TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

8 Tahun Tol Laut Jokowi: Waktu Tunggu dan Ketimpangan Volume Muatan

Pemerintah memerlukan beberapa hal untuk membenahi Tol Laut

Ilustrasi Infrastruktur (Pelabuhan) (IDN Times/Arief Rahmat)

Palembang, IDN Times - Tol Laut menjadi program andalan Presiden Joko 'Jokowi' Widodo ketika ia dilantik pertama kali sebagai Presiden Indonesia. Bahkan Tol Laut yang diluncurkan pada 20 Oktober 2014 melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub), dijadikan Program Strategis Nasional (PSN).

Selama delapan tahun berjalan, sektor angkutan laut mengalami peningkatan. Seperti trayek, jumlah pelabuhan yang disinggahi, kapasitas angkut kapal, serta volume muatan. Dikutip dari Gerai Maritim Kemendag, program Tol Laut telah melayani 33 trayek oleh 10 operator.

Namun Tol Laut jauh dari kata sempurna seperti yang diharapkan banyak pihak. Seperti apa perkembangan Tol Laut sampai sekarang? Apa dampak yang sudah dirasakan dan evaluasi terhadap program unggulan Presiden Jokowi?

Baca Juga: Tol Laut di Sulsel, Murah Tapi Waktu Tunggu Kapal Lama

Baca Juga: 100 Persen Tol Laut Belum Mudahkan Dunia Usaha Pelayaran di Jateng 

1. Volume muatan berangkat dan datang yang timpang

Kapal Tol Laut KM Logistik Nusantara 4. (dok. Kemenhub)

Ketua Indonesian National Shipowners' Association (INSA) Semarang, Hari Ratmoko mengungkapkan, semangat Presiden Jokowi meluncurkan program tol laut perlu disambut baik. Namun dalam perjalanannya, banyak hal yang belum siap baik itu konsep keseluruhan maupun teknis di lapangan.

‘’Tol laut makin ke sini tidak semeriah seperti di awal launching. Masih ada kendala dalam pelaksanaan bagi para pengusaha pelayaran,’’ ungkapnya saat dihubungi IDN Times, Sabtu (17/9/2022).

Bagi organisasi pengusaha perusahaan pelayaran angkutan niaga tersebut, tol laut memang memberi kemudahan untuk menghubungkan antar pulau. Kendati demikian, karena kondisi kapal dan pelabuhan yang berbeda tiap daerah menjadi tidak menguntungkan bagi sebagian pengusaha atau perusahaan pelayaran.

‘’Seperti di Pulau Jawa contohnya Jawa Tengah. Memang banyak kapal yang berangkat dari Pelabuhan Tanjung Emas membawa berbagai komoditas ke Indonesia bagian tengah dan timur. Kapal-kapal tersebut full saat berangkat, tapi muatan kapal sedikit bahkan dalam keadaan kosong saat kembali karena tidak ada komoditas yang dibawa ke Jawa,’’ kata Hari.

Situasi tersebut tidak menguntungkan bagi perusahaan pelayaran, sehingga perlu ada kebijakan terkait kemudahan usaha bagi pengusaha pelayaran.

‘’Load factor kapal masih rendah dari luar Jawa ke Pulau Jawa. Saat berangkat penuh tapi kembalinya tidak. Hal ini tidak signifikan bagi pendapatan kami, karena kapal kembali dalam keadaan kosong tanpa muatan. Apalagi saat ini harga BBM juga naik,’’ jelas Kepala Cabang PT Layar Sentosa Shipping Semarang itu.

Kemudian, kemudahan lain yang diinginkan perusahaan pelayaran adalah memiliki kapal baru untuk berlayar mengarungi nusantara. Sehingga, masalah tersebut membutuhkan solusi dukungan pemerintah dan perbankan.

‘’Kami membutuhkan kapal baru yang laik jalan. Sebab kapal yang sekarang ini sudah tua usianya. Usia kapal ini akan memengaruhi kemampuan kapal dalam berlayar,’’ ujarnya.

Kendati demikian, di antara kendala dan hambatan tersebut pengusaha dan perusahaan pelayaran menginginkan program tol laut ini tetap digulirkan. Namun, perlu ada evaluasi terkait konsep yang sudah berjalan selama ini.

Baca Juga: Lampung Minim Perkembangan Kawasan Picu Hilangnya Trayek Tol Laut

2. Waktu tunggu yang lama

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Makassar New Port, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (11/7/2019). ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/hp.

Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) menjadi satu di antara wilayah yang ditunjuk pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menjalankan program tol laut. Sulsel memiliki tiga pelabuhan yang menjadi simpul utama program tersebut, yaitu Pelabuhan Soekarno-Hatta di Kota Makassar, Pelabuhan Benteng di Kabupaten Kepulauan Selayar, dan Pelabuhan Garongkong di Kabupaten Barru.

Kepala Bidang Pelayaran Dishub Sulsel, Arlan, menjelaskan, tol laut diperuntukkan agar proses distribusi barang bisa lebih cepat dan murah. Kehadiran tol laut di Sulawesi Selatan memang dinilai memudahkan pengiriman barang dan lebih hemat biaya. Meski begitu, masih ada kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tol laut.

Arlan menyebut di antaranya waktu kedatangan kapal yang lama, sehingga pengusaha harus menunggu untuk mengirimkan barang jika ingin menggunakan jalur laut. Menunggu jadwal kedatangan kapal biasanya memakan waktu 3-4 hari bahkan lebih.

"Kalau komoditi yang pengusaha sudah kumpulkan telah tersedia terus jadwal kapal belum datang, maka harus disimpan dulu dalam gudang untuk di pelabuhan pasti disewa per hari," kata Arlan diwawancarai IDN Times, Jumat (16/9/2022).

Kendala lainnya, kata Arlan, yaitu ketidaktepatan waktu kedatangan kapal dengan waktu bagi pengusaha untuk mengumpulkan barang yang akan dikirim. Kadang-kadang, ada komoditi yang belum terkumpul namun kapal telah tiba, begitu pun sebaliknya.

"Akhirnya lewat. Kadang terkumpul barang, kapal belum datang. Kadang tidak tepat jadwalnya karena memang lama ditunggu kapal," katanya.

Pengiriman barang jalur darat kembali menjadi alternatif jika daerah yang dituju bisa dilalui via darat. Misalnya pengiriman barang dari Barru ke Sulawesi Barat atau dari Selayar ke Bulukumba.

Pengiriman jalur darat memang lebih cepat dibandingkan jalur laut. Namun tetap saja konsekuensinya muatan yang dikirim jauh lebih sedikit dibanding jalur laut. Sebaliknya, jika dikirim via laut, akan memakan waktu lama.

"Contoh di Garongkong di Barrru, di mana Parepare juga menggunakan tol laut. Beberapa (pengusaha) menyampaikan bahwa kalau barang dari Parepare dibawa ke Polman lewat laut, rugi waktu, karena daratnya bisa lebih cepat. Belum lagi kalau komoditi yang dikirim ini punya waktu expired seperti sayur-sayuran," kata Arlan.

Arlan mengatakan, pihaknya berencana mengusulkan penambahan pelabuhan untuk melayani program tol laut. Namun hal ini baru sekadar rencana, karena belum ada Surat Keputusan (SK) menyangkut hal itu.

"Jadi kita mau rencana kalau bisa, nanti kan ada lagi kita punya pelabuhan yang memang masih dikelola oleh pemerintah pusat, Dinas Perhubungan itu di Pelabuhan Awerange di Barru juga. Kita mau mengusulkan rute supaya bisa langsung terhubung yang tidak bisa via darat," kata Arlan.

Baca Juga: Program Tol Laut Berjalan 8 Tahun, Pustral UGM: 4 Hal harus Dibenahi 

3. Tak masuk rute dan trayek menghilang

Ilustrasi Infrastruktur (Pelabuhan) (IDN Times/Arief Rahmat)

Jika Sulsel mengajukan pelabuhan baru agar trayek tol laut bertambah, begitu juga dengan Sumatra Selatan (Sumsel). Provinsi Sumsel tak dipilih masuk dalam trayek tol laut tak dipilih oleh pemerintah pusat.

Padahal, hasil alam dari sektor pertanian, perkebunan, dan pertambangan, membutuhkan angkutan besar untuk disebar ke berbagai daerah. Alasan Sumsel tak masuk dalam skema karena tak memiliki wilayah terluar seperti beberapa wilayah kepulauan.

"Kita sejauh ini tidak masuk dalam program tol laut, karena semua logistik disalurkan lewat jalur darat dan sungai," ungkap Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Sumsel, Ari Narsa kepada IDN Times, Kamis (15/9/2022).

Ari menyebut, program tol laut sejatinya untuk membantu penyaluran logistik. Ia berharap Sumsel ditunjuk sebagai wilayah penyaluran logistik ke wilayah kepulauan ke depan, dari pelabuhan samudra baru yang rencananya akan dibangun di Pelabuhan Tanjung Carat, Kabupaten Banyuasin.

Meski bukan menjadi pelabuhan utama seperti pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Makasar, Tanjung Carat dinilai bisa menjadi feeder (pelabuhan pengumpan) jika terealisasi sebagai jalur distribusi.

Menurut Gubernur Sumsel, Herman Deru, kebutuhan terhadap pelabuhan baru dinilai sudah mendesak, mengingat kondisi Sungai Musi yang mengalami pendangkalan. Pelabuhan baru tersebut diharapkan bisa memaksimalkan bongkar muat dan ekspor komoditas unggulan Sumsel secara langsung.

"Kita ini satu-satunya wilayah ekspor yang masih mengandalkan pelabuhan sungai. Kita ingin punya pelabuhan lebih besar, sehingga ekspor kita bisa sejajar dengan Pulau Jawa," ujar Deru.

Jika Sumsel tetap mengandalkan pelabuhan Boom Baru, ekspor komoditas unggulan Bumi Sriwijaya akan tersendat. Hal inilah yang membuat banyak komoditas pertanian dan perkebunan Sumsel dikirim dari wilayah Lampung yang memiliki pelabuhan samudra, ditambah Infrastruktur yang dianggap lebih memadai.

Deru menilai, mengandalkan pelabuhan sungai berarti hanya cukup memanfaatkan kapal kecil. Sedangkan kapal besar tak dapat bersandar karena sungai yang mendangkal. Pilihan membangun pelabuhan baru adalah keharusan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

"Balai Karantina Pertanian bahkan menyebut jika selama ini hasil ekspor yang diberangkatkan dari Boom Baru harus dibawa ke Pelabuhan Belawan dulu. Maka pelabuhan baru ini bisa menjadi gerbang ekspor pangan bagi Sumsel," ujar dia.

PT Pelindo Regional II Palembang tak membantah jika masalah sedimentasi di Sungai Musi menjadi penilaian Palembang memerlukan pelabuhan baru, yang nantinya bisa dijadikan salah satu trayek tol laut.

Pelindo menjelaskan, pelabuhan Boom Baru memiliki luas lahan 24 hektare (Ha) dengan kapasitas panjang dermaga sekitar 771 meter, dan luas lapangan peti kemas mencapai 5,4 ha. Sedangkan Pelabuhan Tanjung Carat nantinya diproyeksikan memiliki luas 161 Ha.

Pada 2022, Pelindo II Palembang menarget bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Boom Baru mencapai 139,8 TEUS. Pada tahun lalu saja, kinerja bongkar muat di Boom Baru mencapai 121.591 TEUS atau menurun dibanding 2020 sebanyak 129.408 TEUS.

Trayek Tol Laut. (Ilustrasi Kemendag.go.id)

Bandar Lampung juga memproyeksikan pembangunan pelabuhan baru di Tanah Merah, yang bakal menjadi akses perdagangan dan pemenuhan logistik pangan. Rencana itu juga telah disampaikan Gubernur Arinal Djunaidi dan Wagub Chusnunia Chalim, dalam Forum Rakor Gubernur se-Sumatra. Bahkan pihaknya menandatangani MoU antara Pemprov Lampung dan Pemprov Bangka Belitung.

"Gubernur juga telah berkoordinasi dan mendorong Kemenhub RI untuk melakukan percepatan pembangunan serta membuka alur logistik Tanah Merah dan Batu Balai," terang Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Pemprov Lampung, Kusnardi.

Sungai Mesuji memiliki panjang 220 kilometer (Km) dan luas DAS 2053 km persegi, dengan potensi sumber daya air dan perikanan yang besar untuk dikembangkan. Oemerintah daerah telah memfasilitasi dan mendorong Kementerian Kelautan dan Perikanan RI untuk membangun Balai Benih dan Budidaya Perikanan di wilayah Mesuji.

"Seperti pernah disampaikan pak Gubernur, Mesuji akan dijadikan sebagai Kabupaten Perikanan. Itu semua sudah disampaikan ke pusat melalui kementerian terkait," tambah Kusnardi.

Ide pelabuhan baru itu bukan tanpa sebab, karena Provinsi Lampung sudah dikeluarkan dalam trayek tol laut. Kebijakan pusat mengesampingkan Lampung dalam skema program nasional gagasan Presiden Jokowi terjadi di zaman Gubenur periode sebelumnya. Padahal, Pelabuhan Panjang sempat diresmikan melayani rute tol laut hingga Jawa Timur pada Juni 2016 silam.

Eksistensi tol laut Pelabuhan Panjang kala itu dilayani PT Atosim Lampung dengan jumlah armada 3 kapal Roll-on/Roll-off (RoRo), yaitu KM Mutiara Sentosa II, KM Mutiara Sentosa III, dan KM Mutiara Timur I, yang harus meredup usai beroperasi kurang dari dua tahun. Penyebabnya tak diiringi dukungan pola perkembangan kawasan, semisal pada industri, perkebunan, maupun pertanian.

"Jadi kawasan kita lokasi kegiatan ekonomi, pusat-pusat pertumbuhan, pemukiman, dan lain, ternyata tidak berubah ketika pola perkembangan transportasi muncul. Sebab tidak terkoneksi dengan pola yang sudah ada dikarenakan hal baru," kata dosen KK Perencanaan dan Pengembangan Infrastruktur (PPI) PWK ITERA, Ilham Malik, kepada IDN Times, Jumat (16/9/2022).

Ilham melanjutkan, tersendatnya konektivitas perkembangan transportasi dengan kawasan di Provinsi Lampung menjadi penyebab utama penghalang kemajuan penggunaan trayek tol laut di Pelabuhan Panjang.

Alhasil di luar aktivitas normal, hanya sesekali difungsikan sebagai tol laut, semisal kala memasuki periode arus mudik dan balik momen Hari Raya Idul Fitri. Oleh karenanya, pengembangan pola transportasi laut harus dukung integrasi antar moda dan keterhubungan antara lokasi produksi dengan pasar, hingga diperlukan pembagian peranan antar kewilayahan.

Penyebab lain kemunduran perkembangan tol laut di Lampung adalah kurangnya perhatian pemerintah terhadap olahan produksi asal Lampung. Itu kemungkinan tidak banyak dikonsumsi atau difungsikan oleh masyarakat tinggal di wilayah tujuan pengiriman barang.

"Akhirnya tidak ada pengangkutan barang skala besar dan rutin yang membutuhkan tol laut. Ini juga membuat tol laut tidak berkembang, karena penggunanya tidak banyak," ucap Ilham.

Baca Juga: Solusi Masyarakat Kalsel dalam Memenuhi Kebutuhan Barang

4. Tiga pokok penentu tol laut

Ilustrasi aktivitas di pelabuhan. ((ANTARA FOTO / Aditya Pradana Putra))

Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) juga tak masuk dalam jalur program tol laut. Namun bagi masyarakat Kalsel, pemerintah daerah sudah bisa mengelola kebutuhan pokok sendiri.

"Sebenarnya praktik tol laut di Kalsel sudah berjalan jauh sejak dulu. Hanya saja ini adalah program pusat," kata dosen ekonomi Universitas Islam Kalimantan (Uniska), Muhammad Zainul kepada IDN Times, Jumat (16/9/2022).

Zainul mengatakan, suatu daerah harus mampu dalam pengelolaan ketersediaan barang bagi masyarakat. Tujuan utamanya agar ketersediaan pasokan barang mencukupi hingga tidak dimainkan pihak-pihak lain.

Dalam kasus jalur tol laut nusantara, Zainul beranggapan, tidak berpengaruh langsung bagi masyarakat di Kalsel. Masyarakat Kalsel sudah sejak dulu menjalankan konsep tol laut, yakni menciptakan pemerataan kebutuhan antar daerah lewat proses distribusi produk yang lancar sehingga membuat harga barang menjadi lebih murah.

Zainul menyatakan, hal yang harus diperhatikan dalam tol laut itu ada tiga segmen. Pertama ketersediaan infrastruktur pelabuhan, kedua ketersediaan sarana angkutan (kapal), ketiga penampungan atau pemasok kebutuhan industri dan pasar (offtaker).

Kalsel memiliki sarana pelabuhan dan angkutan laut cukup memadai. Persoalan menjadi kendala ada keterbatasan penampungan produk-produk barang produksi. Offtaker ini dapat menampung produk dari masyarakat dalam jumlah banyak yang kemudian bisa disuplai ke beberapa daerah agar tujuan pemerataan tersampaikan. 

"Karena produk mereka tersalurkan dengan baik, tentu ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat," jelasnya.

Peneliti Senior Pusat Studi dan Logistik (Pustral) dari Universitas Gajah Mada (UGM), Arif Wismadi, menjelaskan setelah berjalan hampir delapan tahun ada sejumlah hal yang dinilai perlu dibenahi dari tol laut.

"Sebagai konsep untuk menurunkan disparitas harga antar wilayah maka tol laut adalah bagus. Begitu juga pilihan untuk mengelola biaya transportasi Rp0 sehingga harga di Surabaya sama dengan di Papua juga tepat. Namun demikian, dalam pelaksanaan banyak hal perlu dibenahi,” kata Arif Wismadi, Sabtu (17/9/2022).

Arif menjelaskan meski telah terjadi peningkatan seperti trayek, jumlah pelabuhan yang disinggahi, kapasitas angkut kapal hingga volume muatan, sejumlah masih perlu dibenahi untuk memaksimalkan fungsi tol laut ini.

“Yang pertama adalah volume dan daerah pengaruh dari distribusi komoditas tol laut. Untuk menurunkan harga maka perlu volume yang besar. Dalam istilah Jawa, sepertinya nguyahi segoro. Dari kajian yang telah dilakukan, efek penurunan harga akan terjadi jika distribusi komoditas dengan volume cukup tersebar dalam radius 300 km. Jika hanya pada satu desa atau klaster desa maka tidak berdampak,” ucap Arif kepada IDN Times.

Arif yang juga Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) untuk IPTEKS Transportasi itu menyebutkan, kondisi lain di lapangan adalah komoditas tol laut bercampur dengan komoditas non-tol laut.

“Efeknya adalah harga jual pada tingkat retail yang tidak terawasi akan naik. Artinya manfaat program bukan pada sasaran akhir atau masyarakat yang dituju,” ujarnya.

Arif menyebut tantangan yang dihadapi pemerintah dalam pengembangan tol laut ini adalah pendanaan. Pemerintah tidak akan memiliki kapasitas fiskal yang cukup. “Oleh karena itu perlu ada perubahan sistem, setidaknya jika disparitas tidak terdampak, namun target program bisa dicapai,” ucap Arif.

Baca Juga: Lewat Tanjung Carat, Sumsel Berharap Jadi Gerbang Ekspor Impor

Berita Terkini Lainnya