Dilema Kopi Liberica Desa Air Gading, Terhimpit Harga dan Kepunahan
Kebun kopi Liberica di Banyuasin hanya tersisa 20 persen
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Palembang, IDN Times -Saat ini jumlah lahan kebun tanam kopi Liberica asal Desa Air Gading, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel) hanya menyisakan 20 persen. Turunnya harga jual kopi secara nasional, ternyata berpengaruh pada produktivitas dari komoditas tersebut.
Petani kopi Desa Air Gading, Suratman menyatakan, dampak dari turunnya harga kopi membuat mereka beralih menanam kelapa sawit dan karet.
"Tiga puluh tahun lalu, 80 persen lahan di sini dominasinya kopi. Karena petani juga mencari keuntungan, maka beberapa tahun terakhir kopi ini kita alih fungsikan ke sawit dan karet, yang harganya lebih tinggi. Sekarang kami baru menyadari, kopi Sumsel terutama Liberica jadi punah dan langka. Maka sisa 20 persen (lahan) akan dimaksimalkan hasilnya," ujar dia, Sabtu (29/2).
1. Saat panen kebun kopi Liberica seluas 2 Hektare menghasilkan 40-50 karung biji kopi mentah
Suratman yang tiga tahun terakhir masuk ke Gabungan Kelompok Tani(Gapoktan) Desa Air Gading menjelaskan, untuk satu kali panen kopi dari kebun lahan seluas 2 Hektare (Ha) itu, mampu memproduksi 40-50 karung biji kopi mentah dengan per karung seberat 12-14 Kg. Sementara dari biji mentah hingga matang, yang melalui proses penjemuran dan penggilingan hanya menghasilkan 3,5 kg dari 10 kg biji mentah.
"Per kilo yang sudah matang di jual sekitar Rp15.000, beda lagi harganya kalau sudah di kemas. Kalo sudah melalui pengemasan per 150 gram atau sebungkus kopi dijual Rp20.000 yang premium (biji kopi diolah yang berwarna merah). Dalam setahun, kopi hanya dua kali panen per 6 bulan, dan sudah pohon maksimal produksi mulai 3-5 tahun. Dari panen ke kopi jadi butuh waktu 15-20 hari," jelas dia.
Baca Juga: Kondisi Kopi Indonesia: Konsumsi Rendah, Petani Didikte Importir