Fenomena Rojali dan Rohana, Ekonom Unsri: Pola Konsumsi Urban Berubah

- Daya beli masyarakat alami stagnanasi
- Pergerasan pola konsumsi dari kepemilikan barang ke pengalaman
- Sinyal pergeseran pola konsumsi diharapkan ditangkap pemerintah dan pengusaha sebagai peluang
Palembang, IDN Times - Pola konsumsi masyarakat urban terus mengalami pergeseran. Pusat perbelanjaan yang dulunya identik dengan aktivitas belanja, kini lebih sering didatangi untuk hiburan, kuliner, hingga sekadar bersosialisasi.
Alih-alih membeli pakaian atau barang elektronik, banyak pengunjung mal mengalihkan pengeluaran mereka untuk tiket bioskop, makanan, atau minuman di kafe dan restoran, meski dengan pola pembelian yang lebih kecil.
"Perilaku konsumen urban cenderung berkunjung tanpa banyak bertransaksi di mal dianggap sebagai shifting consumption ke sektor lain di luar Mal, atau lebih tepatnya, pergeseran dalam alokasi pengeluaran di dalam ekosistem Mal itu sendiri," ungkap Ekonom Universitas Sriwijaya (Unsri), Abdul Bashir kepada IDN Times, Jumat (22/8/2025).
1. Daya beli masyarakat alami stagnasi

Dosen Ekonomi Pembangunan Unsri tersebut menilai, fenomena Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya) bukan semata karena pergeseran nilai di masyarakat. Menurutnya, kecenderungan itu muncul akibat daya beli yang stagnan serta perubahan preferensi belanja di kalangan generasi muda.
"Meski inflasi di Indonesia terjaga, pendapatan riil masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah, tidak sebanding dengan kenaikan harga barang dan jasa. Akibatnya, daya beli mereka ikut tertekan," jelas dia.
Selain itu, dirinya memandang generasi muda khususnya Milenial dan Gen Z, memiliki preferensi dalam memandang pola konsumsi yang berbeda. Mereka cenderung mengutamakan pengalaman, interaksi sosial, dan ekspresi diri melalui media sosial. Mal bagi mereka bukan lagi sekadar tempat transaksi, melainkan ruang publik untuk bersosialisasi, menciptakan konten, dan mencari hiburan.
"Ini sejalan dengan tren global "experience economy" di mana konsumen rela membayar lebih untuk pengalaman daripada sekadar produk," jelas dia.
2. Ada pergeseran nilai konsumsi di masyarakat

Pergeseran yang terjadi pada pola konsumsi tersebut membuat masyarakat cenderung tidak terpolarisasi dalam pola konsumerisme lama. Mereka cenderung beralih dari konsumsi berbasis kepemilikan barang menjadi konsumsi berbasis pengalaman.
Pola-pola ini terlihat dari banyaknya anak muda yang bepergian melakukan perjalanan, menonton konser atau nongkrong di cafe. Perubahan pola ini didukung oleh kemajuan teknologi dan perkembangan ekonomi, budaya dan sosial yang cenderung berpaku pada media sosial,
"Masyarakat mungkin mengurangi pembelian barang yang bersifat impulsif, tetapi bersedia mengeluarkan uang untuk hiburan, rekreasi, atau kegiatan yang memberikan nilai tambah dalam bentuk pengalaman," jelas dia.
3. Ada perlambatan pada konsumsi rumah tangga

Alih-alih mengharapkan pertumbuhan ekonomi, perilaku konsumen yang mengedepankan aspek sosial dan gaya hidup dalam fenomena rojali dan rohana justru dapat menjadi ancaman jangka panjang bagi sektor retail dan F&B tradisional di Indonesia apabila tidak diadaptasi dengan baik.
Data ekonomi menunjukkan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup stabil, terdapat indikasi pergeseran pola pengeluaran masyarakat. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan II-2025 tumbuh sebesar 4,96 persen (yoy), angka ini tumbuh melambat dari triwulan I-2025 sebelumnya yaitu sebesar 4,95 persen,
"Ini menunjukkan perlambatan pada konsumsi rumah tangga di beberapa kelompok belanja primer dan sekunder, meskipun ada momen perayaan hari besar keagamaan, seperti Idul Fitri, Waisak, hingga Idul Adha. Hal ini menandakan bahwa sebagian masyarakat lebih selektif dalam berbelanja barang," jelas dia.
4. Pola bisnis experience economy perlu dikedepankan

Sinyal pergeseran pola konsumsi di masyarakat, diharapkan mampu ditangkap pemerintah dan pengusaha sebagai sebuah peluang dari pada merasa hal ini sebagai ancaman. Perlu upaya mengubah pola bisnis yang mengedepankan experience economy.
Menurut Bashir, pemerintah harus segera melakukan pengembangan sektor pariwisata domestik, industri kreatif, dan penyedia jasa hiburan yang berkualitas. Lalu mendukung UMKM berbasis pengalaman seperti memberikan insentif bagi UMKM yang menawarkan produk dan jasa unik yang berorientasi pada pengalaman.
"Contohnya dengan mengedepankan workshop, kelas memasak, atau pertunjukan seni di mal dan mengembangkan infrastruktur pendukung seperti aksesibilitas dan kenyamanan transportasi publik menuju pusat perbelanjaan," jelas dia.
5. Mall dinilai perlu melakukan inovasi

Menurutnya, kondisi ini juga harus dilihat sebagai peluang bagi retail dan F&B di mall dalam bertranformasi dari sekedar tempat belanja menjadi destinasi gaya hidup dan hiburan yang terintegrasi. Salah satu yang bisa digunakan dengan memperluas area komunal untuk kegiatan komunitas, instalasi seni dan atraksi yang interaktif.
"Mal perlu bertransformasi dari sekadar tempat belanja menjadi ruang gaya hidup dengan acara komunitas, instalasi seni, hingga atraksi interaktif," beber Bashir.
Inovasi lain adalah mengintegrasikan ranah digital dan fisik (O2O), seperti mengoptimalkan kehadiran online untuk menarik pengunjung offline, serta menganalisis data pengunjung guna mengidentifikasi potensi pendapatan baru dari aspek lain.
"Retailer dan gerai F&B harus fokus pada pengalaman, mulai dari layanan personal, desain interior menarik, hingga promosi digital yang mampu menarik konsumen muda," jelas dia.
Fenomena Rojali dan Rohana bukan semata ancaman, melainkan refleksi dari evolusi perilaku konsumen yang harus direspons dengan strategi adaptif dan inovatif. Kegagalan untuk beradaptasi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi domestik di sektor retail.
"Keberanian untuk bertransformasi dapat membuka jalan menuju pertumbuhan berbasis pengalaman yang lebih berkelanjutan," beber dia.