Makna Delapan Jam dan Maksuba, Kue Basah Khas Palembang

- Kue basah khas Palembang, Delapan Jam dan Maksuba, memiliki makna istimewa saat lebaran tiba.
- Sejarawan Sumsel Mang Amin menjelaskan bahwa kue Delapan Jam mengajarkan nilai keseimbangan hidup dan waktu seimbang.
- Kue Maksuba menjadi tolak ukur perempuan Palembang layak menjadi istri berdasarkan kemampuannya dalam memasak.
Palembang, IDN Times - Punya makna istimewa, kue basah khas Palembang Delapan Jam dan Maksuba kerap disajikan saat hari raya tiba. Camilan asli Kota Pempek ini mempunyai filosofi yang belum banyak diketahui publik lho?
Tak saja memiliki makna di balik proses masaknya, kuliner asal Bumi Sriwijaya ini jadi bukti sejarah dan peradaban budaya serta tradisi Palembang Darussalam. Delapan jam, ternyata punya nilai historis soal keseimbangan perjalanan hidup.
1. Kue delapan jam mengajarkan diri bersabar

Menurut Sejarawan Sumsel Mang Amin, kue delapan jam mengajarkan diri berproses. Selain cara pembuatan cukup panjang, hingga waktu delapan jam sampai matang, kue basah ini berarti waktu seimbang.
"Filosofi kue ini keseimbangan hidup. Tak boleh dimasak kurang dan lebih dari 8 jam. Kita belajar membagi waktu 24 jam dalam sehari, 8 jam bekerja, 8 jam istirahat dan 8 jam beribadah," katanya.
Kue delapan jam dibuat dengan cara dipanggang menggunakan oven. Namun dahulu kala, proses membuat kue delapan jam dimasak tradisional dengan gendok. Gendok adalah pemanggang tempo dulu.
"Sumber api untuk masaknya bersumber dari kayu bakar. Dari cara masak kue ini, secara langsung mengajarkan kita bersabar," lanjut Mang Amin.
2. Kue delapan jam mengajarkan mengendalikan emosi

Waktu delapan jam menurut Mang Amin, secara tidak langsung mengajarkan diri bisa mengendalikan emosi. Sebab cara masak lama, belum tentu bisa dilakukan oleh semua orang.
"Butuh waktu lama memasak sama halnya dengan mengajarkan proses kesabaran, mulai dari menyiapkan bahan, usaha memasak hingga menunggu sampai matang," katanya.
Mang Amin bercerita, kue delapan jam dahulu kala merupakan sajian istimewa. Sebab yang dapat menikmatinya hanya kalangan bangsawan Kesultanan Darussalam.
3. Kue maksuba jadi tolak ukur perempuan asli Palembang

Berbeda dengan kue delapan jam yang dulunya menjadi panganan Kesultanan Sriwijaya, kue maksuba bermakna sebagai penghargaan bagi wanita. Kue basah citarasa manis ini menjadi tolak ukur perempuan Palembang layak menjadi seorang istri.
"Kue delapan jam mengajarkan nilai keseimbangan, kue maksuba ini di zaman dulu jadi nilai tolak ukur perempuan asli Palembang, apakah sudah pantas di persunting," timpalnya.
4. Kue maksuba sebagai wujud rasa cinta dan penghormatan

Kue maksuba juga menjadi pertimbangan apakah seorang perempuan Palembang bisa memasak atau tidak. Dahulu, kue maksuba ini selalu ada ketika acara lamaran yang dikirim oleh calon mertua.
"Dulu kue maksuba untuk menilai perempuan bisa masak atau tidak. Jadi saat perempuan dilamar, diajak menikah. Sang mertua mengirim antaran bahan mentah membuat kue, kalau dia mampu masak kue artinya dia layak menjadi istri," jelas dia.
Biasanya, para perempuan Palembang akan membawakan maksuba kepada calon mertuanya ketika jelang hari raya lebaran. Bahkan, ketika mereka telah berumah tangga sebagai wujud rasa cinta dan penghormatan.