KPMS Sumsel Terbentuk, Perjuangkan Kebebasan Pers Lawan Intimidasi

- Organisasi media, wartawan, dan masyarakat sipil di Sumsel bentuk KPMS sebagai perlawanan terhadap teror yang diterima Majalah Tempo.
- Serangan terhadap Tempo bukan insiden biasa, melainkan ancaman sistematis terhadap kebebasan pers secara nasional.
- KPMS Sumsel mengeluarkan tujuh poin tuntutan tegas terkait kasus teror Tempo, termasuk mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus secara transparan.
Palembang, IDN Times - Organisasi perusahaan media, wartawan, dan masyarakat sipil di Sumatra Selatan (Sumsel) membentuk Koalisi Pers dan Masyarakat Sipil (KPMS), bentuk perlawanan terhadap teror yang diterima Majalah Tempo.
Sebelumnya, Majalah Tempo mendapatkan intimidasi teror lewat pengiriman paket berupa kepala babi, bunga mawar, dan enam bangkai tikus. Kondisi ini jadi bukti nyata alarm kebebasan pers di Indonesia mulai tidak bisa bebas.
1. Teror terhadap Majalah Tempo dinilai sudah terstruktur

Penggagas KPMS Sumsel, Muhamad Nasir menyatakan, serangan terhadap Tempo bukan sekadar aksi teror terhadap satu media melainkan ancaman sistematis terhadap kebebasan pers secara nasional.
"Ini bukan insiden biasa. Ini pola terstruktur yang terus terjadi. Jurnalis di Indonesia bukan hanya menghadapi kekerasan fisik, tetapi juga serangan digital, kriminalisasi hukum, dan tekanan politik yang kian brutal," kata dia dalam diskusi terbatas yang digelar di Remington Hostel and Cafe, Palembang, Kamis (27/3/2025) malam.
Diketahui, diskusi tersebut turut dihadiri Jonheri (Ketua SMSI dan Plt Ketua PWI Sumsel), Anang (Ketua AMSI), Agus Harizal Alwie Tjikmat (Ketua JMSI), Yudie (Pimred Sripo-Tribun Sumsel), Fajar Wiko (Ketua AJI Palembang), M Fathoni (Pimred Sumsel24.com) dan Ujang Idrus (Pimred KetikPos.com).
Kemudian ikut serta sejumlah tokoh pers seperti Taufik Wijaya dan H Oktaf Riyadi, Beberapa praktisi pers dan aktivis seperti Andreas OP, Arlan, Syaid Falaq, Molem, Yosef (Relung.id), Ali Goik (Gandus TV), Handika (Lingkaran.id), termasuk juga perwakilan Tempo di Sumsel, Reza Parliza dan beberapa media siber lainnya.
2. Penegakan hukum lemah jadi sebab kebebasan pers tak bebas

Nasir menyampaikan, lemahnya penegakan hukum menjadi pemicu utama makin berani pelaku kekerasan terhadap pers. Kasus demi kasus yang berakhir tanpa hukuman tegas lanjutnya, menunjukkan adanya pola pembiaran sistematis.
"Berapa banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis yang benar-benar diselesaikan? Berapa banyak pelaku yang dihukum setimpal? Jika negara terus membiarkan ini terjadi, maka kita sedang menuju ke arah otoritarianisme berkedok demokrasi," kata Nasir.
KPMS Sumsel juga mencatat, ancaman terhadap jurnalis tidak hanya terjadi di tingkat nasional. Khusus Sumsel, wartawan kerap menjadi sasaran ancaman, intimidasi, hingga serangan fisik setelah menerbitkan berita-berita kritis.
"Jika pers dibungkam, masyarakat kehilangan hak atas informasi yang jujur. Ini bukan sekadar isu jurnalis, ini soal masa depan demokrasi kita," jelas dia.
3. KPMS Sumsel sebut ada kemungkinan aktor di balik teror Majalah Tempo

KPMS Sumsel menyoroti kemungkinan keterlibatan aktor-aktor tertentu di balik aksi teror terhadap Tempo. Menurut mereka, serangan ini bukan aksi spontan, melainkan bagian dari strategi sistematis untuk membungkam kritik.
"Ada kepentingan besar yang ingin melumpuhkan pers. Kami menduga ada aktor-aktor yang bekerja dalam bayang-bayang, baik dari dalam maupun luar pemerintahan. Ini yang harus diungkap tuntas," ujar Nasir.
Dia menambahkan, kriminalisasi terhadap pers bertentangan dengan semangat demokrasi dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Sayangnya, hukum yang seharusnya melindungi jurnalis justru sering dijadikan alat represi," katanya.
4. KPMS Sumsel keluarkan 7 poin tuntutan

Merespons teror ini, kata Nasir, KPMS Sumsel mengeluarkan tujuh poin tuntutan tegas: pertama menuntut pemerintah menjamin kebebasan pers sebagai hak konstitusional yang harus dilindungi dari segala bentuk intervensi politik, ancaman, dan kekerasan.
Kedua, mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus teror terhadap Tempo secara transparan dan profesional, serta mengungkap dalang intelektual di balik aksi intimidasi ini.
Ketiga, mendukung Tempo dan seluruh media untuk tetap menjalankan kerja jurnalistik secara profesional, independen, dan tanpa rasa takut. Media harus tetap berani mengungkap fakta demi kepentingan publik.
Keempat, menghimbau solidaritas jurnalis agar tetap teguh dalam menjalankan tugasnya, menjaga kode etik jurnalistik, serta saling melindungi dari ancaman kriminalisasi dan kekerasan, kelima mendorong penyelesaian sengketa pers melalui mekanisme hukum yang telah diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Penyelesaian sengketa tidak boleh dilakukan dengan cara-cara represif atau melalui tekanan kekerasan.
Selanjutnya keenam, menuntut aparat penegak hukum menghentikan kriminalisasi terhadap jurnalis dan masyarakat sipil, termasuk penyalahgunaan pasal-pasal karet seperti UU ITE yang kerap dijadikan alat untuk membungkam kritik. Dan ketujuh,
menegaskan bahwa pers sebagai pilar demokrasi tidak boleh dilemahkan oleh pihak mana pun.
"Setiap serangan terhadap pers adalah serangan terhadap rakyat! Jika kebebasan pers runtuh, demokrasi akan tumbang!" tegas Nasir.
KPMS Sumsel juga mengingatkan bahwa ancaman terhadap pers bukan hanya masalah jurnalis, tetapi juga menyangkut investasi, ekonomi, dan stabilitas sosial. Ketidakpastian hukum terhadap kebebasan pers akan berdampak pada iklim investasi yang semakin tidak kondusif.
"Jika pers terus ditekan, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan anjlok. Akibatnya bisa sangat berbahaya, mulai dari ketidakstabilan sosial hingga krisis ekonomi!" katanya.
KPMS Sumsel berharap kasus teror terhadap Tempo dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk serius melindungi kebebasan pers. Jika tidak, serangan-serangan berikutnya hanya tinggal menunggu waktu.
"Hari ini Tempo, besok bisa siapa saja. Pers harus melawan!" tegas dia.