. Program kampus kerja lapangan dibagi menjadi pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Misal prodi teknik yang ilmunya bukan pengabdian, maka bukan KKN melainkan kerja lapangan di industri," urai dia.

Berita Terkini Lainnya