Mereka yang Berdamai dengan Jarum Suntik dan Obat Seumur Hidup
Penderita Talasemia harus transfusi darah seumur hidupnya
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Palembang, IDN Times – Darah dan obat menjadi gantungan hidup mereka, para penderita Talasemia. Penyakit kelainan darah yang diturunkan kedua orangtua kepada anak dan keturunannya. Penyakit ini dipicu kurangnya atau tidak terbentuknya protein pembentuk hemoglobin (Hb) utama manusia, sehingga pasien menjadi pucat karena kekurangan darah (anemia).
Jumlah penderita Talasemia di Indonesia meningkat pesat setiap tahun. Data dari Yayasan Talasemia Indonesia pada awal Mei 2021, jumlah penderita Talasemia di Indonesia mencapai 10.973 orang. Dari sisi pembiayaan menurut BPJS Kesehatan, Talasemia menempati posisi ke-5 penyakit tidak menular setelah penyakit jantung, gagal ginjal, kanker, dan penyakit stroke hingga 2,78 triliun pada 2020.
Penyakit Talasemia dapat diturunkan dari perkawinan antara dua orang pembawa sifat (carier) atau dalam istilah kedokteran disebut Talasemia Minor. Ketika dua orang tersebut menikah, hanya 25 persen kemungkinan anaknya lahir normal, 25 persen terjangkit, dan 50 persen menjadi carier.
Sedangkan pada penderita Talasemia Mayor, mereka memerlukan transfusi darah secara rutin seumur hidup, dengan periode transfusi antara 2-4 minggu sekali. Bahkan penderita Talasemia itu sendiri menyebut dirinya sebagai “Zombie” karena terus menerus membutuhkan transfusi darah seumur hidup. Berdasarkan hasil penelitian Eijkman pada 2012 lalu, angka kelahiran bayi dengan Talasemia Mayor sekitar 20 persen atau 2.500 anak dari jumlah penduduk ± 240 juta.
Orangtua yang mengetahui anaknya menderita Talasemia tak bisa berbuat banyak. Mereka hanya mampu mengupayakan buah hatinya mendapat transfusi darah diiringi konsumsi obat-obatan. Lama kelamaan, finansial keluarga yang awalnya stabil menjadi goyah. Barang-barang berharga terjual demi melanjutkan keberlangsungan hidup si buah hati. Walaupun pengobatan sudah ditanggung BPJS Kesehatan, namun biaya operasional selama pengobatan masih harus diupayakan. Belum lagi keluarga yang berasal dari daerah harus mendatangi rumah sakit besar yang memiliki fasilitas.
Baca Juga: Kisah Orangtua dan Penyandang Talasemia Sumsel; Transfusi Seumur Hidup
Baca Juga: Biaya Akomodasi Jadi Masalah bagi Penyandang Thalassemia di Kalbar
Baca Juga: Penderita Thalasemia di NTB Diketahui setelah Kondisi Parah
Sejauh ini penyandang Talasemia harus melakukan diagnosa ke rumah sakit tipe A yang ada di ibu kota provinsi. Masih belum ada RS di daerah yang dapat mendiagnosa pasien Talasemia di daerah karena keterbatasan dokter Hematologi. Sedangkan untuk perawatan transfusi RS di daerah biasanya sudah dapat membantu proses tersebut.
"Untuk diagnosa awal memang perlu ke RSMH Palembang, karena RS di daerah biasanya hanya melayani pemeriksaan darah HB, trombosit, dan leukosit saja. Jika transfusi saja bisa di daerah, sedangkan obat tetap harus di RSMH Palembang," ujar dia.
RSMH merupakan rumah sakit utama di wilayah Sumsel yang menangani pasien Talasemia setelah RSCM. Banyak pasien dari wilayah Sumbagsel yang harus datang ke RSMH untuk memeriksakan dirinya. "Pasien dari Bengkulu dan Jambi juga harus ke RSMH Palembang," ucapnya.
Ketua POPTI Kalimantan Barat (Kalbar), Windy Prihastasi, mengungkapkan masih ada penyandang Talasemia dari sejumlah kabupaten di Kalbar yang datang ke Pontianak hanya untuk transfusi darah. Hal ini tentu sangat memberatkan mereka, terlebih mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu.
“Permasalahannya adalah para orangtua penyandang Talasemia adalah orangtua yang tidak mampu, memang ditanggung BPJS dan obat-obatannya tapi akomodasinya tidak ditanggung. Kita kadang mencari bantuan untuk mengantar mereka dari RS mengambil darah, agar nanti darahnya yang diambil dari PMI bisa langsung transfusi,” ujarnya.
Cita-cita Windy sejak dulu adalah membuat rumah singgah untuk penyandang Talasemia. Bukan hanya sebagai rumah singgah, namun bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan keahlian mereka, tempat pelatihan anak-anak Talasemia berusia remaja, sehingga mereka punya keahlian-keahlian sendiri. Rumah singgah itu bisa digunakan untuk tempat tinggal sementara orangtua penderita Talasemia yang datang dari daerah.
“Kita sebenarnya sudah ada sahabat Talasemia, Cuma kita memang masih membutuhkan masyarakat yang ingin jadi sahabat Talasemia. Bukan hanya donasi berupa uang, tapi waktunya untuk menemani dan mengajak anak-anak Talasemia bermain, melakukan pemeriksaan psikolog penyandang Talasemia remaja,” katanya..
Baca Juga: Tiga Pasien Thalassemia di RSUD Tabanan Semuanya Perempuan
1. Habiskan biaya puluhan juta
Nurbaiti, Ketua Persatuan Orangtua Penderita Talasemia Indonesia Sumatra Selatan (POPTI Sumsel), menyebut 70 persen orangtua penderita Talasemia berasal dari keluarga tidak mampu, sisanya mereka yang mampu. Hanya saja, kemampuan ini akan berkurang jika terus menerus menanggung beban pengobatan seumur hidup.
Nurbaiti yang memiliki anak penderita Talasemia Mayor, mengatakan sempat menggunakan asuransi perusahaan hingga harus mengeluarkan uang untuk membayar pengobatan. Anaknya Putilia Maharani harus diobati secara rutin sejak ia berusia empat bulan, sedangkan pihak asuransi perusahaan akhirnya angkat tangan. Mau tak mau, dia harus mengeuarkan uang untuk biaya pengobatan.
"Dalam satu bulan, anak penderita Talasemia untuk transfusi dan obat menghabiskan biaya Rp10 juta. Bayangkan kalau dia memiliki anak lebih dari satu penderita Talasemia dalam keluarganya," ujar dia.
Seiring berjalan waktu, BPJS Kesehatan hadir meringankan para orangtua. Nurbaiti mencatat kemudahan itu dirasakannya sejak 2015, ketika biaya pengobatan semua penderita ditanggung BPJS Kesehatan. Namun tidak untuk biaya operasional yang membutuhan dana tidak sedikit.
"Semua ter-cover mulai dari obat hingga soal transfusi. Asalkan penyandang minum obat secara rutin dan melakukan transfusi rutin, mereka akan baik-baik saja," kata dia.
Dalam sebulan, Putilia bisa melakukan dua kali transfusi darah, tergantung aktivitas yang dilakukan anaknya. Nurbaiti awalnya sempat merasakan iri dan cemburu melihat anak seusia putri bungsunya bermain dengan bebas.
"Ini jadi aktivitas rutin. Bisa per tiga minggu sekali, tergantung kondisi anak. Kalau dia banyak aktivitas harus selalu transfusi bisa dua kali sebulan," ujar dia.
Karena menjadi Ketua POPTI Sumsel, Nurbaiti banyak bertemu dengan pasien dan orangtuanya. Nurbaiti ingin terus memberikan ilmunya kepada para orangtua dan penyandang talasemia, baginya ilmu dan pengetahuan harus dibagikan untuk saling menguatkan. Apalagi Sumsel menjadi penderita Talasemia dengan pertumbuhan cepat. Sumsel menjadi penyumbang kasus Talasemia terbesar di Pulau Sumatra.
Dari data POPTI Sumsel per Agustus 2023, jumlah penderita Talasemia di Sumsel mencapai 474 orang dengan total 339 orang yang rutin melakukan transfusi. Mereka yang menjalani transfusi kebanyakan adalah anak-anak dari rentang umur 1-17 tahun sebanyak 212 orang, selebihnya 127 orang merupakan sudah berusia dewasa. Sebagaimana fenomena gunung es, jumlah tersebut diyakini ada yang belum terdata.
"Paling banyak pasien berada di kota Palembang di urutan pertama dengan total 157 orang. Sisanya menyebar rata di kabupaten dan kota se-Sumsel," ungkap dia.
Baca Juga: Tiga Pasien Thalassemia di RSUD Tabanan Semuanya Perempuan
Baca Juga: 5 Perbedaan antara Talasemia Alfa dan Talasemia Beta
Baca Juga: Akses Faskes Penyakit Genetik Talasemia Semakin Baik di Lampung
Baca Juga: Mengenal Talasemia, Diidap oleh 10.647 Penduduk Indonesia
Baca Juga: 5 Tips Merawat Anggota Keluarga yang Mengidap Talasemia