Kisah Orangtua dan Penyandang Talasemia Sumsel; Transfusi Seumur Hidup

Sumsel paling banyak penderita Talasemia di Pulau Sumatra

Palembang, IDN Times - Butuh waktu bagi Nurbaiti untuk memahami penyakit Talasemia. Dirinya tak mengetahui bahwa ia dan suami merupakan pembawa gen Talasemia, atau penyakit kelainan darah yang mengharuskan anaknya terlahir harus transfusi darah seumur hidup.

Internet belum secanggih sekarang yang bisa diakses lewat handphone. Selain mengandalkan dokter saat mencari tahu tentang penyakit ini, Nurbaiti juga harus melakukan riset sendiri lewat buku-buku kesehatan.

Sudah 19 tahun Nurbaiti mendampingi anaknya Putilia Maharani yang divonis mengalami Talasemia. Suka duka dalam menghadapi penyakit ini sudah dirasakannya. Saat ini Nurbaiti berkomitmen membantu ibu-ibu lain di Sumsel melewati masa-masa sulit dari keluarga thalasemia.

"Tahun 2004 saya menjalani keikhlasan menjadi orangtua dengan anak penyandang Talasemia. Saya memberikan dukungan untuk keluarga saya, untuk saling menguatkan, termasuk anak saya, bahwa dia penyandang tidak ada perbedaan dengan anak normal. Biarlah sisanya Allah yang mengatur," ungkap Nurbaiti kepada IDN Times, Sabtu (11/11/2023).

Baca Juga: Menderita Thalasemia, Fitri Asih Tetap Aktif Jadi Pejuang Pendidikan

1. Mengetahui vonis dokter sejak anak berusia empat bulan

Kisah Orangtua dan Penyandang Talasemia Sumsel; Transfusi Seumur HidupKetua POPTI Sumsel Nurbaiti (IDN Times/Rangga Erfizal)

Sebagai orangtua dengan anak penyandang Talasemia Beta Mayor, Nurbaiti sempat merasakan dunia akan runtuh. Namun dirinya pasrah dan berserah diri. Ia menganggap apa yang diberikan Tuhan harus dijalani dengan keyakinan akan indah pada waktunya.

Saat pertama mendengar vonis dokter, Putilia Maharani baru berusia 4 bulan kala itu. Anaknya menunjukan gejala lemas dan kerap sakit-sakitan. Sebagai ibu muda saat itu, Nurbaiti berusaha membawa anaknya ke faskes untuk mencari tahu penyakit yang dideritanya.

"Anak saya ada dua, satu penyandang talasemia mayor dan satunya lagi pembawa gen," ujar dia.

Nurbaiti sudah bisa berdamai dengan keadaan. Ia menganggap penyakit ini sebagai karunia Tuhan. Dirinya menjadi orangtua yang lebih sadar akan kebutuhan khusus anaknya. Sebagai penyandang, anaknya tak boleh letih saat beraktivitas di rumah dan sekolah.

"Gak boleh banyak aktivitas berat seperti olahraga. Kita memberikan pengertian ke pihak sekolah (guru) bahwa anak kita ini tidak boleh capek dan harus menjalani transfusi," ujar dia.

Dalam sebulan, Putilia bisa melakukan dua kali transfusi darah, tergantung aktivitas yang dilakukan anaknya. Nurbaiti awalnya sempat merasakan iri dan cemburu melihat anak seusia putri bungsunya bermain dengan bebas.

"Ini jadi aktivitas rutin. Bisa per tiga minggu sekali, tergantung kondisi anak. Kalau dia banyak aktivitas harus selalu transfusi bisa dua kali sebulan," jelas dia.

Baca Juga: Deteksi Dini Pasangan sebelum Menikah Turunkan Kasus Thalasemia

2. Menangis berhari-hari tak dapat darah

Kisah Orangtua dan Penyandang Talasemia Sumsel; Transfusi Seumur HidupKetua POPTI Sumsel Nurbaiti (IDN Times/Rangga Erfizal)

Perjalanan panjang menemani penyandang talasemia membuat Nurbaiti paham betul kesulitan para orangtua yang memiliki anak talasemia. Saat awamnya penyakit ini, proses donor tak semudah sekarang. Dirinya sempat merasakan sulitnya mencari darah.

"Dulu orangtua selalu menangis berhari-hari tidak dapat darah. Apalagi mereka yang dari luar kota, tidak ada keluarga, sampai jam 12 malam tetap harus berjuang mencari. Perbaikan itu ada hasil, lima tahun terakhir ini udah mulai lancar," ujar dia.

Para pendonor kini sudah mulai peduli terhadap kebutuhan pasien talasemia. Mereka biasa mendonorkan darahnya di PMI atau Bank Darah RSMH Palembang. Jika stok darah menipis, mereka akan menghubungi para pendonor.

"Untuk kebutuhan pasien mereka memberikan support. Saya selalu sharing jika ada penderita talasemia yang kesulitan mendapat darah kepada pendonor. Saya pun kerap meminta bantuan secara kolektif," jelas dia.

3. Habiskan biaya puluhan juta per bulan

Kisah Orangtua dan Penyandang Talasemia Sumsel; Transfusi Seumur Hidupkelanakota.suarasurabaya.net

Menurut Nurbaiti, 70 persen orangtua penderita talasemia berasal dari keluarga tidak mampu, sisanya mereka yang mampu. Hanya saja kemampuan ini akan terus berkurang jika terus menerus menanggung beban pengobatan seumur hidup.

Nurbaiti sempat merasakan menggunakan asuransi perusahaan hingga harus mengeluarkan uang untuk membayar pengobatan. Pasalnya, talasemia merupakan penyakit yang harus diobati secara rutin, sedangkan pihak asuransi perusahaan akhirnya angkat tangan. Mau tak mau, dirinya harus keluar uang untuk biaya pengobatan.

"Dalam satu bulan, anak penderita talasemia untuk transfusi dan obat menghabiskan biaya Rp10 juta. Bayangkan kalau dia memiliki anak lebih dari satu dalam keluarganya," ujar dia.

Seiring berjalan waktu, BPJS Kesehatan hadir meringankan para orangtua. Nurbaiti mencatat kemudahan itu dirasakannya sejak 2015, ketika biaya pengobatan semua penderita ditanggung BPJS Kesehatan.

"Semua ter-cover mulai dari obat hingga soal transfusi. Asalkan penyandang minum obat secara rutin dan melakukan transfusi rutin, mereka akan baik-baik saja," jelas dia.

4. Sumsel jadi peringkat satu pertumbuhan Talasemia di Pulau Sumatra

Kisah Orangtua dan Penyandang Talasemia Sumsel; Transfusi Seumur Hiduphonestdocs.id

Karena berkecimpung dalam dunia talasemia, Nurbaiti banyak bertemu dengan pasien dan orangtuanya. Nurbaiti pun bergabung dengan Perhimpunan Orang Tua Penyandang Thalasemia Indonesia (POPTI) Sumsel.

Dari sini juga Nurbaiti banyak berbagi ilmu dan akhirnya terpilih sebagai Ketua POPTI pada tahun 2023. Nurbaiti ingin terus memberikan ilmunya kepada para orangtua dan penyandang talasemia, baginya ilmu dan pengetahuan harus dibagikan untuk saling menguatkan.

"Sumsel menjadi penderita talasemia dengan pertumbuhan cepat. Sumsel menjadi penyumbang kasus talasemia terbesar di Pulau Sumatra," jelas dia.

Dari data POPTI Sumsel per Agustus 2023, jumlah penderita Talasemia mencapai 474 orang dengan total 339 orang yang rutin melakukan transfusi. Mereka yang menjalani transfusi kebanyakan adalah anak-anak dari rentang umur 1-17 tahun sebanyak 212 orang, selebihnya 127 orang merupakan sudah berusia dewasa. Sebagaimana fenomena gunung es, jumlah tersebut diyakini ada yang belum terdata.

"Paling banyak pasien berada di kota Palembang di urutan pertama dengan total 157 orang. Sisanya menyebar rata di kabupaten dan kota se-Sumsel," ungkap dia.

Sejauh ini penyandang talasemia harus melakukan diagnosa ke rumah sakit tipe A yang ada di ibu kota provinsi. Masih belum ada RS di daerah yang dapat mendiagnosa pasien talasemia di daerah karena keterbatasan dokter Hematologi. Sedangkan untuk perawatan transfusi RS di daerah biasanya sudah dapat membantu proses tersebut.

"Untuk diagnosa awal memang perlu ke RSMH Palembang, karena RS di daerah biasanya hanya melayani pemeriksaan darah HB, trombosit, dan leukosit saja. Jika transfusi saja bisa di daerah, sedangkan obat tetap harus di RSMH Palembang," jelas dia.

RSMH merupakan rumah sakit utama di wilayah Sumsel yang menangani pasien Talasemia setelah RSCM. Banyak pasien dari wilayah Sumbagsel yang harus datang ke RSMH untuk memeriksakan dirinya.

"Pasien dari Bengkulu dan Jambi juga harus ke RSMH Palembang," jelas dia.

Adapun bagi penderita talasemia saat ini tidak perlu lagi menjalani rawat inap di RS karena semua proses transfusi dapat dilakukan dengan cepat dan mudah.

"Kalau hasil HB keluar, kita bantu untuk mengurus berkasnya sampai ke proses transfusi. Sekarang cukup rawat jalan saja. Para pasien tidak perlu lagi menunggu lama dan bisa bekerja, sekolah kembali, ataupun beraktivitas seperti biasa," jelas dia.

Baca Juga: Pasien Thalasemia, Kanker, dan HIV Sudah Bisa Vaksinasi COVID-19 

5. Rencana besar POPTI menekan kelahiran bayi Talasemia

Kisah Orangtua dan Penyandang Talasemia Sumsel; Transfusi Seumur Hidupwww.nih.gov

Sebagai Ketua POPTI Sumsel, Nurbaiti memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Dirinya bersama pengurus lain berusaha membantu penderita talasemia di kabupaten dan kota mendapat pengobatan yang sama, lewat ketersediaan obat dan transfusi. Semua itu dilakukan lewat koordinasi dan komunikasi dengan RS dan BPJS Kesehatan.

Tak jarang Nurbaiti harus mendampingi pasien-pasien dari luar Sumsel demi mendapat pengobatan di Palembang. Baginya, kerja seperti ini adalah tanggung jawab kemanusiaan.

"Saya juga cek anggota. Saya pantau jadwal transfusinya. Kalau lewat dari jadwal akan saya telepon saya akan tanya kendalanya apa. Rata-rata kendalanya gak ada uang untuk pergi ke Palembang. Kalau sudah seperti itu kita juga bingung," jelas dia.

Nurbaiti mengaku saat ini belum banyak CSR atau bantuan donasi yang diterima POPTI Sumsel. Beberapa pasien ada yang berhasil mengajukan proposal untuk meminta bantuan ke Baznas.

"Kita di POPTI Sumsel belum ada penyandang dana tetap. Kami perjuangankan ini untuk meringankan orangtua penyandang, karena 70 persen anggota kami merupakan orang tidak mampu," jelas dia.

Namun untuk masalah perawatan di Palembang, POPTI Sumsel sudah berupaya semaksimal mungkin membantu para pasien. Anak-anak yang harus mendapat perawatan dipastikan mendapat kamar dan pelayanan dari rumah sakit.

"Dari UGD sampai kamar saya memantau sampai benar-benar mereka dapat darah," jelas dia.

Langkah komprehensif dalam memutus mata rantai kelahiran anak dengan Talasemia Beta Mayor, POPTI terus melakukan kerja sama para dokter, akademisi, rumah sakit, serta mahasiswa untuk menyosialisasikan mengenai pentingnya pemeriksaan darah bagi pasangan pra-nikah, agar tidak ada lagi anak-anak yang harus menanggung beban akibat talasemia.

"Termasuk nanti saat anak saya mau menikah harus mencari pasangan yang tidak memiliki gen talasemia, agar mata rantai talasemia ini bisa berhenti. Supaya gak ada lagi anak-anak kelahiran Talasemia Mayor," ungkap Nurbaiti.

6. Saling menguatkan penderita Talasemia

Kisah Orangtua dan Penyandang Talasemia Sumsel; Transfusi Seumur Hidupunsplash.com/xaviermoutonphotographie

Senada diungkakan Welly Fernando, penyandang talasemia beta mayor ini mengakui jika harus merasakan transfusi darah seumur hidup. Dari umur belasan tahun sampai saat ini berusia 30 tahun, Welly memilih untuk berdamai dengan penyakitnya.

"Saya penyandang talasemia ini sudah lama dari SMP. Syukurnya semua orang di sekitar memberikan dukungan, mulai dari teman dan keluarga," jelas dia.

Seperti Putilia Maharani, Welly harus melakukan transfusi darah dua minggu sekali. Kalau telat transfusi, dirinya merasakan lemas karena HB berkurang.

"Transfusi ini juga bukan solusi, karena setelah transfusi ada penumpukan zat besi. Semakin sering intensitas transfusi dilakukan, maka akan banyak zat besi menumpuk, maka dari itu harus dibarengi minum obat," jelas dia.

alasemia bukan penyakit menular. Penyakit itu dibawa dari gen keluarga. Untuk memastikan keluarganya sehat, Welly juga melakukan skrining kepada anggota keluarga dengan memeriksakan darah ke RS.

"Kalau kami penderita keluarga wajib skrining juga. Untuk memutus mata rantai itu, saya juga melakukan peneriksaan pra nikah," jelas dia.

Welly sering membantu para dokter dan Perhimpunan Penyandang Thalasemia Indonesia (PPTI) Sumsel untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai penyakit ini.

"Kita sering melakukan sosialisasi bersama para dokter, ke kampus-kampus dan SMA," jelas dia.

7. Dua cara menekan talasemia

Kisah Orangtua dan Penyandang Talasemia Sumsel; Transfusi Seumur Hiduphalodoc.com

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumsel, Trisnawarman, mengungkapkan data talasemia setiap tahun mengalami kenaikan di Indonesia. Pada 2018, jumlah pengidap talasemia mencapai 8.616 orang dan meningkat menjadi 9.028 orang pada 2019, kemudian berlanjut menjadi 10.515 orang pada 2020. Jumlah penyandang talasemia selalu meningkat setiap tahunnya.

"Talasemia merupakan penyakit kelainan genetik yang paling banyak diderita masyarakat dunia. Ada peningkatan setiap tahun di dunia termasuk Indonesia," jelas dia.

Menurut Trisnawarman, mengatasi talasemia diperlukan dua jalan yakni retrospektid dan prospektif. Skrining retrospektif dilakukan dengan penelusuran pada keluarga penderita talasemia mayor. Sedangkan skrining prospektif dengan menjaring pembawa sifat talasemia pada populasi.

"Kedua cara ini dilakukan untuk mencegah pernikahan sesama pembawa sifat (carrier) talasemia, sehingga dapat mencegah kelahiran talasemia mayor di Indonesia," tutup dia.

Baca Juga: 7 Gejala Thalasemia yang Bisa Muncul dan Harus Diwaspadai 

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi

Berita Terkini Lainnya