Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Cara Warga Pegunungan Indonesia Hidup dan Bertahan dari Bencana

Gunung Dempo di Pagaralam, Sumatera Selatan. (IDN Times/ Deryardli Tiarhendi)
Gunung Dempo di Pagaralam, Sumatera Selatan. (IDN Times/ Deryardli Tiarhendi)

Pagar Alam, IDN Times - Sudah delapan tahun bagi Ardiansyah menjadi warga Kota Pagar Alam atau sejak 2014 silam. Niat awalnya hanya untuk menghindari ruwetnya masyarakat kota Palembang, ia memilih menetap di Kampung IV, sebuah perkampungan kaki Gunung Dempo.

Ia bersama beberapa pemuda di kota Pagar Alam menghidupkan Balai Desa Kampung IV menjadi tempat yang layak untuk dikunjungi, atau bahkan ditinggali oleh pendaki yang ingin naik maupun turun dari Gunung Dempo.

"Niatnya waktu itu kita ingin mendata orang-orang yang mau mendaki, lalu meminta mereka untuk mengonfirmasi setelah pulang dari gunung. Biar lebih mudah untuk mengevakuasi jika terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan," ujarnya, Sabtu (10/12/2022).

1. Gunung sebagai tempat yang sakral

Kafe di kaki Gunung Dempo dengan pemandangan menghadap kota Pagaralam. (IDN Times/ Deryardli Tiarhendi)
Kafe di kaki Gunung Dempo dengan pemandangan menghadap kota Pagaralam. (IDN Times/ Deryardli Tiarhendi)

Ardiansyah mengungkapkan, banyak pendaki yang sesuka hati datang atau pergi tanpa pemberitahuan. Padahal menurutnya memberi presensi bagi warga kampung cukup penting sebagai langkah mitigasi kebencanaan.

Ia menerangkan, masyarakat Pagar Alam menganggap Dempo sebagai gunung yang sakral. Masyarakat menghormati Dempo sebagai satu entitas antara alam dengan manusia. Hubungan itu terlihat dari kultural, sosial, hingga ekonomi masyarakat yang tinggal di kawasan kaki gunung dengan ketinggian 3.142 Meter Di Atas Permukaan Laut (MDPL).

"Sebagaimana gunung yang ada di Indonesia, masyarakat Pagar Alam khususnya yang berada di kaki gunung Dempo menganggap gunung ini sakral. Peran komunitas pencinta alam baik lokal di Pagar Alam maupun Palembang sangat baik," katanya.

Menurutnya lagi, masyarakat dan pegiat lingkungan Pagar Alam menilai mitigasi bencana tetap menjadi prosedur utama bagi masyarakat di kaki gunung. Selama ini tim Basarnas RI dan BPBD Pagar Alam berupaya memitigasi lewat seminar maupun penerapan titik kumpul.

"Kalau antisipasi bencana sih sempat ada sejak dulu, dari Basarnas hingga BPBD melakukan penyuluhan hingga latihan gabungan (Latgab) ke warga. Namun memang perlu dirutinkan untuk menentukan titik kumpul dan jalur evakuasi jika suatu waktu bencana datang," jelas dia.

Sebagai gunung aktif dengan erupsi freatik, Dempo tetap perlu diwaspadai karena sesekali mengeluarkan abu. Ketika abu dimuntahkan, masyarakat Pagar Alam akan merasakan dampak. Meski wilayah Kabupaten Lahat dan Empat Lawang hanya terdampak lahar dingin.

"Tetap waspada soalnya gunung masih aktif, sesekali ada letusan kecil tapi dampaknya tidak besar dan parah. Hujan abu yang tertimpa angin akan jatuh di kaki gunung dan dampaknya ke tanaman petani," jelas dia.

2. Belajar dari Sinabung dan warga Karo

Erupsi Sinabung, Rabu (28/7/2021). (Istimewa)
Erupsi Sinabung, Rabu (28/7/2021). (Istimewa)

Masih lekat dalam ingatan Anto ketika Gunung Sinabung mulai aktif pada 2010. Gunung api di Kabupaten Karo yang sudah tertidur selama 400 tahun itu, memuntahkan material vulkanik. Bahkan hingga sekarang setelah 12 tahun berlalu, Gunung Sinabung masih sering erupsi kecil atau batuk-batuk.

Anto mengenang erupsi pada Februari 2014. Sebanyak 17 orang meninggal dunia, dan erupsi pada 22 Mei 2016 menyebabkan 7 orang tewas beserta korban lain yang mengalami luka bakar. Puluhan ribu orang mengungsi akibatnya letusan ini. Sejumlah desa dinyatakan ditutup dan disediakan tempat tinggal baru.

Setelah peristiwa itu, warga menjadi tanggap bencana. Sinabung yang masih mengalami erupsi, dijadikan pembelajaran bagi warga sekitar. Kepanikan saat erupsi sudah bisa dihadapi masyarakat.

“Kami masyarakat yang ada di Sinabung sudah punya persiapan kalau erupsi,” kata Anto. Biasanya ketika erupsi terjadi, Anto sudah menyiapkan kendaraannya untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Kemudian, mempersiapkan barang-barang penting seperti selimut, masker, jaket, dan lainnya. “Jangan lupa, surat-surat atau dokumen penting selalu kami siagakan untuk dibawa saat erupsi terjadi,” katanya.

Masyarakat Karo ternyata masih begitu lekat dengan adat istiadat. Dahulu warganya masih melaksanakan ritual untuk memberikan penghormatan kepada leluhur di Sinabung. Dilansir dari berbagai sumber, masyarakat di Karo pada 2013 melaksanakan ritual tolak bala. Ritual yang dinamai Encibelin Nini Lau Pirik itu dilakukan di Desa Guru Kinayan. Ritual serupa juga sering dilakukan di desa-desa lain di kaki Sinabung.

“Dulu di Danau (Lau) Kawar itu dilakukan ritual melepaskan kambing atau Mpulahi kambing. Ini sebagai penghormatan kepada Sinabung,” ungkapnya.

Saat ini Anto masih tinggal di dekat Sinabung. Dia mendirikan sebuah kafe yang dijadikan lokasi pemantauan Sinabung. Di kafenya juga para jurnalis dari berbagai media nasional hingga luar negeri mengabadikan Sinabung saat erupsi. 

3. Berkah dan penuh waspada

Ilustrasi - Suasana Dusun Curah Kobo'an, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang yang dekat dengan puncak Gunung Semeru, pada Desember 2021. (IDN Times/Aditya Mustaqim)
Ilustrasi - Suasana Dusun Curah Kobo'an, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang yang dekat dengan puncak Gunung Semeru, pada Desember 2021. (IDN Times/Aditya Mustaqim)

Bagi warga desa seperti Suryadi, kebahagiaan terbesarnya adalah menikmati hidup dengan tanaman tumbuh subur serta tak gagal panen. Selama puluhan tahun, warga Dusun Kajar Kuning, Desa Sumberwuluh, Candipuro tersebut merasakan kenikmatan itu. Tuhan menganugerahkan Gunung Semeru dengan tanah yang sangat subur kepadanya dan warga setempat. 

“Kalau tinggal di kaki gunung itu enak, subur tanahnya. Saya punya satu hektare lahan sawah, dulu ditanami jagung, enam bulan sekali panen dapatnya Rp6 juta,” kata dia kepada IDN Times, Sabtu (10/12/2022). 

Namun Suryadi tak memungkiri sering dihantui bencana alam. Salah satu yang paling sering ia rasakan adalah guncangan akibat aktivitas gunung. “Sering ada guncangan."

Puncaknya tentu saja tahun lalu. Gunung tertinggi di Pulau Jawa ini mengeluarkan awan panas pada 4 Desember 2021. Sebanyak 51 orang tewas dan 22 lainnya hingga kini dinyatakan hilang. Kondisi parah ini tak luput dari lokasi desa tersebut. Meski berjarak 16 kilometer dari puncak Semeru, desa ini masuk dalam jalur aliran awan Semeru.

Kecemasannya makin menjadi saat Minggu (4/12/2022), Semeru kembali erupsi. Meski tak separah tahun lalu, lebih dari 2.000 orang tetap harus mengungsi. Tapi dengan seringnya terjadi bencana, Suryadi mengaku belum pernah mendapat edukasi dari pemerintah. “Kami gak tahu (cara mitigasi). Lari saja, pokoknya selamat,” terangnya. 

 Reza Ardhani, warga Desa Ranu Pani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, mengaku kerap menggelar upacara adat bersama warga setempat. Upacaranya beragam mulai dari Pujan Kasanga yang digelar setiap bulan, Hari Raya Karo yang digelar setiap setahun sekali, hingga Unan-unan yang digelar setiap lima tahun sekali. 

“Tujuannya menuruskan adat zaman dulu, juga agar desanya tentrem dan aman," kata dia.

Tak seperti Sumberwuluh tempat Suryadi tinggal, Ranu Pani bukan merupakan jalur aliran Awan Guguran Panas (AGP) erupsi Semeru. Warga Ranu Pani pun tampaknya lebih siap menghadapi bencana.

Warga desa telah membuat jalur evakuasi. Bahkan mereka juga kerap mendapat edukasi mitigasi bencana. “Baru jalan tiga tahun (edukasi mitigasi bencana), tim dari BPBD juga ada, cuma yang belum ada itu alat (yang menunjang mitigasi bencana) belum,” pungkasnya.

4. Pemandangan awan panas setiap hari

Pemandangan Gunung Anak Krakatau dari Pulau Sebesi. (Dok. Masyarakat Pulau Sebesi)
Pemandangan Gunung Anak Krakatau dari Pulau Sebesi. (Dok. Masyarakat Pulau Sebesi)

Lampung ternyata memiliki empat gunung berapi besar, yakni Gunung Anak Krakatau, Gunung Sekincau, Gunung Rajabasa, dan Gunung Suoh. Hingga saat ini, aktivitas magma di gunung-gunung tersebut masih ada. Begitu juga masyarakatnya yang tinggal di sekitar kawasan.

Rahmat merupakan warga asli Pulau Sebesi, Lampung Selatan. Tempat tinggalnya hanya berjarak sekitar 19 kilometer dari Gunung Anak Krakatau, gunung vulkanik yang muncul setelah ledakan Gunung Krakatau pada 1883 lalu.

Ia sudah puluhan tahun menjadi nelayan dan tinggal di Pulau Sebesi. Meski pulau dengan luas 2.620 hektare itu dekat dan rentan menjadi lokasi bencana Gunung Anak Krakatau, namun Rahmat tak sendiri karena banyak masyarakat Lampung menggantungkan hidupnya di pulau tersebut.

“Ada sekitar 3.000 penduduk dan pusat pemukimannya di utara pulau. Sebenarnya kalau keresahan bencana Anak Krakatau pasti ada, apalagi pasca tsunami (2018 lalu di pesisir Lampung dan Banten) itu, trauma masih tersisa,” ungkap Rahmat, Jumat (9/12/2022).

Namun karena di pulau itu sudah menjadi tempat tinggal, bersekolah, dan tempat mencari nafkah, masyarakat Pulau Sebesi tetap mencintai loaksi tersebut. Mereka harus dan sudah terbiasa dengan aktivitas gunung yang sering menghembuskan awan panas.

“Kami sudah biasa melihat erupsi Anak Krakatau. Apalagi kalau yang saat erupsi besar dan sudah berwarna merah. Cemas ada, tapi itu sudah seperti pemandangan sehari-hari,” ungkapnya.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Lampung, Rudy Sjawal Sugiarto mengatakan, mitigasi bencana di Provinsi Lampung sudah berada di tahap kesiapsiagaan, bukan lagi tahap darurat dan rehabilitasi rekontruksi.

“Kami di BPBD provinsi sudah membentuk desa tanggap bencana di wilayah yang rentan terhadap tsunami, khususnya di pesisir Lampung seperti di Kunjir Lampung Selatan,” katanya.

Ia menjelaskan, masyarakat di sana sudah dilatih secara mandiri agar bisa melihat tanda bencana dan tanggap bencana. Ketika bencana datang, warga tidak terlalu panik dan tahu apa yang akan dilakukan.

5. Berharap gerap cepat pemerintah dan teknologi informasi

Gunung Agung. (ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)
Gunung Agung. (ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)

Walau Bali termasuk pulau yang kecil, namun memiliki dua gunung api aktif yakni Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, serta Gunung Batur yang berlokasi di Kabupaten Bangli. Keberadaan dua gunung tersebut bagi masyarakat Bali sangatlah penting mulai dari kepentingan ekonomi, budaya, dan tentunya religius. 

Gede Mujayasa (24), warga yang tinggal di Kawasan Desa Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, tidak jauh dari Gunung Batur yang meletus terakhir pada 2000 silam. Dari penuturan tetua di desanya, Gunung Batur terakhir meletus dahsyat pada 1926 yang membuat masyarakat memindahkan Desa Batur.

"Dulu informasi tetua desa itu di bawah di kaki Gunung Batur, dan pindah agak menjauh setelah meletus tertimbun material letusan" ungkapnya.

Walau tinggal di dekat Gunung Batur, namun tak ada pilihan bagi Mujayana atau warga lain kecuali selalu waspada. Ia hanya berharap pada kemajuan teknologi informasi serta gerap cepat pemerintah.

"Sekarang kan informasi sudah canggih. Jadi kalau sudah ada tanda-tanda gunung akan meletus pasti ada imbauan dari pemerintah. Jadi mitigasinya sudah ada pasti," ungkapnya.

Bagi masyarakat di Bali, gunung adalah tempat yang disucikan sehingga ritual-ritual adat rutin digelar untuk menghormati gunung. Misalnya saja di kawasan Besakih, yang menjadi tempat berdirinya pura terbesar di Bali. 

Upacara atau tradisi pakelem selalu digelar masyarakat di Besakih. Pakelem dilakukan dengan menghaturkan persembahan suci ke kawah gunung, sebagai wujud syukur masyarakat karena Gunung Agung telah memberikan kehidupan kepada masyarakat sekitar.

"Biasanya ritual pakelem selalu digelar menjelang Upacara Betara Turun Kabeh, pada purnama ke dasa," ungkap Fendi.

Sama halnya dengan di Gunung Batur, juga rutin digelar ritual ngaturang pakelem sebagai wujud terima kasih dan memohon keselamatan terhadap Gunung Batur yang selama ini memberi kehidupan bagi masyarakat sekitar.

Bendesa Adat Wongaya Gede sekaligus Ketua Umum Pura Luhur Batukaru, I Ketut Sucipto, memaparkan Gunung Batukaru dianggap sebagai sumber kehidupan, khususnya bagi masyarakat Tabanan. Hutan yang mengelilingnya menyebabkan gunung ini menghasilkan sumber mata air yang mengalir dan sangat dibutuhkan bagi kehidupan. 

"Percuma kita punya banyak lahan pertanian kalau airnya tidak ada. Sumber air ini datang dari mana? Ya, dari hutan di Gunung Batukaru ini," ujarnya, Jumat (9/12/2022).

Apabila hutan tidak dijaga dan dilestarikan, tentunya akan terjadi bencana kekeringan saat kemarau dan banjir saat musim penghujan. Pihak Desa Adat Wongaya Gede rutin melakukan penanaman pohon. Belum lama ini ditanam secara bertahap sebanyak 7.000 pohon. 

Artikel kolaborasi ditulis oleh Rangga Erfizal (Sumsel), Prayugo Utomo (Sumut), Khusnul Hasana (Jatim), Rohmah Mustaurida (Lampung), Wayan Antara dan Wayan Antara (Bali).

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deryardli Tiarhendi
EditorDeryardli Tiarhendi
Follow Us